Tiga Kubu PERADI ‘Bersatu’ Menjaga Marwah Profesi Advokat
Utama

Tiga Kubu PERADI ‘Bersatu’ Menjaga Marwah Profesi Advokat

Para lawyer senior dan muda antusias menegakkan marwah advokat dengan menghilangkan sekat-sekat organisasi.

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Firman Wijaya (kemeja putih), Luhut MP Pangaribuan (membelakangi kamera). Ketiga organisasi advokat bersatu menjaga marwah advokat. Foto: MYS
Firman Wijaya (kemeja putih), Luhut MP Pangaribuan (membelakangi kamera). Ketiga organisasi advokat bersatu menjaga marwah advokat. Foto: MYS

Laporan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terhadap pengacara mantan Ketua DPR Setya Novanto, Firman Wijaya mungkin ada hikmahnya. Tiga kubu Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) "bersatu" membela Firman atas tuduhan penghinaan dan pencemaran nama baik terkait penyebutan nama SBY dalam sidang perkara korupsi e-KTP.

 

Sebagaimana diketahui, PERADI pecah menjadi tiga kubu, yakni PERADI di bawah kepemimpinan Fauzie Hasibuan, Luhut MP Pangaribuan, dan Juniver Girsang. Meski tak lagi satu "atap", mereka "bersatu" membela Firman dengan membentuk beberapa tim, antara lain "Tim Advokasi untuk Kehormatan Profesi". Juniver ditunjuk sebagai koordinatornya.  

 

Juniver mengatakan, hingga kini, sudah lebih dari 450 advokat yang bergabung dalam Tim Advokasi. Dari 450 advokat yang bergabung, sudah 180 yang menandatangani surat kuasa. Sisanya, masih meminta waktu sampai pekan depan untuk bisa menandatangani surat kuasa karena ada beberapa yang berasal dari luar kota.

 

"Yang mengharukan saya adalah para lawyer senior dan muda sangat antusias menegakkan marwah advokat dengan menghilangkan sekat-sekat organisasi. Ternyata dari kejadian case Firwij (Firman Wijaya) call emergency on bagi semua advokat apabila marwah atau martabat profesi dikriminalisasi," ujarnya kepada hukumonline, Minggu (25/2).

 

(Baca juga: Tiga Kubu Peradi Bersatu untuk Pro Bono)

 

Upaya kriminalisasi terhadap Firman dinilai bukan sekadar permasalahan individu, melainkan sudah menyangkut profesi advokat. Upaya kriminalisasi itu muncul saat Firman tengah menjalankan tugas profesinya. Juniver menganggap isu ini sangat krusial bagi profesi advokat, sehingga sudah sepantasnya jika ketiga kubu "bersatu" melakukan pembelaan. "Advokat kalau sudah marwah, roh, martabat, profesi diperlakukan tidak adil atau dikriminalisasi, pasti bersatu," imbuhnya.

 

Awalnya Juniver secara pribadi memang berniat menggalang dukungan untuk melakukan pembelaan terhadap Firman. Ternyata, gayung bersambut. Keinginan Juniver mendapat respon positif dari beberapa rekan advokat yang juga telah menginisiasi pembelaan untuk Firman. Alhasil, terbentuklah Tim Advokasi atas inisiasi bersama.

 

Luhut pun menyatakan niatan melakukan pembelaan terhadap Firman muncul secara spontan. Firman bahkan mendatangi acara konsultasi penyusunan panduan probono yang diselenggarakan Peradi Kubu Luhut, 9 Februari lalu. Di acara itu, Firman menyampaikan pernyataan keprihatinan atas laporan terhadap dirinya. Namun, Luhut mengaku, Juniver lebih aktif. "Dia menghubungi saya dan saya tentu akan respon karena Firman itu terdaftar di tempat (PERADI) saya. Kemudian, Juniver mengundang Fauzi dan organisasi lain selain PERADI juga ikut," katanya.

 

Senada dengan Juniver, Luhut menganggap isu krusial pembelaan terhadap Firman adalah kedudukan profesi advokat sebagai bagian kekuasaan kehakiman. Advokat memiliki hak imunitas, sehingga tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata di dalam maupun luar persidangan saat menjalankan tugas dengan itikad baik.

 

Luhut melihat apa yang dilakukan Firman, termasuk di luar persidangan, masih dalam ranah menjalankan tugasnya sebagai advokat yang merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman dan tidak boleh diintervensi. Ia menilai pelaporan terhadap Firman sebagai bentuk intervensi terhadap tugas dan tanggung jawab profesi advokat. "Dalam konteks inilah kami semua advokat bersatu," ucapnya.

 

Dalam waktu dekat, sambung Luhut, tim akan siap sedia jika suatu waktu ada panggilan pemeriksaan terhadap Firman. Tim juga akan melakukan konsolidasi dan sosialisasi tentang kehormatan profesi secara internal dan eksternal, antara lain dengan Komisi III DPR.

 

Fauzie Yusuf Hasibuan mengatakan, PERADI di bawah kepemimpinannya juga memiliki persepsi yang sama, yaitu semua profesi advokat harus mendapat perlindungan hukum, tidak terkecuali Firman. Meski Firman adalah anggot PERADI di bawah kepemimpinan Luhut, ia merasa terpanggil untuk berkontribusi melakukan pembelaan.

 

Fauzie berpandangan, semua advokat memiliki kewajiban melakukan pembelaan terhadap kasus-kasus yang menyangkut hak imunitas profesi advokat. Akan tetapi, ia mengaku pihaknya tidak bergabung di dalam tim yang sama. Sebab, kurang tidak strategis jika semua menumpuk dalam satu tim dan mengerjakan tugas yang sama. "Ada cara-cara lain yang kita akan lakukan, sehingga hal-hal yang umpamanya memberikan kontribusi pikiran di pengadilan untuk sebuah keterangan ahli terkait dengan itu (hak imunitas). Itu kan bisa kita lakukan. Berarti kita tidak mesti melakukan sebuah gabungan," tuturnya.

 

Fauzie menilai, sebenarnya aturan hukum mengenai hak imunitas advokat sudah cukup memadai. Pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat sudah mengatur jelas mengenai hak imunitas. Terlebih, Mahkamah Konstitusi (MK) juga sudah memperluas lingkup imunitas. Tak hanya di dalam persidangan, tetapi juga di luar persidangan.

 

Persoalannya, menurut Fauzie, ketentuan mengenai hak imunitas sudah diatur jelas dalam UU, orang-orang menafsirakan hak imunitas advokat secara berbeda-beda. Akibatnya, timbul multitafsir. Oleh karena itu, andai kata kasus Firman berlanjut ke pengadilan, ia berharap majelis hakim tidak salah menafsirkan hak imunitas.

 

(Baca juga: Histori Kehormatan Profesi Advokat yang Mulai Padam)

 

"Inilah kita harus melakukan sebuah perjuangan (memberi keterangan ahli). Jangan sampai nanti di pengadilan negeri memutus lain, sehingga imunitas profesi bisa kehilangan imunitas. Kalau profesi itu sudah kehilangan imunitas, maka kita tidak mempunyai kemampuan lagi untuk memperjuangkan hak-hak klien kita itu sendiri," terangnya.

 

Solidaritas profesi dan bantahan Firman

Melihat kekompakan ketiga kubu PERADI, Firman Wijaya mengaku dirinya tidak dapat berkomentar banyak. Ia hanya mengucapkan terima kasih atas dukungan yang telah diberikan para advokat senior dan kolega seprofesi. "Itu hanya proses alamiah dan volksgeist (jiwa) advokat yang memiliki tradisi hukum otonom.

 

"Single bar atau multi bar adalah pilihan yang terus berproses bagi organisasi-organisasi profesi advokat di Indonesia yang sedang mencari bentuk idealnya. Tapi, bagi saya solidaritas dan soliditas profesi bisa dibangun di atas kepentingan dan situasi apapun juga. Bravo advokat Indonesia," ujarnya.

 

Mengenai tuduhan penghinaan dan pencemaran nama baik yang dialamatkan SBY kepadanya, Firman membantah. Ia menegaskan, Standar Operating Procedure (SOP) di KPK sangat ketat dan steril. Siapapun, termasuk pengacara dan majelis hakim tidak mengetahui siapa saja saksi yang akan diajukan KPK di persidangan.

 

Maka dari itu, Firman mengaku, tim pengacara kerap membawa kopor berisi semua berkas perkara saat pemeriksaan para saksi di persidangan.

 

Terkait dengan tuduhan pertemuan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin yang disebut-disebut sebagai awal perencanaan skenario untuk menjatuhkan SBY dan Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas, Firman juga membantah.

 

Untuk diketahui, Firman, Mirwan, Saan Mustopa (politikus Partai Nasional Demokrat yang dahulu politikus Partai Demokrat), dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum disebut-sebut melakukan pertemuan sebelum Mirwan memberikan kesaksian dalam persidangan Novanto.

 

"Kunjungan klien pun, penasihat hukum diperiksa dari ujung rambut sampai isi sepatu. Bagus sih walau kadang malu karena saya suka jarang pakai kaos kaki . He..he.. itu saja," imbuh advokat yang dahulu juga menjadi pengacara Anas ini sambil berseloroh.

 

SBY melaporkan Firman ke Bareskrim Mabes Polri dengan Laporan Polisi No.LP/187/II/2018/Bareskrim tak lama setelah menggelar konferensi pers di kantor DPP Partai Demokrat, Selasa (6/2). SBY melaporkan Firman dengan Pasal 310 ayat (1) jo Pasal 311 KUHP jo Pasal 27 ayat (3) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transasi Elektronik (UU ITE).

 

Nama SBY mencuat setelah Wakil Ketua Badan Anggaran DPR periode 2009-2014, Mirwan Amir bersaksi dalam sidang perkara korupsi Novanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (25/1) lalu. Kala itu, Mirwan mengaku pernah menyampaikan persoalan proyek e-KTP kepada SBY. Namun, SBY meminta proyek tetap dilanjutkan karena menjelang Pilkada.

 

Keterangan tersebut terucap dari mulut Mirwan saat Firman mengklarifikasi apakah Mirwan pernah mengkomunikasikan persoalan proyek e-KTP kepada SBY. Mirwan mengaku pernah mendengar dari seorang pengusaha bernama Yusman Salihin bahwa proyek e-KTP bermasalah. Bahkan, Yusman pernah menyampaikan permasalahan itu kepada pemerintah melalui surat. "Saya juga percaya dengan Pak Yusman kalau memang program ini tidak baik, jangan dilanjutkan," kata Mirwan saat bersaksi dalam persidangan Novanto.

 

"Atas saran saudara Yusman, saudara sebagai anggota DPR dari fraksi partai pemenang 2009 pernah menyampaikan sesuai yang disampaikan Pak Jaksa bahwa ini ada masalah dan proyek ini jangan dilanjutkan?," tanya Firman.

"Pernah saya sampaikan bahwa program e-KTP ini lebih baik tidak dilanjutkan".

"Dimana?," tanya Firman lagi.

"Di Cikeas," jawab Mirwan.

"Tanggapan dari Pak SBY apa waktu itu pak? Ini penting supaya pertanyaan Pak Jaksa bisa clear?," selidik Firman.

"Tanggapan dari Bapak SBY bahwa ini kita untuk menuju Pilkada, jadi proyek ini diteruskan," ungkap Mirwan.

 

Demikian penggalan tanya jawab yang sempat berlangsung antara Firman dan Mirwan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Rupanya, tanya jawab inilah yang membuat SBY "geram" dan melaporkan Firman ke Bareskrim. SBY menganggap Firman dan Mirwan telah bersekongkol melakukan rekayasa untuk kepentingan tertentu.

Tags:

Berita Terkait