Tiga Kontroversi Lembaga Antikorupsi Saat Pandemi
Utama

Tiga Kontroversi Lembaga Antikorupsi Saat Pandemi

Mulai dari OTT "prank" hingga seleksi pejabat.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

Setelah itu Dwi Achmad Noor diamankan tim KPK dan Itjen Kemendikbud. Selanjutnya KPK melakukan serangkaian permintaan keterangan antara lain terhadap Komarudin (Rektor UNJ), Dwi Achmad Noor (Kabag Kepegawaian UNJ), Sofia Hartati (Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan), Tatik Supartiah (Analis Kepegawaian Biro SDM Kemendikbud), Diah Ismayanti (Karo SDM Kemendikbud), Dinar Suliya (Staf SDM Kemendikbud), Parjono ( Staf SDM Kemendikbud). 

Koordinator MAKI Boyamin Saiman menganggap apa yang dilakukan KPK justru mempermalukan diri mereka sendiri. OTT ini sangat tidak berkelas dan sangat memalukan karena KPK saat ini OTT hanya level kampus, jumlah uang Rp43 juta dan lebih parah lagi kemudian penanganannya diserahkan kepada polisi dengan alasan tidak ada penyelenggara negaranya.

"Alasan pelimpahan kepada polisi bahwa tidak ada penyelenggara negara juga sangat janggal karena apapun rektor jabatan tinggi di kementerian pendidikan, mestinya KPK tetap lanjut tangani sendiri dan tidak serahkan kepada Polisi. Rektor adalah Penyelenggara Negara karena ada kewajiban laporkan hartanya ke LHKPN. Kalau KPK menyatakan tidak ada Penyelenggara negara maka berarti telah ada teori baru made in KPK new normal akibat Corona," kata Boyamin.

Selain itu kegiatan tangkap tangan seperti ini bukan hal baru di KPK, maka seharusnya sudah ada perencanaan yang matang. Namun yang terjadi justru sebaliknya, tidak ada perencanaan dan pendalaman dengan baik atas informasi yang masuk, sehingga hasilnya sangat jauh dari harapan publik.

Kurnia Ramadhana, peneliti ICW juga mengkritisi hal ini. Menurut Kurnia, setidaknya ada dua dugaan tindak pidana korupsi dapat digunakan oleh KPK dalam OTT di Kemendikbud. Pertama, dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan atau pungutan liar yang dilakukan oleh Rektor UNJ. 

Pasal 2 angka 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 menjelaskan bahwa Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Tentu dikaitkan dengan Pasal 11 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 maka KPK berwenang untuk menangani perkara korupsi yang melibatkan penyelenggara negara. 

Terlebih lagi, Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 secara tegas mengatakan bahwa penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan orang lain secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu atau membayar dapat dijerat dengan maksimal hukuman 20 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar.

Tags:

Berita Terkait