Tiga Hal yang Menghambat Investasi Sektor Pertanian
Berita

Tiga Hal yang Menghambat Investasi Sektor Pertanian

Masalah lahan, birokrasi, dan infrastruktur.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Reformasi secara meluas diperlukan untuk membereskan berbagai hambatan masuknya investasi swasta ke sektor hulu pertanian di Indonesia, termasuk mengatasi permasalahan lahan, kurangnya infrastruktur serta rumitnya perizinan.

Selain permasalahan lahan seperti kejelasan kepemilikan lahan dan potensi konflik yang ditimbulkannya, penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) juga menemukan perlunya perbaikan dan ketersediaan infrastruktur, termasuk jalan, pelabuhan dan listrik di luar Pulau Jawa, dimana lahan luas yang dibutuhkan untuk sektor pertanian berskala besar masih tersedia.

Meskipun beberapa investor bersedia untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan, namun margin keuntungan yang tidak terlalu besar dari hasil panen tanaman pangan tidak bisa membenarkan investasi tersebut.

Associate Researcher CIPS Donny Pasaribu mengatakan reformasi yang lebih luas di luar permasalahan lahan dan infrastruktur, termasuk yang berkaitan dengan keterbukaan perdagangan dan peran BUMN dalam mencapai tujuan swasembada, juga diperlukan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif di sektor pertanian.

Swasembada pangan sudah sejak lama digaungkan sebagai tolok ukur kesuksesan sektor pertanian, padahal harga yang harus dibayar untuk itu adalah harga pangan domestik yang lebih tinggi, diversifikasi konsumsi pangan yang minim dan alokasi sumber daya yang tidak tepat.      

Dengan mengutamakan BUMN untuk mencapai swasembada, pemerintah sebenarnya mendorong realokasi pendanaan dan sumber daya ke sub-sektor yang kurang produktif dan mahal atau mungkin kurang relevan. Risiko politik terkait investasi di sektor pertanian juga membuat investor takut menanamkan dananya di bidang ini. (Baca: Terobosan dalam PP Turunan UU Cipta Kerja Bidang Penataan Ruang dan Pertanahan)

“Perdagangan terbuka dapat menjadi solusi, tidak hanya akan membuat pangan lebih terjangkau, tetapi juga akan memperbaiki dampak gangguan kebijakan terdahulu di sektor ini. Hal ini akan membuat petani dan investor bisa mengalokasikan sumber dayanya sejalan dengan tujuan keuntungan dan peningkatan produktivitas mereka,” jelas Donny.

Untuk meningkatkan kepercayaan investor lebih lanjut, reformasi kebijakan juga perlu terus dilakukan terhadap iklim regulasi Indonesia yang sekarang ini masih kuat diwarnai ketidakpastian. 

Pemerintah sebenarnya sudah merespons urgensi reformasi kebijakan melalui deregulasi lewat UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun masih dibutuhkan sejumlah penyesuaian pada peraturan turunan dan teknis untuk mengatasi rumitnya proses serta persyaratan untuk mendapatkan izin investasi, serta transparansi dan konsistensi pelaksanaan kebijakan.  

Kapasitas kelembagaan, terutama bagi kementerian dan lembaga pemerintah yang terkati perdagangan dan investasi sektor pertanian serta pemerintah daerah, juga perlu ditingkatkan agar lebih siap mengakomodasi Penanaman Modal Asing (PMA). 

Upaya memangkas birokrasi, seperti yang diukur melalui peringkat Indonesia dalam indeks kemudahan berbisnis Bank Dunia (Ease of Doing Business Index), juga tetap perlu terus dilanjutkan. Pada 2020, Indonesia menduduki peringkat 72 dari 190 dalam Indeks Kemudahan Berbisnis (EoDB) Bank Dunia. Namun pada indikator lainnya, peringkat Indonesia tidak terlalu baik. 

Indonesia berada di peringkat 146 dalam hal pelaksanaan kontrak, peringkat 139 dalam hal pembukaan usaha, peringkat 117 dalam hal perdagangan lintas negara, peringkat 111 dalam hal penanganan izin konstruksi, dan peringkat 107 dalam hal pendaftaran properti.  

Pemerintah sudah mencoba menyederhanakan persyaratan untuk mendapatkan izin investasi yang sebelumnya sangat rumit, tidak efisien dan birokratis, dengan memberikan otonomi lebih untuk menerbitkan izin usaha pada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang kini bertransformasi menjadi Kementerian Investasi.

Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto menyampaikan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diharapkan menjalankan transformasi struktural, meningkatkan investasi dan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. UU Cipta Kerja dan 51 Peraturan Pelaksanaannya mendapatkan apresiasi yang positif dari berbagai lembaga internasional.

Dia menjelaskan UU Cipta Kerja mereformasi pendekatan dalam pemberian izin berusaha dari yang sebelumnya menggunakan Pendekatan Berbasis Perizinan (Licenses Based Approach) menjadi Pendekatan Berbasis Risiko (Risk Based Approach). Selanjutnya, pemerintah akan segera menetapkan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga sebagai pedoman pelaksanaan teknis dan mengoperasionalkan sistem Online Single Submission (OSS) pada Juni 2021 sehingga diharapkan investasi dapat meningkatkan dan lebih banyak kesempatan kerja dan peluangan berusaha akan tercipta.

“Keberhasilan reformasi struktural akan menjadi faktor pendongkrak ekonomi dalam jangka menengah, sementara Program Pemulihan Ekonomi Nasional akan mempercepat pemulihan ekonomi dalam jangka pendek,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam keynote speech-nya di acara Seminar Nasional “Transformasi Ekonomi: Mendorong Investasi di Indonesia Melalui Implementasi UU Cipta Kerja”, dari Jakarta, Kamis (29/4).

Selain itu, guna mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional, Pemerintah terus melanjutkan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang di tahun 2021 ini ditingkatkan anggarannya menjadi Rp699,43 Triliun. Hingga 16 April 2021, realisasi dari Program Pemulihan Ekonomi Nasional 2021 telah mencapai Rp134,07 Triliun atau 19,2% dari pagu. Implementasi program ini akan terus dipercepat guna memberikan dampak baik bagi masyarakat.

Di antara aturan turunan dari UU Cipta Kerja yang bertujuan untuk mendorong investasi adalah Perpres No. 10 Tahun 2021 yang mengatur tentang Daftar Prioritas Investasi. Pemerintah telah menetapkan lebih dari 1.700 bidang usaha terbuka untuk penanaman modal, 245 bidang usaha prioritas, 89 bidang usaha yang dialokasikan untuk kemitraan dengan Koperasi dan UMKM, serta 46 bidang usaha dengan persyaratan tertentu. “Pemerintah juga menawarkan berbagai insentif fiskal dan non fiskal kepada Investor yang menanamkan dananya pada bidang usaha prioritas,” tambah Airlangga.

Sehubungan peningkatan Foreign Direct Investment (FDI) dan perbaikan iklim investasi, pemerintah telah membentuk Indonesia Investment Authority (INA) yang akan mengelola dua macam dana, yaitu Master Fund dan Thematic Fund seperti di sektor infrastruktur, energi dan SDA, kesehatan, dan lain sebagainya. Pemerintah Indonesia juga telah berkonsultasi dengan lebih dari 50 perusahaan dan calon mitra strategis.

“Saya mengajak kita semua untuk bersama-sama mewujudkan pemulihan ekonomi melalui sinergi dan koordinasi yang baik antara pemerintah dan perguruan tinggi, terutama di bidang peningkatan daya saing investasi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait