Tiga Upaya Pekerja Menguak Alih Daya
Outsorcing Berkeadilan

Tiga Upaya Pekerja Menguak Alih Daya

Undang-Undang Ketenagakerjaan termasuk lima besar Undang-Undang yang dimohonkan uji ke Mahkamah Konstitusi. Tiga di antaranya menyinggung masalah pekerjaan alih daya.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Tiga Upaya Pekerja Menguak Alih Daya
Hukumonline

Jumlah pekerja yang membawa masalah mereka ke Jakarta hanya 76 orang. Itu pun dibagi tiga kelompok. Kelompok pertama berjumlah 37 orang dan memberikan kuasa hukum kepada empat orang pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Kelompok kedua, hanya satu orang yang mengatasnamakan lembaga dan memberikan kuasa kepada Dwi Hariyanti. Kelompok ketiga terdiri dari 38 orang berstatus karyawan swasta. Persoalan yang mereka bawa ke Jakarta memiliki irisan pada pekerjaan alih daya, atau yang lazim disebut pekerja outsourcing.

 

Ketiga kelompok itulah dari 20 pihak yang tercatat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ketiganya sama-sama menyinggung masalah outsourcing dalam permohonan, meskipun ada yang belum spesifik. Outsourcing memang salah satu aspek ketenagakerjaan yang masih terus mengundang pro dan kontra. Di satu sisi, outsourcing nyaris tak mungkin dihapuskan; di sisi lain pengaturan outsourcing dirasakan belum memberikan rasa keadilan, khususnya buruh.

 

Itu pula sebabnya, 76 orang yang menyinggung pasal outsourcing UU Ketenagakerjaan adalah pekerja, bukan pengusaha atau pemberi kerja. Sebagian adalah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja karena alasan efisiensi perusahaan. Ada pula yang murni pekerja alih daya. Upaya mereka menguak konstitusionalitas pekerja alih daya lewat Mahkamah Konstitusi berlangsung dalam rentang waktu berbeda. Pertama kali diajukan pada tahun 2003, ketika Mahkamah Konstitusi dipimpin Prof. Jimly Asshiddiqie. Disusul tahun tahun 2011 dan 2012, di masa kepemimpinan Prof. Moh. Mahfud MD.

 

Langkah hukum yang ditempuh 76 pekerja telah memantik pembicaraan mengenai outsourcing, bahkan ikut mendorong lahirnya regulasi yang ditetapkan Pemerintah. Wakil rakyat di Senayan juga beberapa kali mempersoalkan praktik outsourcing di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).  Bertahun-tahun polemik pekerja alih daya mencuat, persoalannya ternyata belum juga selesai. Salah satu isu terbaru yang diusung secara akademik adalah bagaimana membangun sistem outsourcing yang berkeadilan setelah putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011.

 

(Baca juga: Apindo: Outsourcing Harus Melindungi Hak Pekerja)

 

Upaya pertama

Pada mulanya, Juni 2003, 37 orang yang umumnya pengurus Serikat Pekerja (Saepul Tavip dkk), mengajukan permohonan uji materi Pasal UU Ketenagakerjaan. Saepul, Sekretaris Jenderal Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia dan teman-temannya mengajukan permohonan pengujian UU Ketenagakerjaan secara keseluruhan baik uji materiil maupun uji formal. Namun mereka juga menguraikan sejumlah pasal yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Outsourcing termasuk yang disinggung pemohon.

 

Menurut pemohon, ada inkonsistensi pengertian ‘hubungan kerja’ dalam Pasal 1 angka (15) dengan hubungan kerja alih daya yang diatur Pasal 66 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Dalam konstruksi outsourcing, hubungan kerja yang terjadi adalah antara pengusaha (user) dengan pekerja, karena perusahaan penyedia jasa pekerja, pada saat menyerahkan pekerja untuk bekerja pada pengguna, terjadilah hubungan hukum yang disebut hubungan kerja.

 

Para pemohon juga berpendapat bahwa outsourcing tidak menjamin job security karena menggunakan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Dalam sistem outsourcing, pekerja harus terus memikirkan untuk mencari pekerjaan lain begitu waktu kerjanya hampir habis. Jika job security tidak terjamin, ini bertentangan dengan jaminan mendapatkan pekerjaan yang layak dalam UUD 1945.

 

Menurut para pemohon, Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan telah menempatkan buruh sebagai faktor produksi semata yang dengan mudah dipekerjakan saat dibutuhkan dan dihentikan hubungan kerjanya ketika tidak dibutuhkan lagi. Ketentuan outsourcing berimbas pada pembayaran upah murah. Pemohon menyebut outsourcing sebagai perbudakan modern (modern slavery).

 

Namun argumentasi para pemohon mengenai konstitusionalitas outsourcing ditepis kesembilan hakim konstitusi. Mahkamah berpendapat ‘para pemohon tidak dapat membuktikan dasar dari dalil’ yang menyatakan outsourcing hanya menempatkan buruh sebagai komoditas dan tak ubahnya perbudakan modern. Menurut Mahkamah tak ada satupun dalil dalam UU Ketenagakerjaan yang menguatkan pendapat para pemohon.

 

Bagi Mahkamah, Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan menjelaskan keberadaan dan batasan outsourcing sebagai bagian dari pekerjaan yang terpisah dari kegiatan utama, yakni kegiatan penunjang perusahaan. Pekerja outsourcing tidak boleh digunakan untuk melaksanakan kegiatan pokok atau yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Kala itu Mahkamah menegaskan hubungan kerja buruh outsourcing adalah dengan perusahaan penyedia jasa pekerja. Perlindungan terhadap buruh outsourcing dapat disimak dari Pasal 66 ayat (1), ayat (2) huruf a dan c, dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan.

 

Hubungan kerja buruh outsourcing bisa berubah menjadi hubungan hukum dengan perusahaan pemberi kerja (user) jika ternyata buruh dipekerjakan untuk melaksanakan kegiatan pokok, tidak ada hubungan kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja; atau jika perusahaan penyedia jasa pekerja tidak berbentuk badan hukum. Selain itu, Mahkamah menegaskan bahwa yang harus dijaga adalah keseimbangan yang selaras antara kepentingan pekerja, pengusaha, dan masyarakat. Intinya, Mahkamah menyatakan tudingan bahwa outsourcing merupakan perbudakan modern dalam proses produksi tidak terbukti

.

Faktanya, dua orang hakim konstitusi (Prof. Abdul Mukhtie Fadjar dan Prof. M Laica Marzuki) menyatakan pendapat berbeda. Menurut mereka, pengaturan outsourcing dalam UU Ketenakerjaan kebijakan yang kurang ramah kemanusiaan dan kurang memberi proteksi. Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan mengganggu ketenangan kerja para pekerja seolah buruh hanya komoditas sehingga kurang berwatak protektif terhadap pekerja. Artinya UU Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan paradigma proteksi kemanusiaan yang tercantum dalam Pembukaan dan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.

 

Upaya kedua: dua pertanyaan

Delapan tahun berselang setelah upaya pertama, muncul permohonan kedua. Kali ini yang maju adalah seorang Didik Suprijadi yang bertindak atas nama LSM Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonenesia (AP2ML). Di LSM ini, Didik menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat. Berbeda dari permohonan pertama, Didik langsung fokus memohonkan pengujian Pasal 59, dan 64-66 UU Ketenagakerjaan. Artinya, langsung ke pengaturan outsourcing. Menurut Didik, pasal-pasal outsourcing itu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 D ayat (2), dan 33 ayat (1) UUD 1945.

 

Ketika akan menguraikan pendapat hukum atas permohonan itu, Mahkamah Konstitusi mengajukan dua pertanyaan yang harus dijawab. Pertama, apakah hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pemborongan pekerjaan dari perusahaan lain bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, apakah hubungan kerja antara buruh dan perusahaan yang menyediakan pekerja berdasarkan PKWT bertentangan dengan UUD 1945.

 

PKWT adalah jenis perjanjian kerja yang dirancang untuk pekerjaan yang dimaksudkan hanya untuk waktu tertentu saja dan tidak berlangsung selamanya. Begitu jangka waktu berakhir, hubungan kerja buruh dan majikan juga berakhir. Pasal 59 UU Ketenagakerjaan hanya bisa diterapkan untuk empat jenis pekerjaan, yakni: (i) pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya; (ii) pekerjaan yang diperkirakan dapat diselesaikan tidak terlalu lama atau paling lama tiga tahun; (iii) pekerjaan yang bersifat musiman; atau (iv) pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam penjajakan atau percobaan.

 

Majelis hakim yang memutus permohonan kedua ini mengutip juga pertimbangan dalam putusan MK No. 012/PUU-I/2003. Meskipun putusan pertama tersebut menyebutkan ada perlindungan terhadap pekerja outsourcing, majelis perkara kedua mengutip pandangan pemohon bahwa tidak ada jaminan syarat-syarat kerja dan perlindungan kerja dijalankan. Menurut Mahkamah, ada ketidakpastian nasib pekerja akibat UU Ketenagakerjaan tidak memberikan jaminan kepastian mendapatkan pekerjaan dan imbalan yang layak. Mahkamah perkara kedua justru menganggap esensi utama hukum perburuhan yakni to protect the workers terabaikan.

 

Menurut Mahkamah, penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan melalui perusahaan lain adalah kebijakan yang wajar asalkan penyerahan pekerjaan itu memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 65 dan 66 UU Ketenagakerjaan. Namun demikian, Mahkamah meneliti lebih jauh perlindungan pekerja outsourcing. Mahkamah berpendapat bahwa syarat-syarat yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dapat berakibat pada hilangnya jaminan kepastian hukum yang adil dan layak dalam hubungan kerja karena begitu pekerjaan berakhir, maka berakhir pula hubungan kerja. Karena itu, Mahkamah berpendapat buruh yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dijamin konstitusi. Mahkamah ingin memastikan ada jaminan perlindungan kepada pekerja.

 

Dalam pertimbangan, Mahkamah Konstitusi malah mengusulkan dua model yang dapat dilaksanakan untuk melindungi hak-hak pekerja dalam praktik outsourcing. Pertama, membuat syarat agar perjanjian kerja antara buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk ‘perjanjian kerja waktu tidak tertentu’. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja, atau yang lazim disebut Transfer of Undertaking Protection of Employment (TUPE) yang bekerja pada perusahaan pelaksana pekerjaan outsourcing.

 

Mahkamah menyebutkan model TUPE sudah diterapkan dalam praktik pengambilalihan suatu perusahaan oleh perusahaan lain. Mahkamah juga menekankan pentingnya memberikan fair benefit and welfare kepada para pekerja baik outsourcing maupun tidak. Dalam putusannya, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan. Mahkamah menyatakan frasa ‘perjanjian kerja waktu tertentu’ dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa ‘perjanjian kerja untuk waktu tertentu’ dalam Pasal 66 ayat (2) hurub b UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dalam perjanjian tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja yang objek kerjanya tetap ada walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain.

 

Putusan Mahkamah Konstitusi ini telah ditindaklanjuti Pemerintah. Misalnya melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain.

 

Baca:

 

Upaya ketiga

Setelah Mahkamah mengabulkan bersyarat permohonan yang kedua, masih ada uji materi berikutnya ke Mahkamah Konstitusi yang menyinggung masalah outsourcing, yakni permohonan yang diajukan Asep Ruhiyat dkk, para pekerja sebuah hotel di Bandung. Mereka memohonkan agar Mahkamah Konstitusi menguji Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.

 

Meskipun yang dimohonkan uji adalah Pasal 164 ayat (3), outsourcing disebut-sebut sebagai jalan keluar yang dipakai pengusaha untuk menggantikan pekerja yang di-PHK. Demi alasan efisiensi, perusahaan lebih memih pekerja kontrak atau pekerja alih daya ketimbang pekerja PKWTT. Cara ini dipandang sebagai upaya menghindari tanggung jawab atas masa depan pekerja dan keluarganya. Ini juga diperkuat oleh keterangan ahli Indrasari Tjandraningsih yang dihadirkan di persidangan.

 

Penelitian Indrasari menyimpulkan ada beragam alasan PHK mulai dari efisiensi hingga aksi-aksi serikat pekerja. Jalan keluar yang ditempuh perusahaan dalam rangka efisiensi antara lain adalah mengalihkan hubungan kerja dari tetap menjadi kontrak, atau mengganti karyawan tetap dengan pekerja alih daya.

 

Sebenarnya tidak ada pendapat dan penjelasan spesifik Mahkamah atas masalah outsourcing. Mahkamah hanya menyatakan PHK adalah pilihan terakhir jika perusahaan mau melakukan efisiensi. Sebelum PHK, perusahaan masih bisa mencari alternatif solusi seperti mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas; mengurangi shift; membatasi atau menghapuskan kerja lembur; mengurangi jam kerja; mengurangi hari kerja; dan merumahkan karyawan secara bergilir untuk sementara waktu.

 

Faktanya, Mahkamah Konstitusi berpendapat UU Ketenagakerjaan tidak memberikan definisi yang jelas dan rigid tentang frasa ‘perusahaan tutup’: apakah perusahaan tutup yang dimaksud adalah permanen atau hanya tutup sementara. Dengan demikian siapa saja bisa menafsirkan norma tersebut sesuai kepentingannya. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

 

Selain ketika permohonan di atas, masih ada belasan permohonan lain terhadap UU Ketenagakerjaan. Itu sebabnya, sebagian kalangan mengusulkan agar dilakukan revisi menyeluruh. Salah satu yang perlu diatur komprehensif adalah outsourcing atau alih daya.

Tags:

Berita Terkait