Tim Asistensi Dinilai ‘Tabrak’ Konstitusi dan Prinsip Negara Hukum
Utama

Tim Asistensi Dinilai ‘Tabrak’ Konstitusi dan Prinsip Negara Hukum

Justru, pembentukan Tim Asistensi Hukum ini agar pemerintah, khususnya aparat hukum dapat bertindak sesuai prosedur hukum acara dan hukum materil yang berlaku.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Kantor Komnas HAM di Jakarta. Foto: RES
Kantor Komnas HAM di Jakarta. Foto: RES

Kritik terhadap pembentukan Tim Asistensi Hukum Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) tak hanya datang dari organisasi masyarakat sipil, tapi juga lembaga negara yakni Komnas HAM. Komisioner Mediasi Komnas HAM, Munafrizal Manan melihat tim yang dibentuk melalui Keputusan Menko Polhukam No.38 Tahun 2019 itu untuk mengkoordinasikan dan memberikan asistensi hukum terkait permasalahan hukum pasca Pemilu Serentak 2019.

 

Kepmenko Polhukam No.38 Tahun 2019 itu menugaskan tim asistensi hukum untuk melakukan kajian dan asistensi hukum terkait ucapan dan tindakan yang melanggar hukum pasca Pemilu 2019 untuk menentukan dapat tidaknya dilakukan upaya penegakan hukum; Memberikan rekomendasi kepada aparat hukum untuk menindaklanjuti hasil kajian hukum terkait tindakan diatas sesuai kewenangan.

 

Munafrizal mengingatkan konstitusi menjamin hak setiap orang untuk menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Setiap orang juga berhak mengeluarkan pendapat. Ketentuan serupa juga diatur dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Melihat tugas yang dimandatkan kepada tim asistensi, Munafrizal menilai tim ini seperti melakukan tugas quasi penyelidikan, dan seolah sebagai quasi-penyelidik.

 

“Pengaturan mengenai fungsi penyelidikan atau menyerupai fungsi penyelidikan (quasi) tidak tepat jika dasar hukumnya Kepmenko Polhukam (beschikking), tapi seharusnya menggunakan UU (regelling),” kata Munafrizal dalam jumpa pers di Kantor Komnas HAM, Jumat (10/5/2019) kemarin. Baca Juga: Resmi Terbentuk, PSHK Minta Tim Asistensi Hukum Dibatalkan

 

Menurut Munafrizal, demokrasi yang berkembang di Indonesia saat ini adalah buah perjuangan anak bangsa di era reformasi. Hasil perjuangan ini harus dihormati semua orang termasuk penyelenggara negara. Sebagaimana umumnya negara yang menganut sistem demokrasi, pasti suasananya riuh, karena memberi ruang bagi setiap orang untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat.

 

Ketika ada pernyataan yang terbukti melanggar aturan, Munafrizal menekankan ada aparat penegak hukum yang bisa melakukan penindakan, misalnya Polri. Konstitusi mengamanatkan kepada pemerintah untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia. Atas dasar itu, tidak tepat jika pemerintah menerbitkan kebijakan yang menimbulkan ketakutan dan ancaman bagi setiap orang yang ingin menyatakan pendapat dan pikirannya secara berbeda.

 

Layak dibubarkan

Melihat tugas Tim Asistensi Hukum ini, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam berpendapat tugas tersebut berpotensi mengintervensi penegakan hukum. Apalagi tim ini akan memberi rekomendasi kepada aparat penegak hukum. Keanggotaan tim asistensi antara lain Kapolri dan jaksa Agung sebagai pengarah bidang penegakan hukum. Struktur tim ini menurut Anam membuat Polri dan Kejaksaan diposisikan tidak sebagai lembaga yang independen karena di bawah garis koordinasi Menko Polhukam.

 

“Menko Polhukam menarik masalah hukum ke ranah politik, ini tidak boleh, karakter ini ada di pemerintahan Orde Baru,” kritik Anam.

 

Menurut Anam, tim asistensi ini “menabrak” konstitusi, prinsip negara hukum dan HAM. Pada dasarnya kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai hati nurani merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun. Untuk menangani sengketa pemilu, sudah ada lembaganya seperti Bawaslu, DKPP, dan MK.

 

Alih-alih melakukan penegakan hukum, keberadaan tim asistensi ini malah berpotensi mengancam sistem penegakan hukum pemilu. Karena itu, tim asistensi ini menurut Anam layak dibubarkan karena inkonstitusional. “Tim ini seperti Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) zaman Soeharto,” tukas Anam.

 

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memerintahkan Menko Polhukam agar membatalkan pembentukan tim asistensi hukum yang akan mengkaji ucapan tokoh yang dianggap melanggar hukum. Menurut Usman, apa yang dimaksud dengan ‘melanggar hukum’ ini tidak jelas. Kebijakan ini rawan disalahgunakan untuk membungkam kritik yang sah dari warga negara terhadap pemerintah.

 

Lebih jauh, Usman menuturkan kebijakan ini berpotensi menimbulkan over kriminalisasi di Indonesia. Membungkam kritik, apalagi lewat pemidanaan, sama saja memperparah kerumitan persoalan over kapastitas penjara di Indonesia. “Keadaan hak atas kemerdekaan menyatakan pendapat di Indonesia sudah terancam dengan berbagai ketentuan pidana tentang pencemaran nama baik. Salah satu yang bermasalah adalah pasal yang mempidanakan penghinaan terhadap pejabat dan lembaga negara,” kata Usman.

 

Usman menjelaskan, kemerdekaan berpendapat adalah hak yang dilindungi hukum internasional dan nasional. Meski demikian, kebebasan ini dapat dibatasi untuk melindungi reputasi orang lain, dan standar HAM internasional menganjurkan hal ini tidak dilakukan lewat pemidanaan. Selaras itu lembaga negara bukan entitas yang dilindungi reputasinya oleh hukum dan HAM.

 

Pelarangan terhadap imbauan kebencian kebangsaan, ras atau agama menurut Usman juga dibolehkan, tapi ujaran ini harus dengan jelas tujuannya untuk memancing orang lain melakukan diskriminasi, memusuhi atau kekerasan terhadap kelompok tersebut.

 

Menurut Usman, Kemenko Polhukam tidak perlu membentuk tim asistensi, tapi cukup mengkoordinasikan seluruh kementerian di bidang politik, hukum, dan keamanan untuk bekerja sesuai tugasnya. Pejabat negara harus memberi toleransi terhadap kritik. Penggunaan undang-undang pencemaran nama baik, penghinaan atau makar, dengan motif menghambat kritik terhadap pemerintah atau pejabat publik melanggar hak atas kemerdekaan berpendapat.

 

Amnesty International menolak peraturan perundang-undangan yang melarang penghinaan terhadap kepala negara atau tokoh masyarakat, militer atau lembaga publik lainnya atau bendera atau simbol negara. Amnesty International juga menentang undang-undang yang mengkriminalisasi pencemaran nama baik, baik tokoh publik atau pribadi, yang harus diperlakukan sebagai masalah litigasi sipil. Pejabat publik seharusnya tidak menerima bantuan atau dukungan negara dalam melakukan upaya melaporkan pencemaran nama baik.

 

Salah satu Anggota Tim Asistensi Hukum, Prof Romli Atmasasmita mengatakan pembentukan tim ini untuk membantu Menko Polhukam mengkaji aspek hukum tentang hasutan, ajakan yang melawan pemerintahan yang sah, berita bohong yang menyudutkan pemerintah.

 

“Tugasnya, membantu Menko Polhukam memberi penilaian terhadap ucapan atau perbuatan yang telah mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat. Ada dari mereka yang mengajak revolusi dan mendiskualifikasi pasangan calon presiden, itu adalah makar,” kata Romli, Senin (13/5/2019).

 

“Situasi saat ini telah melampaui batas toleransi sosial dan hukum yang berlaku, sehingga diperlukan tindakan hukum yang tegas.”

 

Menurutnya, berbagai kritikan dari Amnesti Internasional, Komnas HAM, Kontras sebagai hal yang prematur. Sebab, mereka belum mengetahui mekanisme kerja tim hukum ini. Justru, kata dia, pembentukan Tim Asistensi Hukum ini agar pemerintah, khususnya aparat hukum dapat bertindak sesuai prosedur hukum acara dan hukum materil yang berlaku.

 

“Kekhawatiran dan kritik ketiga lembaga tersebut berlebihan dan justru menghalang-halangi langkah penegakan hukum,” katanya.

Tags:

Berita Terkait