Tiga Tantangan Good Governance Capres Terpilih
Utama

Tiga Tantangan Good Governance Capres Terpilih

Mulai dari inefisiensi, korupsi dan rentan politisasi.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RFQ
Foto: RFQ
Persoalan tata kelola pemerintahan yang bersih menjadi tantangan bagi Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) terpilih. Penataan ulang birokrasi perlu dilakukan dalam rangka perbaikan pelayanan terhadap publik. Setidaknya, terdapat tiga persoalan yang menjadi tantangan Capres dan Cawapres terpilih agar dapat mewujudkan pemerintahan yang bersih.

“Kita butuh pemimpin dan orang yang mampu memperbaiki  birokrasi,” ujar Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng, dalam sebuah diskusi di Gedung DPD, Rabu (11/6).

Menurut Robert, ketiga persoalan itu adalah inefisiensi, korupsi dan rentan politisasi. Persoalan inefisiensi, penggunaan anggaran di tingkat daerah acapkali lebih digunakan untuk belanja aparatur. Padahal, sejatinya daerah perlu memprioritaskan pembangunan fasilitas publik.

Robert menilai kebijakan yang dibuat pemerintah terbilang bagus. Sayangnya, di level pelaksanaan acapkali tak tepat sasaran yang menyentuh masyarakat. Di Filipina, misalnya. Dalam penggurusan ijin usaha terbilang mudah di negara tersebut. Berbeda halnya dengan Indonesia, birokrasi acapkali berbelit-belit. Itu sebabnya investor luar negeri enggan menanamkan modalnya di dalam negeri.

Terkait korupsi, sejak diberlakukannya otonomi daerah banyaknya kepala daerah yang tersandung persoalan hukum seperti korupsi. Menurutnya, dengan pola penataan ulang birokrasi dengan melibatkan masyarakat, setidaknya pola pengawasan akan semakin ketat. Pelayanan publik merupakan dampak dari belum maksimalnya reformasi birokrasi yang berjalan saat ini.

Terkait politisasi birokrasi, dampaknya terhadap pelayanan publik. Menurutnya, 70 persen urusan pemerintahan berada di tingkat daerah. Robert berpandangan uang dan kekuasan yang diberikan pemerintah pusat ke tingkat daerah, acapkali menjadi persoalan. Hal itu disebabkan pemerintah daerah dinilai tidak siap.

“Jadi memang tiga persoalan ini sangat mendasar. Pembangunan sistem integritas agar tata kelola menjadi akuntabel. Agenda reformsi birokrsi sangat mendesak dan membangun sistem menjadi sangat penting,” ujarnya.

Guru Besar Administrasi Pemerintahan Universitas Indonesia (UI), Prof Azhar Kasim, menambahkan kualitas pegawai negeri dinilai kurang bermutu. Pola perekrutan pegawai dilakukan tidak dengan obyektif. Akibatnya, birokrasi tidak berjalan maksimal. Menurutnya, Capres dan Cawapres terpilih harus mengubah sistem administrasi pemerintahan termasuk melakukan pengawasan.

“Harapan kita siapapun yang terpilih nanti menjadi pemimpin perubahan,” ujarnya.

Lebih jauh, Azhar mengatakan banyaknya peraturan dan perundangan yang saling berbenturan menjadi persoalan. Itu sebabnya rezim pemerintahan mendatang harus melakukan harmonisasi sejumlah peraturan perundangan. Menurutnya, reformasi birokrasi sudah dimulai dengan terbitnya UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Ia berpandangan perbaikan birokrasi mulai dengan perekrutan, pengangkatan pegawai negeri dilakukan secara objektif dan berdasar kompetensi. Sayangnya, UU ASN belum dapat diberlakukan lantaran Peraturan Pemerintah sebagai aturan turunan belum juga terbit. Menurutnya, rezim pemerintahan mendatang harus mencari kebijakan yang mampu menyentuh masyarakat dan mendorong pembangunan berantai.

“Dengan begitu terciptanya good  governance,” ujarnya.

Dewan Penasihat Tim Kampanye Nasional Capres Prabowo-Hatta, Farouk Muhammad, mengatakan konsep birokrasi sudah berjalan. Menurutnya, jika Prabowo-Hatta terpilih akan menjadi prioritas dalam penataan ulang birokrasi yang sudah berjalan. Dia mengatakan, reformasi birokrasi tak akan berjalan tanpa adanya reformasi politik.

“Pemerintahan nanti tidak saja reformasi birokrasi, tetapi juga berjalan baik,” ujar anggota DPD dari Nusa Tenggara Barat itu.

Anggota Tim Kampanye Nasional pasangan Capres Joko Widodo-Jusuf Kalla (JK), Izzul Muslimin, mengatakan pola rekrutmen pegawai dan birokrasi harus berjalan berkesinambungan. Menurutnya, tidak maksimalnya birokrasi disebabkan birokrasi di bawah pemimpin untuk kepentingan tertentu. Akibatnya, pola rekrutmen pegawai tidak berjalan baik.

Dia mengatakan, proses rekrutmen pegawai dan penataan ulang birokrasi harus dilakukan dalam mendapatkan aparatur yang mumpuni. Dengan begitu, pelayanan terhadap masyarakat akan berjalan baik. Ia tidak menampik persoalan birokrasi sedemikian banyak.

“Baiknya birokrasi itu pada sistem dan Sumber Daya Manusia. Jokowi ingin membangun secara bersama-sama. Makanya Jokowi adalah kita,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait