Tiga Tantangan Penanganan Pengungsi di Indonesia
Utama

Tiga Tantangan Penanganan Pengungsi di Indonesia

Antara lain waktu tunggu yang lama sampai bertahun-tahun, stigma dan diskriminasi serta minimnya regulasi. Akademisi usul pengungsi perlu diberikan akses untuk mencari pekerjaan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Perang dan konflik yang terjadi di berbagai negara berkontribusi terhadap jumlah pengungsi secara global termasuk di Indonesia. Mengutip laman organisasi pengungsi PBB (UNHCR) yakni unhcr.org tercatat tahun 2019 ada 26 juta orang pengungsi. Senior Legal Advisor Suaka, Atika Yuanita, mencatat di tahun yang sama dari jumlah 26 jutaan itu, pengungsi di Indonesia sekitar 13.541 orang.

Jumlah itu relatif kecil dibandingkan negara di Asia Tenggara lainnya seperti Myanmar (773.652 orang), Thailand (560.832), Filipina (357.000), dan Malaysia (243.784). Pendataan dan penentuan status pengungsi dilakukan oleh UNHCR dan sampai saat ini. Pengungsi yang ada di Indonesia paling banyak di Jakarta dan daerah sekitarnya sebanyak 7.136 orang, Medan (1.887) dan Makassar (1.756).

“Ada dua jenis pengungsi yang masuk Indonesia yaitu independen dan menerima bantuan lembaga,” kata Atika dalam diskusi secara daring bertema “Pengungsi Luar Negeri Hidup dalam Ketidakpastian di Indonesia”, Senin (14/12/2020). (Baca Juga: DPR Diminta Buat UU Pengungsian)

Atika mengungkapkan negara di Asia Tenggara yang sudah meratifikasi Konvensi Pengungsi tahun 1951 yakni Kamboja, Filipina, dan Timor Leste. Indonesia sendiri belum menandatangani konvensi tersebut. Atika menjelaskan selama ini organisasi masyarakat sipil yang fokus membidangi isu pengungsi seperti, Suaka dan JRS Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk membantu pengungsi.

Misalnya, menyusun Information Kit dalam berbagai bahasa. Kemudian pelibatan pengungsi dalam menyebarkan informasi terkait penanganan pandemi baik dalam bentuk community interpreter dan pembuatan video informasi yang diunggah ke media sosial. Selain itu, organisasi masyarakat sipil menggelar konsultasi berkala untuk pengungsi, menyelenggarakan diskusi publik yang temanya menyasar pengungsi, dan mendorong pengungsi aktif untuk membantu komunitasnya.

“Ada juga pelatihan paralegal untuk pengungsi dan refugee legal secara daring,” kata dia.

Dia melanjutkan kegiatan yang dilakukan organisasi masyarakat sipil untuk para pengungsi bukan tanpa kendala. Dia menyoroti sedikitnya ada 3 tantangan yang dihadapi dalam menangani pengungsi di Indonesia. Pertama, masa tunggu pengungsi untuk mendapat negara ketiga yang akan menerima mereka waktunya semakin lama. Hal ini berdampak terhadap akses pemenuhan yang terhambat, bahkan tidak bisa diperoleh pengungsi. Dia memberi contoh ada pengungsi yang tinggal sampai lebih dari 10 tahun, tapi belum mendapat kejelasan di negara mana mereka akan diterima.

Kedua, tidak sedikit pengungsi yang terpaksa berhadapan dengan hukum. Atika mengatakan pihaknya mendampingi sejumlah kasus, salah satunya di PN Tangerang. Menurutnya, salah satu sebab pengungsi berhadapan dengan hukum karena mereka sudah terlalu lama menunggu di Indonesia. Misalnya, di Indonesia sudah sejak 2013, tapi sampai sekarang belum mendapat informasi yang pasti terkait negara yang akan menerima mereka. Ditambah lagi stigma dan diskriminasi terhadap pengungsi.

“Tapi, kita melihat mulai ada perbaikan, misalnya kalangan media sudah menggunakan istilah pengungsi, bukan lagi imigran gelap atau ilegal,” kata dia.

Ketiga, minimnya regulasi yang mengatur tentang pengungsi. Atika mencatat sampai sekarang regulasi yang terkait pengungsi hanya Perpres No.125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri. “Ini salah satu kendala yang kami hadapi dalam melakukan advokasi bagi pengungsi, kerangka hukum yang ada bentuknya masih Perpres, belum ada UU khusus tentang pengungsi,” ujarnya.

Tidak boleh diusir

Dosen UGM Yogyakarta sekaligus peneliti Institute of International Studies (IIS) UGM, Yunizar Adiputera, melihat dalih yang kerap digunakan pemerintah terhadap pengungsi dari luar negeri yakni Indonesia bukan negara anggota Konvensi 1951. Alasan itu tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar karena bukan berarti pemerintah tidak perlu melakukan tindakan apapun.

Fakta yang harus dilihat pemerintah adalah ada pengungsi yang masuk ke Indonesia dan menurut hukum internasional mereka tidak boleh diusir. Untuk itu, sangat dibutuhkan penanganan pengungsi secara baik. “Pemerintah harus memiliki kebijakan strategis untuk menangani pengungsi dari luar negeri,” kata dia.

Yunizar berpendapat dalam menangani pengungsi tidak bisa terlalu mengandalkan bantuan internasional karena ini tidak berkelanjutan. Tidak melulu tersedia bantuan internasional dari luar negeri, apalagi saat ini dana yang tersedia sangat terbatas. Untuk penggunaan anggaran negara, Yunizar melihat praktiknya di Indonesia masih ada keengganan dari pembuat kebijakan untuk mengalokasikan dana bagi pengungsi.

“Sebenarnya alokasi anggaran ini bisa dilakukan kalau ada kemauan,” kata dia.

Guna membantu pengungsi untuk mendapat penghasilan yang digunakan memenuhi kebutuhan hidupnya, Yunizar mengusulkan agar dibuka akses bagi pengungsi untuk mengakses mata pencarian. Hal ini bagian dari pemenuhan hak untuk bekerja. Dengan bekerja, pengungsi punya penghasilan yang bisa digunakan untuk menghidupi diri dan keluarganya.

“Selama ini tidak ada aturan yang jelas apakah pengungsi bisa mengakses pekerjaan atau tidak. Beberapa model yang bisa digunakan, antara lain membuka akses kerja penuh, berbasis sektor, pembatasan waktu kerja, berkolaborasi dengan warga atau lembaga lokal,” sarannya.

Tags:

Berita Terkait