Tim Hukum Prabowo Beberkan Beragam Kecurangan Pilpres
Sengketa Pilpres 2019:

Tim Hukum Prabowo Beberkan Beragam Kecurangan Pilpres

Selain diskualifkasi, Pemohon meminta pemilihan suara ulang di 12 provinsi yakni provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Papua, dan Kalimantan Tengah.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ketua Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto (kanan) saat membacakan permohonan sengketa Pilpres 2019 di ruang sidang MK, Jum'at (14/6). Foto: RES
Ketua Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto (kanan) saat membacakan permohonan sengketa Pilpres 2019 di ruang sidang MK, Jum'at (14/6). Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan sengketa Pilpres 2019 yang dimohonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo-Sandi. Materi permohonan dibacakan secara bergantian oleh Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi yakni Denny Indrayana, Bambang Widjojanto, dan Teuku Nasrullah.  

 

Dalam permohonannya, argumentasi hukum yang dibangun berdasarkan kategori kualitatif dan kuantitatif. Argumentasi kualitatif, Tim Kuasa Hukum Prabowo mendalilkan pasangan calon (paslon) 01 Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin melakukan kecurangan pemilu (electoral fraud) yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Diantaranya, keterlibatan Polri dan BIN dalam kampanye; penyalahgunaan anggara APBN; pembatasan kebebasan media dan pers; dan kecurangan yang bersifat kuantitatif (perolehan suara pilpres).

 

“Permohonan yang bersifat kualitatif telah terjadi beragam kecurangan Pilpres. Dengan segala hormat, paslon 01 (Joko Widodo-Ma'ruf Amin) telah melakukan kecurangan pemilu yang tidak hanya biasa-biasa saja, tetapi sudah bersifat terstruktur, sistematis, dan masif," ujar Denny saat membacakan permohonan di ruang sidang MK, Jum’at (14/6/2019).

 

Denny menuding kecurangan pemilu oleh paslon 01 dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaannya selaku presiden pertahana. "Kami memohon MK untuk mendiskualifikasi paslon 01 sebagai peserta Pilpres 2019. Atau paling tidak memerintahkan pemungutan suara ulang," ujar Denny.

 

Dia mengakui bukti kecurangan dalam perkara ini untuk sementara waktu tidak bisa sepenuhnya dipegang oleh Pemohon. Hal itu disebabkan karena pihaknya menduga petahana melakukan kecurangan yang terstruktur dengan menguasai aparat kepolisian, Badan Intelijen Negara (BIN), hingga aparatur sipil negara, sehingga lembaga negara itu kehilangan netralitasnya.

 

"Ketidaknetralan Polri dan BIN adalah kecurangan yang bersifat TSM karena melibatkan aparatur pemerintah negara yang direncanakan di seluruh Indonesia," tudingnya.

 

Menurut Denny, hal itu secara langsung atau tidak langsung telah menciptakan ketidakseimbangan dalam ajang pilpres lima tahunan ini. Hal ini sama saja paslon 02 bukan hanya berkompetisi dengan Paslon 01, tetapi juga dengan Presiden Republik Indonesia atau petahana,” lanjutnya.

 

Salah satu bukti peran keterlibatan Polri adalah pengakuan Kapolsek Pasirwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pengakuan AKP Salman Azis tersebut dikatakan Denny sempat ramai diberitakan, namun kemudian laporannya dicabut. "Itu tidak berarti serta merta pengakuannya menjadi salah, karena hal itu dapat juga merupakan indikasi bahwa pengakuan adalah benar, namun yang bersangkutan mendapat tekanan, sehingga terpaksa mencabut pengakuannya," bebernya.

 

Pengakuan tersebut dinilai Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi sebagai fenomena puncak gunung es dan bukan satu-satunya yang terjadi. "Ada indikasi tidak netralnya Polri setelah adanya informasi bahwa Polri membentuk kekuatan dukungan hingga ke desa untuk mematangkan dukungan sekaligus menguatkan strategi pemenangan paslon 01.

 

Denny juga membeberkan indikasi tidak netralnya BIN setelah Kepala BIN Budi Gunawan hadir dalam perayaan ulang tahun PDI Perjuangan. Sementara Budi Gunawan tidak datang dalam perayaan ulang tahun partai lain. Hal ini jelas bertentangan dengan UU Kepolisian Negara, UU BIN, dan UU Pemilu yang menuntut baik Polri dan BIN selalu menjaga netralitasnya dan tidak memihak pada paslon manapun," ujar Denny.

 

Pengunaan dana APBN

Ketua Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto menyebutkan capres nomor urut 01 Joko Widodo menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan program pemerintah untuk menggalang dan mendukung kepentingannya. "Paslon 01 menggunakan posisinya sebagai presiden yang juga petahana untuk menggunakan instrumen berupa anggaran belanja dan program pemerintah untuk mempengaruhi pemilih dalam Pilpres 2019," ujar Bambang.  

 

Bambang menjelaskan sekilas penggunaan anggaran negara dari program ini adalah hal yang biasa dilakukan. Apalagi kebijakan tersebut dibuat dengan dasar hukum, sehingga terkesan sah. "Namun jika dikaji lebih mendalam akan sangat mudah dipahami bahwa anggaran negara dan program pemerintah itu bentuk dari penyalahgunaan sumber dana negara," ungkapnya.

 

Hal itu dapat dengan mudah dilakukan oleh paslon 01 karena memanfaatkan posisinya sebagai presiden, sehingga diduga kecurangan dapat dilakukan secara terstruktur melalui aparat pemerintahan secara kolektif atau bersama-sama. "Dalam hal ini kecurangan pemilu presiden dilakukan dengan menjual posisinya sebagai petahana, sebagai pimpinan tertinggi, dan dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan yang secara politik atau bersama-sama dengan jajaran menteri dan memanfaatkan jajaran di bawahnya," ujar Bambang.

 

Salah satu contoh kecurangan TSM yang diduga dilakukan paslon 01 adalah pembayaran gaji ke-13 dan tunjangan hari raya bagi PNS, TNI-Polri, dan kenaikan gaji bagi perangkat desa, kelurahan, serta mempercepat beberapa program termasuk skema rumah DP nol persen bagi Polri. "Kecurangan pemilu ini dilakukan secara sistematis karena tersusun rapi, diantaranya disahkannya instrumen undang-undang APBN dan dasar hukumnya masing-masing," tuturnya.

 

Denny membeberkan telah terjadi upaya terstruktur, sistematis dan masif terhadap pers nasional agar bisa menguasai opini publik. Misalnya, berita Reuni 212 tidak diliput media mainstream; pembatasan tayangan TVOne; pemblokiran situs jurdil2019.org.com. “Ketidakberimbangan pemberitaan ini, bentuk penekanan dan kecurangan dalam Pilpres 2019 karena tidak menghadirkan kontestasi pilpres yang berimbang diantara kedua pasangan calon yang bersaing dalam pilpres,” ujarnya.

 

Tim Kuasa Hukum BPN lain, Teuku Nasrullah melanjutkan kecurangan kuantitatif yang dilakukan paslon 01. Diantaranya, daftar pemilih tetap yang tidak masuk akal karena ketidakwajaran data kelahiran yang sama dengan jumlah 17,5 juta; ditemukan data ganda di lima provinsi sebanyak 6.169.895 orang; adanya DPT yang tidak masuk akal dan tidak pernah diselesaikan secara tuntas yang menimbulkan masalah yang sangat substansi dalam pelaksanaan pilpres. 

 

Selain itu, adanya kekacauan situng KPU dalam kaitannya dengan DPT. Nasrullah memaparkan banyak kesalahan input data pada Situng yang mengakibatkan terjadinya ketidaksesuaian data (informasi) dengan data yang terdapat pada C1 yang dipindai KPU sendiri di 34 provinsi seluruh wilayah Indonesia.

 

“Banyaknya kesalahan penjumlahan suara sah yang tidak sesuai dengan jumlah DPT/DPTb/DPK. Dan, dokumen C-7 yang secara sengaja dihilangkan di berbagai daerah; Lalu, ditemukannya data TPS siluman sebanyak 2.984 TPS.,” bebernya.

 

Perolehan suara

Terkait perolehan suara pilpres, Nasrullah beranggapan perolehan suara yang benar menurut Pemohon ialah paslon 01 Jokowi-Amin berjumlah 63.573.169 suara atau sebesar 48 persen dan paslon 01 Prabowo-Sandi berjumlah 68.650.239 suara atau sebesar 52 persen.

 

Penetapan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara KPU, menurut pemohon tidak sah. Paslon 01 Jokowi-Maruf mendapat perolehan sebanyak 85.607.362 suara atau sebesar 55.50 persen. Sedangkan, paslon 02 Prabowo-Sandi sebanyak 68.650.239 suara atau sebesar 44.50 persen. “Padahal. perolehan suara tersebut diperoleh dari cara-cara yang tidak benar, melawan hukum,” dalihnya.

 

Karena itu. Bambang meminta kepada Mahkamah untuk mengabulkan seluruh permohonan yakni dengan membatalkan Keputusan KPU No. 987/PL/01/08-KTP/06/KPU/V/2019 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Kabuapten/Kota dan Provinsi secara Nasional Pemilu 2019.

 

“Sepanjang terkait hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden 2019 dinyatakan perolehan suara yang benar adalah Paslon 01 Jokowi-Maruf yakni 63.573.169 suara atau sebesar 48 persen dan Paslon 02 Prabowo-Sandi berjumlah 68.650.239 suara atau sebesar 52 persen.

 

“Menyatakan Paslon 01 terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran dan kecurangan yang bersifat TSM,” tegasnya. Baca Juga: Tim Hukum Prabowo-Sandi Ingatkan MK Asas Pemilu Jurdil

 

Lebih lanjut Bambang mengatakan bahwa proses pemeriksaan di MK mungkin tidak bisa seluas-luasnya memberi akses keadilan. "Ada potensi seperti itu, maka kami meminta kepada MK agar memperhatikan apa yang disebut dengan perlindungan saksi," ujar Bambang.

 

Dalam kesempatan ini, Bambang menyatakan akan menghadirkan aparatur sipil negara, seperti kepala desa yang akan melaporkan bahwa telah terjadi kecurangan. Bambang meminta supaya para saksi yang mau melaporkan kecurangan dapat dijamin keselamatannya. "Itu yang jadi perhatian kami.”

 

Dalam petitum permohonan, Bambang meminta agar MK membatalkan (mendiskualifikasi) Paslon 01 sebagai peserta Pemilu 2019. “Dan, menetapkan Paslon 02 Prabowo-Sandi sebagai presiden dan wakil presiden periode tahun 2019-2024. Serta meminta kepada Termohon (KPU) untuk mengeluarkan surat keputusan penetapan Prabowo-Sandi sebagai presiden dan wakil presiden 2019-2024,” pintanya lagi.

 

Selan itu, Bambang meminta agar MK memerintahkan Termohon menggelar pemungutan suara ulang secara jujur dan adil, khususnya di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Papua, dan Kalimantan Tengah agar dilaksanakan sesuai Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

 

Dan memerintahkan MK agar lembaga negara yang berwenang melakukan pemberhentian seluruh komisioner dan melakukan rekrutmen baru untuk mengisi jabatan kominisoner KPU. Serta, memerintahkan KPU melakukan penetapan pemilihan berdasarkan daftar pemilih tetap yang dapat dipertanggungjawabkan. “Memerintahkan KPU melakukan audit terhadap sistem informasi penghitungan suara khusus tidak sebatas pada situng.”

Tags:

Berita Terkait