Tiga Undang-Undang Diharapkan Bisa Atasi Kejahatan Seksual
Berita

Tiga Undang-Undang Diharapkan Bisa Atasi Kejahatan Seksual

Bukan hanya sanksi pidana, hukuman etika juga harus diberikan.

CR-17
Bacaan 2 Menit
Tiga Undang-Undang Diharapkan Bisa Atasi Kejahatan Seksual
Hukumonline

Kekerasan yang terjadi pada anak dan perempuan meningkat belakangan ini. Kekerasan tidak hanya terjadi di lingkungan permainan saja, tetapi juga sudah merambah ke ranah pendidikan yang seharusnya melindungi anak dari ancaman kekerasan seksual. Untuk itu dibutuhkan peraturan atau peraturan perundang-undangan yang dapat menlindungi anak dan perempuan menjadi korban kekerasan seksual.

Staf Ahli Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indon Sinaga menjelaskan sedikitnya sudah ada tiga undang-undang yang mengatur khusus dan diharapkan bisa menyelesaikan persoalan kekerasaan seksual terhadap anak dan perempuan.

”Yaitu, UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,  UU No. 23 Tahun 2004 tentang Pengapusan KDRT, dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,” ujar Indon dalam Simposium Hukum Nasional Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FHUI) di Jakarta, Senin (17/11).

Indon menjelaskan UU Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur anak-anak yang menjadi pelaku kekerasan. Mengenai perampasan kemerdekaan, Indon menjelaskan, merupakan hal yang dilematik karena terdapat permasalahan apakah kita harus menghukum anak yang menjadi pelaku atau ada cara lain. Pasalnya, lanjut Indon, karena pada prinsipnya si anak belum memahami secara jelas apa yang sudah dia lakukan.

Sedangkan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan oleh-oleh  DPR Periode 2009-2014, walaupun diselesaikan di menit-menit akhir. Perubahan pertama terjadi pada rumusan pasal 15 dengan dimasukannya kejahatan seksual menjadi bagian yang harus dilindungi dari anak-anak.

“Selain itu yang paling menarik ialah persoalan unsur pemberat dan ada penambahan bagi tenaga pendidikan yang melakukan kekerasan seksual. Hukumannya ditambah sepertiga sehingga ada effect jera,” tambah Indon.

Komisioner Komnas Perempuan, Ninik Rahayu menjelaskan menjelaskan penghapusan tindak pidana kekerasan seksual merupakan wake up called bahwa sampai saat ini negara belum responsif untuk menyambut perlindungan kekerasan seksual yang terjadi pada anak dan perempuan. “Saat ini kekerasan seksual dan anak tidak hanya terjadi di ranah privat (personal), tetapi juga di ranah komunitas dan negara,” jelas Ninik.

Sejauh ini, jelas Ninik, Komnas Perempuan tidak memberikan penanganan kasus, tetapi melakukan pemantauan kebijakan negara dan kebijakan masyarakat sipil. “Kita memantau kebijakan yang dikeluarkan negara dan kebijakan sipil mana yang kondusif dan tidak kondusif untuk perempuan dan anak. Pejabatnya abai dan sampai saat ini ada 365 kebijakan yang belum memberikan perlindungan terhadap kekerasan seksual pada anak dan perempuan,” ujarnya.

Selain itu, Komnas Perempuan juga melakukan pencegahan kekerasan seksual pada anak dan perempuan dengan membuat mekanisme baru. Mekanisme tersebut berupa pengetatan dispensasi nikah yang diberikan kepada anak usia anak dan anak usia dini.  Hal tersebut dilakukan guna memberikan perlindungan kepada anak, seperti masih tinggal bersama orangtua, dan orangtua masih berkewajiban untuk menyekolahkan anaknya.

Dosen FHUI Lidwina Inge berpandangan etika penangan kasus kekerasan yang terjadi pada anak juga harus menjadi concern utama. “Jangan sampai dengan banyaknya pemberitaan mengenai kekerasan seksual bukan menjadi pelajaran, tetapi malah menjadi modus operandi. Seperti tidak boleh mengungkapkan nama asli korban dan korban tidak boleh menunggu lama di kantor polisi ” tutur Inge.

Selain itu, jelas Inge, harus ada mekanisme yang mengatur bahwa profesi mengajar adalah orangtua dalam intitusi. Sehingga jika dia melakukan kekerasan seksual maka harus mendapat hukuman bukan hanya pidana, tetapi juga sanksi etika.

Inge menjelaskan, untuk mengatasi kekerasan seksual tidak hanya setelah peristiwa, tetapi juga perlu adanya pencegahan. “Pelajaran pendidikan seksualitas atau kesehatan reproduksi harus menjadi hal yang mendasar,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait