Tiga Rekomendasi Komnas HAM atas Konflik Tambang Pasir di Perairan Sangkarrang
Berita

Tiga Rekomendasi Komnas HAM atas Konflik Tambang Pasir di Perairan Sangkarrang

Salah satunya, menghentikan sementara segala bentuk aktivitas penambangan guna memberikan kesempatan para pihak untuk melakukan dialog dan menyelesaikan masalah.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Komnas HAM. Foto: Sgp/Hol
Komnas HAM. Foto: Sgp/Hol

Kegiatan penambangan pasir laut yang dilakukan perusahaan asal Belanda untuk reklamasi di perairan Sangkarrang, Makassar, Sulawesi Selatan, menuai kritik. Deputi Sekjen Kiara, Parid Ridwanuddin mengatakan secara administratif wilayah tersebut masuk kota Makasar dan tercatat dari 5 ribu penduduknya sekitar seribunya merupakan keluarga nelayan tradisional.

Keluarga nelayan itu terdampak aktivitas penambangan pasir laut di perairan Sangkarrang karena hasil tangkapan mereka turun signifikan. Akibatnya, keluarga nelayan harus berhutang untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari. Parid mencatat kegiatan penambangan itu dilakukan sejak Februari 2020.

Penambangan pasir dinilai merusak ekosistem di perairan tangkap nelayan, sehingga ikan kabur dari wilayah itu. Koalisi bersama nelayan telah menyambangi berbagai lembaga untuk menyelesaikan masalah ini termasuk di kedutaan besar Belanda. Dari pertemuan dengan pihak kedutaan besar Belanda di Indonesia Parid menjelaskan bahwa mereka mengakui perusahaan yang menambang pasir itu tidak melakukan konsultasi yang bermakna.

“Mekanisme pertambangan tidak dilakukan secara benar sesuai hukum di Indonesia karena tidak ada konsultasi publik yang baik di masyarakat. Maka penambangan ini harus dihentikan,” kata Parid dalam diskusi secara daring, Selasa (4/8/2002).

Parid mengingatkan UU No.7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam memandatkan pemerintah untuk melindungi dan memberdayakan nelayan di perairan Singkarrang. Sayangnya mandat ini tidak dilaksanakan pemerintah.

Mengacu Pasal 12 UU No.7 Tahun 2016, Parid memaparkan sedikitnya 8 strategi yang perlu dilakukan pemerintah pusat dan daerah untuk melindungi dan memberdayakan nelayan. Pertama, penyediaan prasarana usaha perikanan dan pergaraman. Kedua, kemudahan memperoleh sarana usaha perikanan dan pergaraman. Ketiga, jaminan kepastian usaha. Keempat, jaminan risiko penangkapan ikan, pembudidaya ikan dan pergaraman. Kelima, penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi. Keenam, pengendalian impor komoditas perikanan dan pergaraman. Ketujuh, jaminan keamanan dan keselamatan. Kedelapan, fasilitasi dan bantuan hukum.

Advokat publik LBH Makassar, Edy Kurniawan, mencatat nelayan Sangkarrang sudah melakukan aksi protes sebanyak 5 kali. Aksi itu dilakukan dengan cara antara lain menghadang kapal penyedot pasir yang digunakan perusahaan, dan demonstrasi ke kantor Gubernur Sulawesi Selatan.

Secara umum yang dihadapi aktivis HAM dan lingkungan hidup serta masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan, ada teror dan intimidasi yang dilakukan pihak tertentu.  Bahkan perusahaan melakukan kriminalisasi terhadap warga dengan cara melaporkan ke pihak kepolisian dengan tuduhan memotong uang kertas rupiah dengan tujuan merendahkan. Edy menilai upaya intimidasi dan kriminalisasi itu ditujukan untuk meredam penolakan dan demonstrasi yang dilakukan nelayan.

Edy menjelaskan perkara itu bermula dari laporan tertanggal 17 Juli 2020 ke Polda Sulawesi Selatan yang intinya melaporkan sejumlah warga yang dituduh merobek atau memotong uang kertas dengan tujuan merendahkan rupiah. Secepat kilat, laporan itu ditindaklanjuti pada tanggal 19 Juli 2020 dengan memanggil warga yang dilaporkan. Salah satu warga ditetapkan sebagai saksi. Harusnya, warga diberi kesempatan untuk memberikan klarifikasi terkait tuduhan tersebut. “Seolah ada kekuatan yang mendorong Polda Sulawesi Selatan untuk memproses kasus ini dengan cepat,” kata dia.

Parid menjelaskan faktanya, warga yang dituduh merobek uang kertas itu sebenarnya merobek amplop yang ternyata isinya sejumlah uang. Berulang kali warga yang diperiksa sebagai saksi itu konsisten bahwa yang dia robek itu amplop yang diberikan pihak perusahaan. Dia tidak mengetahui bahwa isinya uang kertas. Parid mendesak sejumlah pihak seperti Kapolri, Gubernur Sulawesi Selatan, Komnas HAM, dan kementerian Kelautan dan Perikanan untuk segera menghentikan kriminalisasi ini.

Kasus ini menjadi perhatian lembaga negara, salah satunya Komnas HAM. Melalui surat tertanggal 17 Juli 2020 Komnas HAM mendesak Gubernur Sulawesi Selatan, Duta Besar Belanda di Indonesia, dan Kapolda Sulawesi Selatan untuk melakukan sedikitnya 3 hal. Pertama, menghentikan sementara segala bentuk aktivitas penambangan guna memberikan kesempatan para pihak untuk melakukan dialog dan menyelesaikan masalah.

Kedua, melakukan segala upaya untuk mencegah terjadinya kekerasan yang dapat merugikan kedua pihak terutama kelompok rentan. Ketiga, memberikan informasi penanganan kasus ini paling lambat 7 hari kerja sejak diterimanya surat ini.

Dalam surat tersebut komisioner Komnas HAM, M Choirul Anam, menyebut sudah ada kesepakatan bersama tentang penghentian aktivitas tambang pasir laut dan pemulihan hak-hak nelayan kepulauan Sangkarrang. Hal itu disepakati nelayan kepulauan Sangkarrang dengan PT Royal Boskalis dan PT Benteng Laut Indonesia tanggal 8 Juli 2020.

Tapi setelah berhenti beroperasi selama 10 hari, perusahaan menjalankan kembali aktivitas penambangan. Hal ini yang membuat nelayan merasa dikhianati, sehingga pada 17 Juli 2020 mereka melakukan demonstrasi. “Pengadu meminta perusahaan menghormati kesepakatan yang telah dibuat dengan menghentikan aktivitas penambangan sebelum jatuh korban,” begitu kutipan surat yang ditandatangani Komisioner Komnas HAM, M Choirul Anam.

Tags:

Berita Terkait