Tim Advokasi Temukan Pelanggaran 3 Aturan dalam Kasus Pengalihan Hutan di Kalsel
Utama

Tim Advokasi Temukan Pelanggaran 3 Aturan dalam Kasus Pengalihan Hutan di Kalsel

Pengaduan yang disampaikan Tim Advokasi kepada berbagai lembaga negara seperti KPK, Kejaksaan Agung, Bareskrim Polri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), dan Kementerian ATR/BPN belum mendapat respon signifikan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Senior Partner INTEGRITY Law Firm Prof Denny Indrayana bersama perwakilan Sawit Watch dalam konferensi pers kasus pengalihan kawasan hutan di Kalimantan Selatan, Senin (30/1/2023). Foto: ADY
Senior Partner INTEGRITY Law Firm Prof Denny Indrayana bersama perwakilan Sawit Watch dalam konferensi pers kasus pengalihan kawasan hutan di Kalimantan Selatan, Senin (30/1/2023). Foto: ADY

Persoalan sengketa lahan kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia dan penyelesaiannya pun tidak mudah. Salah satunya, sepanjang tahun 2022, Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm bersama Sawit Watch mencoba memulai advokasi atas pengalihan hutan negara sekitar 8.610 hektar di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan (Kalsel). 

Senior Partner INTEGRITY Law Firm Prof Denny Indrayana mengatakan ribuan hektar area pengalihan hutan negara itu merupakan wilayah pengelolaan PT Inhutani II yang menjadi lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Multi Sarana Agro Mandiri (PT MSAM). Tercatat PT MSAM, salah satu perusahaan sawit besar di Kalimantan Selatan. Tim Advokasi menengarai dalam pengalihan fungsi lahan hutan menjadi HGU itu diduga ada praktik tindak pidana korupsi, pidana kehutanan, dan praktik sindikasi mafia tanah.

Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM itu menjelaskan kasus ini penting untuk diadvokasi karena ini merupakan salah satu contoh tata kelola sumber daya alam di Indonesia yang jauh dari sifat amanah. Ada indikasi kuat diduga terjadi kongkalikong dalam proses pengalihan lahan itu, sehingga lahan konsesi BUMN itu menjadi privat (dikelola swasta).  

“Kami yakin ada proses yang tidak baik-baik saja dalam kasus ini,” kata Denny Indrayana dalam konferensi pers bertema “Stagnasi Penegakan Hukum atas Hilangnya Hutan Negara di Kabupaten Kotabaru pada Areal Pengelolaan PT Inhutani II”, Senin (30/1/2023).

Baca Juga:

Denny menerangkan sejak awal tahun 2022, Tim Advokasi telah mengadukan kasus ini ke berbagai lembaga termasuk aparat penegak hukum. Misalnya, melaporkannya ke KPK, Kejaksaan Agung, dan Bareskrim Polri. Sayangnya, sampai saat ini belum ada tindak lanjut perkembangan signifikan dari ketiga lembaga itu atas laporan yang telah disampaikan. Kasus ini juga sudah dilaporkan ke beberapa institusi pemerintahan, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian ATR/BPN, tapi masih belum ada hasil sebagaimana yang diharapkan.

Partner INTEGRITY Law Firm, Harimuddin, melanjutkan Tim Advokasi secara berkala selalu menanyakan perkembangan pengaduan kepada lembaga terkait. Tapi jawabannya selalu masih dalam kajian. Ia berharap penegakan hukum dalam kasus ini dapat ditangani secara serius dan profesional.

“Dalam kasus ini kami menduga telah terjadi tindak pidana kehutanan karena tidak ada proses pelepasan kawasan hutan, sehingga ada (dugaan, red) penggunaan kawasan hutan tanpa izin,” bebernya.

Tim Advokasi mencatat peralihan hutan negara menjadi aset korporasi melalui HGU itu diduga melanggar sedikitnya 3 aturan. Pertama, Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.193/MENHUT-II/2006 tentang Perpanjangan IUPHHK-HA PT Inhutani II (Unit Pulau Laut) di atas areal Hutan Produksi seluas 40.950 hektar di Provinsi Kalimantan Selatan. Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Ketiga, Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha serta regulasi lainnya.

Direktur Eksekutif Sawit Watch Nurhanudin Achmad mengatakan tahun 2022 lembaganya mencatat ada 1.073 konflik di perkebunan sawit. Sayangnya, sampai saat ini belum ada mekanisme yang efektif dan efisien untuk menyelesaikan konflik tersebut. Konflik yang tidak diselesaikan secara tuntas berpotensi meledak menjadi persoalan yang lebih besar, seperti yang terjadi dalam kasus Mesuji di Lampung.

“Akar masalah dari persoalan ini adalah ketimpangan penguasaan tanah,” ungkapnya.

Nurhanudin mencatat tahun 2012 lalu, Bupati Kotabaru menerbitkan izin lokasi PT MSAM seluas 11.500 hektar dan diperpanjang dengan izin lokasi baru seluas 9.372 hektar. Izin lokasi itu ternyata tumpang tindih dengan konsesi IUPHHK-HA Inhutani II Kotabaru. Hal itu menyebabkan konflik konsesi antara PT Inhutani II dan PT MSAM.

Setelah PT MSAM diambil alih PT Jhonlin Grup periode 2016-2017, Nurhanudin mengatakan PT Inhutani II dan PT MSAM melakukan kerja sama perkebunan di lahan seluas 14.333 hektar. Perjanjian yang dibuat di wilayah IUPHHK-HK PT Inhutani II tentunya menimbulkan potensi kerugian negara yang besar dari hasil produksi hutan kayu yang dilakukan PT Inhutani II dan PT MSAM. Hal tersebut membuat pendapatan negara yang bersumber dari PT Inhutani II menjadi berkurang.

Menurutnya, bukan berarti tidak boleh ada kerja sama antara PT Inhutani II dan PT MSAM. Akan tetapi, syarat penting yang harus dilakukan sebelum menjalin kerjas ama itu yakni harus ada pelepasan kawasan hutan terlebih dulu untuk pemanfaatan lahan sebagai perkebunan sawit. “Ini yang menjadi persoalan (hukum, red) karena tidak ada pelepasan kawasan hutan,” paparnya.

Ia menilai ada kejanggalan dalam penanganan kasus ini, padahal fakta hukum dan bukti di lapangan sudah jelas. “Tapi kenapa pengaduan yang disampaikan tidak ada progress yang signifikan dari lembaga terkait?”

Tags:

Berita Terkait