Tiga Modus Penangkapan dan Kriminalisasi terhadap Advokat-PBH
Berita

Tiga Modus Penangkapan dan Kriminalisasi terhadap Advokat-PBH

Mulai modus penangkapan, segi isu, hingga dilanjutkan dengan tindakan pelanggaran hukum. Tindakan kesewenang-wenangan aparat itu melanggar beberapa ketentuan. Mulai Pasal 11 UU Bantuan Hukum, Pasal 5 UU Advokat, serta hukum acara pidana.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Sejumlah narasumber dalam diskusi daring bertajuk 'Laporan YLBHI tentang Kriminalisasi Advokat/Pengacara Bantuan Hukum', Selasa (27/4/2021). Foto: RFQ
Sejumlah narasumber dalam diskusi daring bertajuk 'Laporan YLBHI tentang Kriminalisasi Advokat/Pengacara Bantuan Hukum', Selasa (27/4/2021). Foto: RFQ

Masyarakat pencari keadilan sangat membutuhkan akses dari para pengacara bantuan hukum (PBH) atau Advokat. Sebab, selama ini peran PBH memberikan bantuan hukum diarahkan pada masyarakat miskin, rentan, terpinggirkan/termaginalkan menjadi bagian mewujudkan masyarakat yang berkeadilan. Sayangnya, para PBH yang menjalankan tugasnya itu kerap mendapat perlakuan berupa penangkapan atau kriminalisasi yang dilakukan aparat kepolisian.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan terdapat fakta penangkapan dan kriminalisasi terhadap PBH dan Advokat yang terjadi di sejumlah wilayah. Setidaknya terdapat tiga modus yang hampir serupa digunakan para pelaku yang menangkap dan mengkriminalisasi PBH maupun advokat

Pertama, modus saat penangkapan. Tindakan tersebut disertai dengan kekerasan dan/atau kriminalisasi lantaran menjalankan tugas pemberian bantuan hukum berupa memberikan argumentasi hukum, melerasi keributan dan mencoba menenangkan, hingga mengambil gambar kekerasan aparat kepolisian.

Kedua, dari segi isu. Seperti isu Papua, PBH malah ditangkap dan dikriminalisasi lantaran mendampingi dan memberikan bantuan hukum bagi para warga Papua. Kemudian soal konflik agraria, seperti penggusuran dan pencemaran lingkungan. Selanjutnya, isu perburuhan, Aksi Kamisan, arah politik luar negeri Indonesia, serta dalam kasus Cicak Buaya/Pelemahan KPK.

Ketiga, setelah PBH ditangkap, ternyata terdapat beberapa pelanggaran hukum. Seperti tidak diperbolehkan menghubungi pengacara. Kemudian PBH yang ditangkap untuk dilakukan pemeriksaan. Tapi, penangkapan terhadap PBH adapula yang tidak dilakukan pemeriksaan. “Serta ada upaya pemeriksaan urine, dan penyitaan handphone tanpa izin,” ujar Asfinawati dalam Laporan YLBHI tentang Kriminalisasi Advokat/Pengacara Bantuan Hukum”, Selasa (27/4/2021) kemarin.

Bagi Asfin, tindakan sewenang wenang aparat kepolisian melanggar beberapa ketentuan hukum. Pertama, Pasal 11 UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Pasal 11 menyebutkan “Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat”.

Kedua, Pasal 5 UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat. Pasal 5 menyebutkan, “Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan”. Ketiga, pelanggaran terhadap hukum acara pidana. Seperti dipanggil untuk klarifikasi. Padahal dalam KUHAP tidak terdapat istilah klarifikasi. Kemudian, ditangkap tanpa status sebagai tersangka dan tanpa 2 alat bukti, serta tidak tertangkap tangan.

“Selanjutnya upaya paksa ilegal yakni tes urine dan penyitaan handphone,” ujarnya.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Eti Oktaviani mengatakan para PBH di kota tempat tinggalnya pun kerap mengalami penangkapan dan kriminalisasi. Setidaknya terdapat 5 orang PBH dari LBH Semarang dan Advokat yang mengalami penangkapan dan kriminalisasi oleh aparat kepolisian wilayah Jawa Tengah. Seperti saat PBH dan Advokat LBH Semarang ditangkap dan dikriminalisasi saat memberi bantuan hukum dan pendampingan aksi mahasiswa Papua.

Tak hanya itu, kata Eti, pengacara LBH Semarang ditangkap saat menjalankan tugasnya sebagai advokat yang melakukan kerja-kerja nonlitigasi. Seperti saat penanganan kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan sebuah perusahaan. “Juga ditangkap oleh aparat kepolisian di Sukoharjo, selain ditangkap anggota kami juga mengalami kekerasan,” ungkapnya.

Sementara Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana mengatakan riset lembaganya menyebutkan ada beberapa kasus kriminalisasi yang dialami PBH. Sepanjang 2015-2021, sedikitnya terdapat 9 PBH dari LBH Jakarta yang ditangkap dan dikriminalisasi aparat kepolisian. Bahkan diseret ke pengadilan dengan pasal-pasal yang dicari-cari.

“Padahal mereka sudah menunjukkan identitas dan menjelaskan bahwa mereka sedang menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai advokat dan pemberi bantuan hukum. Hingga ke tingkat kasasi (Mahkamah Agung) kita berhasil membuktikan bahwa tindakan kepolisian adalah tindakan kriminalisasi,” bebernya.

Pola kriminalisasi dan kekerasan terhadap Advokat di berbagai wilayah nyaris serupa. Khususnya terkait dengan hak kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. Seperti yang terjadi kesekian kali di Manado, Sulawesi Utara. Sebab, sejumlah PBH dan Advokat LBH Manado mengalami tindakan penangkapan dan krimnalisasi.

Direktur LBH Manado, Frank T Kahiking mengatakan sepanjang periode 2018- 2021, setidaknya terdapat penangkapan dan kriminalisasi terhadap 5 orang PBH dan advokat LBH Manado. Selain ditangkap dan dikriminalisasi, kelima orang PBH dan advokat LBH Manado pun mengalami tindak kekerasan dan intimidasi.

“Belum lama ini, PBH dan advokat LBH Manado ditangkap pada saat memberikan bantuan hukum mendampingi teman-teman yang sedang melakukan aksi Kamisan,” kata Frank T Kahiking.

Senada, Direktur LBH Yogyakarta Yogi Fadhli mengatakan personil LBH tempatnya bernaung mengalami hal yang sama. Tepatnya tiga hari lalu, Jumat (24/4), 2 orang PBH dan advokat LBH Yogyakarta ditangkap aparat Polres Purworejo saat mendampingi warga penolak proyek Bendungan Bener di Desa Wadas, Purworejo.

LBH Yogyakarta mencatat, kata Yogi, setidaknya terdapat 4 orang PBH dan advokat yang ditangkap serta dikriminalisasi sepanjang 2017-2021. Tak cukup penangkapan, aparat kepolisian melakukan tes urine terhadap dua PBH yang ditangkap. “Dengan melakukan test urine, aparat kepolisian melakukan tindakan sewenang-wenang, tidak memiliki dasar hukum. Polisi hanya beralasan sebagai diskresi,” katanya

Tags:

Berita Terkait