Tiga RUU Ini Dinilai Belum Lindungi Hak Rakyat
Utama

Tiga RUU Ini Dinilai Belum Lindungi Hak Rakyat

Karena ketiga RUU itu dinilai lebih banyak mengatur dan menguntungkan korporasi ketimbang melindungi dan menjamin hak rakyat.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pidato politik calom presiden terpilih, Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu di Sentul, Bogor, memberi sinyal kebijakan yang akan ditempuh pemerintahan periode 2019-2024 antara lain terus memberi kemudahan investasi masuk ke Indonesia. Organisasi masyarakat sipil yang fokus di bidang HAM dan lingkungan hidup merasa khawatir terhadap apa yang disampaikan Jokowi dalam pidato tersebut.

 

YLBHI mencatat sedikitnya ada 3 RUU yang ditujukan untuk mendorong percepatan masuknya investasi di Indonesia yakni RUU Perubahan UU No.4 Tahun 2009, RUU Pertanahan, dan RUU Air. Selain itu, rencana revisi UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga bergulir. Ketiga RUU tersebut dinilai erat kaitannya dengan pidato Jokowi yang diantaranya menekankan pada investasi dan pembangunan infrastruktur.    

 

Koordinator JATAM Merah Johansyah melihat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah mengajukan Daftar Isian Masalah (DIM) revisi UU No.4 Tahun 2009 ke pimpinan DPR dan Komisi VII. Merah menilai RUU ini akan dikebut untuk dituntaskan sebelum masa jabatan DPR periode 2014-2019 berakhir. Padahal, masih banyak persoalan dalam draft RUU Minerba itu.

 

Secara umum ketentuan dalam RUU ini semangatnya tidak membatasi ekspansi perusahaan tambang dan menambah komoditas. Misalnya, akan ada komoditas pertambangan baru yakni radio aktif dan logam tanah jarang. “Isi RUU Minerba ini hampir seluruhnya mengatur soal perizinan, investasi, dan pengusahaan pertambangan, tidak memikirkan perlindungan rakyat,” kata Merah dalam diskusi di kantor LBH Jakarta, Kamis (8/8/2019). Baca Juga: Pemerintah Mendatang Diminta Tidak Lemahkan Penegakan Hukum Demi Investasi

 

RUU Minerba ini, menurut Merah memberi insentif dan kemudahan bagi perusahaan. Jangka waktu eksplorasi tambang juga diperpanjang dari 2 menjadi 8 tahun. Memberi peluang bagi perusahaan untuk mendapat izin usaha pertambangan (IUP) lebih dari 1 untuk komoditas yang sama. Minimnya perlindungan terhadap masyarakat antara lain terlihat dari ketentuan yang melegalkan lubang bekas tambang.

 

Alih-alih memerintahkan perusahaan untuk menutup lubang bekas tambang, RUU ini malah mengatur bekas lubang tambang bisa digunakan untuk irigasi dan wisata. “Dalam 5 tahun terakhir 117 orang tewas karena lubang bekas tambang, mayoritas korban berusia anak,” ungkap Merah.

 

Ketua Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rakhma Mary mengatakan minimnya perlindungan terhadap rakyat juga terlihat dalam RUU Pertanahan. Dari pernyataan beberapa pejabat pemerintahan yang dikutip media, Rakhma yakin RUU ini memang ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investasi dan mengakomodir kepentingan perusahaan. Klaim yang menyatakan RUU Pertanahan sebagai pelengkap UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menurut Rakhma itu hanya kamuflase.

 

“RUU Pertanahan mereduksi filosofi agraria sebagaimana amanat UU No.5 Tahun 1960. RUU ini menyamakan agraria dengan pertanahan,” sebut Rakhma.

 

Rakhma berpendapat RUU Pertanahan membuka peluang besar bagi korporasi melalui bank tanah dan pengelolaan tanah. Tanah yang menjadi target bank tanah yakni tanah menganggur (telantar). Bank tanah dibentuk pemerintah berada di bawah Kementerian. Anggaran bank tanah berasal dari banyak sumber dan bisa didanai lewat utang.

 

Selain itu, RUU Pertanahan mengatur soal hak pengelolaan yang selama ini tidak dikenal dalam UU No.5 Tahun 1960. Hak pengelolaan ini diserahkan kepada perusahaan atau badan hukum. Bahkan setelah memiliki hak pengelolaan, perusahaan atau badan hukum tersebut bisa mendapat hak guna usaha (HGU) di atas tanah tersebut. Masa berlaku hak guna usaha juga diperpanjang maksimal 95 tahun.

 

Soal pengadilan pertanahan, Rakhma melihat Kementerian (Agraria) berfungsi sebagai pelaksana mediasi. Padahal, selama ini Kementerian salah satu pihak yang kerap terlibat dalam konflik agraria. Rakhma yakin pengadilan pertanahan ini akan melemahkan hak rakyat terhadap tanah karena tidak memiliki bukti yuridis untuk pembuktian di persidangan. Hukum acara yang digunakan dalam pengadilan pertanahan sama seperti peradilan perdata.

 

“Yang membedakan dengan pengadilan perdata yakni pengadilan pertanahan nanti ditangani hakim ad hoc,” kata dia.

 

Ketimbang pengadilan pertanahan, Rakhma mengusulkan penyelesaian konflik agrarian melalui Komite Nasional Penyelesaian Konflik Agraria. Komite ini sempat masuk dalam draft RUU Pertanahan, tapi sekarang dihapus. Mengenai Reforma Agraria, RUU Pertanahan tidak menjelaskan secara rinci karena hanya mengatur soal definisi, subyek, dan obyek. Kepemilikan tanah masyarakat hukum adat juga dilemahkan karena status masyarakat hukum adat ditetapkan oleh pemerintah.

 

Koordinator Program Solidaritas Perempuan Arieska Kurniawaty mengatakan banyak kalangan perempuan yang mengeluhkan soal akses terhadap air. Menurutnya, sampai saat ini pemerintah belum memenuhi hak warga negara terhadap air sebagaimana amanat putusan MK bernomor 85/PUU-XI/2013 yang membatalkan UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

 

“Sampai saat ini terjadi kekosongan hukum. Pemerintah belum menjalankan putusan MK,” kritiknya.

 

Perempuan yang disapa Ari itu menjelaskan Februari 2018, pihaknya mengakses naskah akademik RUU Sumber Daya Air (SDA) yang diajukan DPR. Dalam draft RUU itu, Ari melihat masih banyak persoalan, seperti istilah yang digunakan masih “Sumber Daya Air.” Padahal, air tidak sekedar itu, tapi satu kesatuan ekosistem, bahkan ada yang menyebut “semesta air.” Ironisnya, kebijakan ekonomi Jilid 6 yang diterbitkan pemerintah semangatnya tidak seperti putusan MK, tapi malah melindungi perusahaan yang selama ini mengelola air.

 

“RUU Air ini melanggengkan perampasan sumber air oleh perusahaan,” bebernya. Baca Juga: PSHK: Pemerintahan 2019-2024 Harusnya Fokus pada Pembenahan Regulasi

 

Dalam rangka memberi kemudahan masuknya investasi, pemerintah juga menggulirkan kembali wacana untuk merevisi UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Direktur Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) Syarif Arifin menjelaskan wacara revisi UU No.13 Tahun 2003 bergulir sejak tahun 2006. Pria yang disapa Iip ini mencatat sedikitnya ada 7 poin yang disasar dalam revisi UU No.13 Tahun 2003 ini.

 

Pertama, memudahkan mekanisme pemutusan hubungan kerja (PHK). Kedua, hubungan kerja kontrak dan outsourcing dibuat menjadi lebih fleksibel. Ketiga, perekrutan pekerja melalui pihak swasta. Keempat, mengurangi besaran pesangon dan tunjangan. Kelima, menghapus atau pengurangan waktu istirahat (cuti). Keenam, pengupahan. Ketujuh, tenaga kerja asing. “Kalangan pengusaha ingin proses rekrutmen dan pemecatan lebih dipermudah.”

Tags:

Berita Terkait