Tiga Kriteria yang “Haram” Untuk Pimpinan KPK Berikutnya
Utama

Tiga Kriteria yang “Haram” Untuk Pimpinan KPK Berikutnya

Pimpinan KPK ke depan jangan punya loyalitas ganda, jangan menjadikan KPK sebagai batu loncatan serta jangan membawa misi dan kepentingan tertentu.

CR19
Bacaan 2 Menit
Sejumlah Narasumber dalam Diskusi Bertema
Sejumlah Narasumber dalam Diskusi Bertema "Menyandera (Seleksi) Pimpinan KPK" di Jakarta, Kamis (20/8). Foto: CR19

Setidaknya ada tiga kriteria yang “haram” ada pada diri pimpinan KPK terpilih. Hal itu diutarakan Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW, Emerson Yuntho. Menurutnya, ketiga kriteria tersebut di luar syarat-syarat wajib seperti independen, integritas, dan tidak memiliki conflict of interest.

Kriteria-kriteria ini menjadi pekerjaan rumah bagi panitia seleksi (Pansel) KPK sebelum diserahkan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Apalagi, Pansel KPK masih memiliki tahapan berikutnya yakni tes kesehatan dan wawancara pada 24-26 Agustus 2015. Emerson berharap, tiga kriteria tersebut wajib diwaspadai oleh pansel.

“Yang perlu juga diwaspadai oleh Pansel paling tidak ada tiga hal,” ujarnya ditengah diskusi yang diselenggarakan Transparency International Indonesia (TII), di Jakarta, Kamis (20/8).

Pertama, lanjut Emerson, pimpinan KPK mendatang haruslah bersih dari isu loyalitas ganda. Menurutnya, isu loyalitas ganda ini khususnya dialamatkan bagi calon pimpinan KPK yang berasal dari institusi tertentu, semisal Kepolisan atau Kejaksaan. Terlebih lagi calon pimpinan KPK itu masih aktif bekerja dan belum masuk pada usia pensiun di institusi sebelumnya.

“Jangan sampai misalnya ketika dia terpilih, bosnya ada dua, ketua KPK dan pimpinan institusi asal,” katanya.

Kriteria haram kedua, calon tersebut tidak membawa misi dan kepentingan tertentu. Emerson mengatakan, saat pimipinan KPK itu memiliki misi dan kepentingan tertentu, maka hal itu akan menyulitkan dirinya dalam melakukan penanganan pada kasus tertentu. Selain itu, pimpinan KPK itu nantinya juga tidak akan mau lagi menangani kasus yang serupa dengan itu.

“Simpelnya begini, kalau ada calon pimpinan KPK yang yang memiliki rekening gendut atau transaksi mencurigakan kemudian terpilih menjadi pimpinan KPK, ke depan pasti dia tidak akan mau menangani kasus-kasus yang serupa dengan dia,” paparnya.

Kriteria ketiga yang wajib diwaspadai pansel lainnya adalah menjadikan jabatan di KPK sebagai batu loncatan semata. Emerson menyadari memang jabatan sebagai pimpinan KPK merupakan jabatan strategis dan jabatan yang seksi. Bahkan, dia berani menyebut bahwa dari 19 nama calon pimpinan KPK, ada sejumlah nama yang ingin menjadikan karirnya di KPK sebagai pelancar karirnya ke depan.

“Karena kita juga melihat nampaknya ada dari 19 nama ini yang ingin menjadikan KPK untuk step berikutnya, tapi saya nggak bisa sebutkan,” katanya.

Pakar Hukum Tata Negara Saldi Isra tak sependapat dengan Emerson terkait dengan larangan jabatan pimpinan KPK sebagai batu loncatan. Menurut Saldi, capim yang menjadikan karirnya di KPK sebagai batu loncatan adalah hal yang lumrah. Namun, selama bekerja sebagai pimpinan di KPK, calon tersebut tetap menjalankan fungsinya secara benar dan juga optimal.

“Tapi saya termasuk orang yang tidak keberatan kalau jadi Komisioner KPK untuk loncatan. Sepanjang dia bekerja benar dan optimal. Jadi saya tidak keberatan, yang penting anda harus bekerja benar dan optimal,” jelas Saldi sambil menepuk-nepuk bahu Emerson.

Solusi
Untuk menghindari tiga kriteria tersebut, ICW menyarankan sejumlah solusi. Pertama, lanjut Emerson, dengan menanyakannya langsung kepada para calon pimpinan KPK dalam tahap wawancara nanti. Selain itu, dibuat semacam pakta integritas yang berisi sejumlah hal yang dilarang selama menjabat sebagai pimpinan KPK nantinya.

“Jalan keluarnya adalah selain ini dipertanyakan kepada calon-calon pimpinan pada saat seleksi, itu kita sendiri mendorong untuk membuat semacam pakta integritas. Pakta integritas ini paling tidak menyatakan bahwa dia tidak boleh keluar sebagai pimpinan KPK sebelum masa jabatannya berakhir,” paparnya.

Sejumlah hal yang diatur dalam pakta tersebut, kata Emerson, misalnya terkait dengan potensi adanya ‘kutu lompat’ yang ingin menjadikan KPK sebagai batu loncatan. Jika ada yang ‘lompat’ dari KPK sebelum menyelesaikan masa jabatannya maka perlu adanya sistem penjatuhan sanksi.

“Kemudian kalau dia lompat dari KPK, sebaiknya perlu dibuat denda yang besar. Misalnya Rp5 miliar atau Rp10 miliar, ini akumulasi dari misalnya nilai biaya proses rekrutmen calon pimpinan KPK,” katanya.

Terkait dengan isu konflik kepentingan, Emerson menambahkan, paling tidak harus ada penegasan dalam suatu klausul (dalam pakta) dimana ketika KPK akan melakukan pengusutan kasus ke lembaga atau institusi dia yang lama, dia berani menjamin serta mendukung langkah KPK dalam mengusutnya.

“Soal konflik kepentingan ini harus ada penegasan bahwa dia berani mendukung langkah-langkah bersih-bersih institusi penegak hukum atau di institusi asal anda,” sebutnya.

Dengan dibentuknya pakta integritas itu, Emerson berharap, agar integritas pimpinan KPK terpilih bisa terbentuk dan terjamin karena dibuat di atas hitam-putih. Selain itu, jika pakta integritas ini bisa dimunculkan sejak tahap seleksi pada proses setelah wawancara maka, pihak Pansel KPK ikut membangun integritas calon pimpinan KPK sejak awal sebelum dia menjabat.

Tags:

Berita Terkait