Tiga RUU Ini Dinilai Belum Lindungi Hak Rakyat
Utama

Tiga RUU Ini Dinilai Belum Lindungi Hak Rakyat

Karena ketiga RUU itu dinilai lebih banyak mengatur dan menguntungkan korporasi ketimbang melindungi dan menjamin hak rakyat.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

“RUU Pertanahan mereduksi filosofi agraria sebagaimana amanat UU No.5 Tahun 1960. RUU ini menyamakan agraria dengan pertanahan,” sebut Rakhma.

 

Rakhma berpendapat RUU Pertanahan membuka peluang besar bagi korporasi melalui bank tanah dan pengelolaan tanah. Tanah yang menjadi target bank tanah yakni tanah menganggur (telantar). Bank tanah dibentuk pemerintah berada di bawah Kementerian. Anggaran bank tanah berasal dari banyak sumber dan bisa didanai lewat utang.

 

Selain itu, RUU Pertanahan mengatur soal hak pengelolaan yang selama ini tidak dikenal dalam UU No.5 Tahun 1960. Hak pengelolaan ini diserahkan kepada perusahaan atau badan hukum. Bahkan setelah memiliki hak pengelolaan, perusahaan atau badan hukum tersebut bisa mendapat hak guna usaha (HGU) di atas tanah tersebut. Masa berlaku hak guna usaha juga diperpanjang maksimal 95 tahun.

 

Soal pengadilan pertanahan, Rakhma melihat Kementerian (Agraria) berfungsi sebagai pelaksana mediasi. Padahal, selama ini Kementerian salah satu pihak yang kerap terlibat dalam konflik agraria. Rakhma yakin pengadilan pertanahan ini akan melemahkan hak rakyat terhadap tanah karena tidak memiliki bukti yuridis untuk pembuktian di persidangan. Hukum acara yang digunakan dalam pengadilan pertanahan sama seperti peradilan perdata.

 

“Yang membedakan dengan pengadilan perdata yakni pengadilan pertanahan nanti ditangani hakim ad hoc,” kata dia.

 

Ketimbang pengadilan pertanahan, Rakhma mengusulkan penyelesaian konflik agrarian melalui Komite Nasional Penyelesaian Konflik Agraria. Komite ini sempat masuk dalam draft RUU Pertanahan, tapi sekarang dihapus. Mengenai Reforma Agraria, RUU Pertanahan tidak menjelaskan secara rinci karena hanya mengatur soal definisi, subyek, dan obyek. Kepemilikan tanah masyarakat hukum adat juga dilemahkan karena status masyarakat hukum adat ditetapkan oleh pemerintah.

 

Koordinator Program Solidaritas Perempuan Arieska Kurniawaty mengatakan banyak kalangan perempuan yang mengeluhkan soal akses terhadap air. Menurutnya, sampai saat ini pemerintah belum memenuhi hak warga negara terhadap air sebagaimana amanat putusan MK bernomor 85/PUU-XI/2013 yang membatalkan UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait