Tiga Kontroversi Lembaga Antikorupsi Saat Pandemi
Utama

Tiga Kontroversi Lembaga Antikorupsi Saat Pandemi

Mulai dari OTT "prank" hingga seleksi pejabat.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

"Kasus dengan model pemerasan seperti ini bukan kali pertama ditangani oleh KPK. Pada tahun 2013 yang lalu lembaga antirasuah ini pun pernah menjerat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kantor Wilayah Dirjen Pajak, Pargono Riyadi. Saat itu ia diduga melakukan pemerasan terhadap wajib pajak, Asep Hendro, sebesar Rp125 juta," kata Kurnia. 

Kedua, dugaan tindak pidana suap yang dilakukan oleh Rektor UNJ. Tentu dugaan ini akan semakin terang benderang ketika KPK dapat membongkar latar belakang pemberian uang kepada pegawai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Apakah hanya sekadar pemberian THR atau memang pemberian telah dilakukan berulang kali.

Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang berbunyi: setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri dengan maksud supaya pegawai negeri tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dapat dihukum maksimal 5 tahun penjara

"Untuk itu, karena dalam hal ini pemberi suap diduga adalah Rektor yang notabene menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 merupakan penyelenggara negara, maka sudah barang tentu KPK dapat mengusut lebih lanjut perkara ini. Atas dasar argumentasi itu, lalu apa yang mendasari KPK memilih untuk tidak menangani perkara tersebut?" terangnya. 

Alasan lainnya memang kalau melihat jumlah uang sebagai barang bukti yang diamankan. Memang secara nilai jumlah itu tergolong kecil, hanya sebesar Rp55 juta. Namun, pertanyaan lebih mendalamnya yang harus digali oleh penegak hukum adalah: apakah pemberian ini merupakan kali pertama, atau sebelumnya pernah juga dilakukan?

Pada rezim kepemimpinan KPK sebelumnya kerap ditemukan kasus-kasus yang ketika dilakukan tangkap tangan jumlah uangnya sedikit. Akan tetapi setelah didalami ternyata aliran dana yang mengalir pada oknum tertentu tergolong cukup besar. Misalnya saja pada kasus yang melibatkan mantan Ketua PPP, Romahurmuzy. Saat melakukan KPK melakukan tangkap tangan, uang yang ditemukan hanya sebesar Rp156 juta. Akan tetapi saat proses penyidikan serta persidangan berlangsung, diketahui bahwa yang bersangkutan menerima sebesar Rp346,4 juta.

Kurnia menambahkan ke depan KPK mesti berfokus untuk menangani perkara-perkara dengan nilai kerugian negara besar, seperti kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas terhadap Obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang merugikan keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun, kasus bailout Bank Century dengan kerugian negara Rp7,4 triliun, dan pengadaan KTP-Elektronik yang menelan kerugian negara sebesar Rp2,3 triliun. "Penting untuk diingat bahwa gaji Pimpinan KPK saat ini tergolong sangat besar yakni lebih dari Rp100 juta. Maka dari itu, tenaga mereka lebih baik dialokasikan untuk menangani kasus-kasus besar, dibanding hanya memproduksi rangkaian kontroversi," tuturnya.

Tags:

Berita Terkait