Tim Advokasi Setnov Singgung Asas Ne Bis In Idem
Praperadilan:

Tim Advokasi Setnov Singgung Asas Ne Bis In Idem

Permohonan praperadilan merujuk juga putusan hakim Cepi.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ketua DPR Setya Novanto
Ketua DPR Setya Novanto

Setelah ditunda sepekan, akhirnya permohonan praperadilan yang diajukan Ketua DPR Setya Novanto terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibacakan dalam sidang di PN Jakarta Selatan, Kamis (07/12). Hakim tunggal Kusno memimpin persidangan yang dihadiri kedua belah pihak, plus pengunjung yang memadati ruang sidang.

 

Tim Advokasi Setya Novanto, begitu sebutan tim pengacara Ketua DPR itu, mengajukan sejumlah argumentasi atau dalil untuk menguatkan permohonan agar penetapan tersangka Setnov dinyatakan tidak sah. Tim Advokasi secara tegas mempersoalkan penetapan tersangka yang kedua kali. Selain itu, Tim Advokasi menggunakan dalil tidak sahnya penyidikan karena dilakukan penyidik KPK yang berasal dari Polri, Kejaksaan atau PPNS lain.

 

Untuk memperkuat dalilnya, Tim Advokasi merujuk pada putusan hakim Cepi Iskandar. Hakim Cepi, hakim PN Jakarta Selatan, memutuskan penetapan tersangka Setnov tidak sah antara lain karena penetapan tersangka seharusnya di akhir penyidikan.

 

(Baca juga: Setya Novanto Ajukan Praperadilan Lagi).

 

Tim Advokasi juga menggunakan asas ne bis in idem. Ketut Mulya Arsana, kuasa hukum Setya Novanto, mengatakan penetapan kliennya sebagai tersangka untuk kedua kalinya adalah bentuk pengulangan semata, sehingga melanggar asas ne bis in idem. Asas ini dipahami bahwa seseorang tidak boleh diadili dua kali untuk perkara yang sama.

 

“Penetapan tersangka tidak sah dan tidak berdasar hukum karena yang menjadi dasar penetapan adalah objek sama, subjek sama, proses sama, barang bukti sama serta sangkaan pasal tindak pidana yang sama,” ujar Ketut di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (07/12).

 

Padahal, menurut Ketut hakim tunggal pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar pada proses praperadilan pertama menganggap penetapan tidak sah karena tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Selain itu, KPK juga tidak menggunakan prinsip kehati-hatian sesuai dengan aturan yang tertera dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

 

Oleh karena itu, menurut Ketut penetapan tersangka yang kedua kali kepada kliennya berdasarkan surat Nomor B-619/23/11/2017 tanggal 3 November 2017 perihal pemberitahuan dimulainya penyidikan juncto Surat Perintah Penyidikan dengan Nomor Sprin-Dik-1130/01/10/2017 tanggal 31 Oktober 2017 dianggap telah melanggar asas ne bis in idem.

 

Sebelumnya, advokat yang juga dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Luhut Pangaribuan berpendapat jika asas ne bis in idem tidak bisa menjadi alasan dalam permohonan praperadilan. Sebab praperadilan hanya menyentuh sifat administratif bukan tentang materi pokok suatu perkara termasuk korupsi.

 

Karenanya jika alasan Novanto ne bis in idem sama sekali tidak relevan. “Kalau itu alasannya maka sudah pasti akan ditolak, harus cari alasan lain yang merupakan ruang lingkup praperadilan,” ujar Luhut beberapa waktu lalu.

 

Selain asas ne bis in idem, alasan lain permohonan praperadilan ini memang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Seperti proses penetapan tersangka tidak melalui proses penyidikan yang didasarkan pada diterimanya SPDP tertanggal 3 November 2017 sedangkan Sprindik tertanggal 31 Oktober 2017. Hal ini dianggap melanggar Pasal 184 KUHAP karena penetapan tersangka tanpa memeriksa saksi dan alat bukti lainnya.

 

Pertimbangan Hakim Cepi yang membatalkan status tersangka Novanto juga dijadikan dasar dalam permohonan ini. Menurut Ketut, alat bukti yang digunakan KPK untuk menetapkan kliennya sebagai tersangka dianggap cacat hukum karena juga digunakan kepada tersangka lain dalam kasus e-KTP. “Alat bukti tersebut telah dipergunakan dan dinyatakan tidak sah dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.97/Pid.Prap/PN.Jkt.Sel, tanggal 29 September 2017,” imbuhnya.

 

Menanggapi permohonan ini Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi Setiadi tidak mempermasalahkan segala dalil yang diutarakan Novanto melalui kuasa hukumnya. “Itu kan dalil pemohon, mau dalil segunung apapun silahkan, kalau mereka segunung kita dua gunung, yang jelas dan prinsip tidak menabrak teori hukum,” terangnya. Sidang yang dipimpin Ketua PN Jaksel Kusno ini akan dilanjutkan esok hari dengan agenda jawaban dari pihak Termohon.

Tags:

Berita Terkait