Tiga Jenis Perbaikan Layanan untuk Peserta JKN-KIS
Berita

Tiga Jenis Perbaikan Layanan untuk Peserta JKN-KIS

Yakni antrian elektronik, informasi ketersediaan tempat tidur, dan cuci darah (hemodialisa) tanpa rujukan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: RES
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: RES

Kenaikan iuran JKN-KIS yang dimulai 1 Januari 2020 perlu dibarengi dengan peningkatan pelayanan bagi peserta. Sebagai upaya mencapai itu, Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan pihaknya bersama dengan Asosiasi Perhimpunan RS Seluruh Indonesia (Persi) dan Asosiasi RS Swasta Indonesia (Arssi) berkomitmen untuk membenahi dan meningkatkan pelayanan untuk peserta JKN-KIS.

 

“Memang ada tuntutan di masyarakat mengingat ada rasionalisasi iuran, maka harus ada perbaikan pelayanan,” kata Fachmi dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (19/11/2019). Baca Juga: DJSN Ingatkan Dampak Kenaikan Iuran JKN

 

Ketua Umum Persi Kuntjoro Adi Purjanto berharap BPJS Kesehatan menjalankan kerja sama secara terkoordinir dengan badan dan lembaga penjamin lainnya. Hal ini diperlukan agar RS fokus memberi layanan kepada pasien dan tidak tersita perhatiannya soal administrasi penjaminan. Menurutnya, pelayanan yang diberikan RS harus efektif yakni tepat memberikan pelayanan berdasarkan data medis.

 

“Pelayanan di RS yang diutamakan efektifitas, bukan efisien karena ini menyangkut keselamatan manusia,” ujarnya.

 

Kuntjoro menegaskan RS tidak boleh memilih pasien atau bahkan menolak pasien gawat darurat. Dalam keadaan darurat, RS bukan mitra BPJS Kesehatan harus menerima pasien tersebut sampai kondisinya stabil, setelah itu pasien dirujuk ke RS yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Jika ada RS yang menolak pasien, masyarakat diimbau untuk melapor kepada Persi.

 

Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief menjelaskan ada 3 jenis layanan yang diprioritaskan untuk dilakukan perbaikan. Pertama, pembenahan antrian melalui sistem antrian elektronik. Budi mengatakan tahun 2017 hanya 25 persen RS yang memiliki sistem antrian elektronik, tahun 2018 jumlahnya meningkat menjadi 42,7 persen. Tahun 2019 seluruh RS anggota Persi yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan didorong untuk memiliki sistem antrian elektronik.

 

Budi memaparkan sistem antrian elektronik sangat membantu peserta yang ingin mengakses pelayanan kesehatan di RS. Melalui sistem ini, peserta dapat memprediksi kapan antriannya akan dipanggil dan mendapat pelayanan. “Sistem antrian elektronik ini ditujukan agar layanan terhadap peserta lebih cepat,” kata dia.

 

Kedua, display ketersediaan tempat tidur. Budi mengatakan salah satu keluhan peserta ketika datang ke RS yakni mereka tidak bisa mendapat ruang perawatan atau tempat tidur penuh. Absennya informasi mengenai ketersediaan tempat tidur di RS membuat peserta berprasangka bahwa RS tersebut menolak peserta JKN-KIS.

 

Tercatat tahun 2017, sebanyak 793 RS sudah menyediakan informasi ketersediaan tempat tidur. Tahun depan (2020) seluruh RS diimbau untuk menyediakan informasi tersebut dan mudah diakses peserta. “Ketersediaan informasi itu akan memberi kepastian bagi peserta untuk mendapat ruang perawatan (rawat inap),” ujarnya.

 

Ketiga, pelayanan cuci darah (hemodialisa) tanpa rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Budi menyebut tahun 2017, peserta JKN-KIS yang ingin mendapatkan layanan cuci darah harus mengantongi rujukan yang berlaku paling lama 3 bulan. Jika masa berlakunya habis, peserta harus mengunjungi FKTP untuk mendapatkan rujukan tersebut. Rujukan yang berlaku selama 3 bulan ini ternyata membuka celah bagi orang lain yang tidak berhak untuk memanfaatkan rujukan tersebut.

 

Sebagai upaya membenahi masalah itu, Budi mengatakan mulai tahun depan peserta JKN-KIS yang memerlukan layanan cuci darah tidak perlu lagi mengantongi rujukan. Peserta bisa langsung menyambangi RS yang memiliki fasilitas rekam sidik jari (finger print) sebagai pengganti eligibilitas surat rujukan.

 

“Mulai tahun depan pasien yang butuh cuci darah tidak perlu lagi mengantongi rujukan dari FKTP. Mekanisme ini diharapkan makin memudahkan dan tidak merepotkan peserta JKN-KIS,” tegasnya.

 

Ketua Umum Arssi, Susi Setiawaty mengatakan RS swasta berkomitmen untuk meningkatkan pelayanan terhadap peserta JKN-KIS. Untuk menerapkan antrian elektronik, kemampuan setiap RS swasta berbeda-beda. Tapi yang jelas RS swasta harus merogoh kocek sendiri untuk menyediakan sistem antrian elektronik tersebut. Bagi RS yang sudah menggunakan antrian elektronik, maka akan lebih mudah untuk mengembangkannya.

 

“Bagi RS swasta yang belum menggunakan sistem antrian elektronik, maka dia harus berinvestasi lebih tinggi,” kata Susi.

 

RS swasta berperan penting dalam memberikan pelayanan medis bagi peserta JKN-KIS. Data BPJS Kesehatan per 31 Oktober 2019 menunjukan dari 2.550 RS mitra BPJS Kesehatan sebanyak 60 persen merupakan RS swasta. Komposisi pasien JKN-KIS yang dilayani RS swasta juga cukup besar dibanding kategori pasien lainnya.

 

“Di kota besar seperti Jakarta dari seluruh pasien yang dilayani RS swasta, 60 persennya merupakan pasien JKN-KIS. Untuk RS di daerah 90 persennya pasien JKN-KIS,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait