Tiga Catatan atas Pedoman Tuntutan Rehabilitasi Pengguna Narkotika
Terbaru

Tiga Catatan atas Pedoman Tuntutan Rehabilitasi Pengguna Narkotika

Kejaksaan perlu merevisi atau membuat aturan lebih lanjut agar Pedoman tersebut dapat diimplementasikan secara tepat sesuai dengan niat baiknya.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi keadilan restoratif. Hol
Ilustrasi keadilan restoratif. Hol

Terbitnya Pedoman Kejaksaan No.18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Justice, menuai respon positif dari banyak kalangan. Namun, terdapat catatan terhadap Pedoman Kejaksaan No.18 Tahun 2021 sejak per 1 November 2021 ini.  

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Liza Farihah menilai kebijakan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin perlu direspons positif karena mengedepankan pendekatan restoratif. Pedoman tersebut mendorong penuntut umum dalam tuntutan kasus penyalahgunaan narkotika mengoptimalkan penerapan rehabilitasi, bukan pemenjaraan.

“Namun demikian, terdapat sejumlah catatan dalam Pedoman Kejaksaan ini yang perlu diperhatikan untuk mencegah pemenjaraan bagi pengguna narkotika agar dapat berjalan optimal,” ujar Liza Farizah dalam keterangan tertulisnya, Selasa (10/11/2021) lalu. (Baca Juga: Pedoman Tuntutan Rehabilitasi Pengguna Narkotika Kedepankan Keadilan Restoratif)

Pertama, semestinya Pedoman tersebut menegaskan penghindaran pemenjaraan bagi pengguna narkotika tak hanya sebatas rehabilitasi. Bila melihat Pedoman 18/2021, terdapat amanat penyalahguna narkotika dapat dilakukan rehabilitasi pada tahap penuntutan sebagaimana tertuang dalam Bab IV huruf B poin 4.

Padahal, bila mengacu UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan, Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika”. Persoalannya, kata Liza, tak semua pengguna narkotika adalah pecandu atau ketergantungan dengan obat-obatan terlarang yang masuk kategori narkotika. Baginya, tersangka atau terdakwa yang berhak direhabilitasi hanya orang yang membutuhkan rehabilitasi.

“Mungkin bisa mengoptimalkan penggunaan tuntutan pidana bersyarat dengan masa percobaan sesuai Pedoman Kejaksaan No.11 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika dan/atau Tindak Pidana Prekursor Narkotika.”

Peneliti Institute Criminal for Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati melanjutkan poin selanjutnya. Kedua, terdapat ketidakjelasan produk hukum penetapan jaksa untuk rehabilitasi. Menurutnya, Pedoman 18/2021 mengatur pula tersangka dapat direhabilitasi melalui proses hukum sebagaimana tertuang dalam Bab IV huruf C poin 3. “Maka Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) atau Kepala Cabang Kejaksaan Negeri (Kacabjari) mengeluarkan penetapan rehabilitasi melalui proses hukum,” ujarnya.

Tapi kata Maidina, pengaturan tersebut malah menimbulkan persoalan baru. Sebab, KUHAP tak mengatur bentuk penghentian perkara melalui produk penetapan. Pertanyaan yang muncul soal apakah penetapan rehabilitasi tersebut dapat disamakan dengan penghentian penuntutan? Pertanyaan selanjutnya, kata Maidina, soal apakah penetapan Kajari tersebut dapat diuji melalui lembaga praperadilan atau mungkin penetapan tersebut bentuk mengensampingkan perkara yang dimiliki Jaksa Agung melalui seponeering?

Ketidakjelasan tersebut dikhawatirkan menimbulkan persoalan pada aspek implementasi, khususnya ketika adanya pihak yang menguji penetapan tersebut melalui lembaga praperadilan.”

Maidina melanjutkan dengan terbitnya penetapan tidak melakukan penuntutan (tapi rehabillitasi,red) terhadap pelaku kasus penyalahgunaan narkotika, status tersangka tidak lagi dituntut atas perkara yang sama? Semestinya, penetapan rehabilitasi sebagai bentuk tindakan pengobatan berbasis kesehatan dengan memperoleh kejelasan kedudukan dalam pelaksanaannya terlebih dulu.

Ketiga, terdapat ketidakjelasan pengaturan mengenai syarat menjalankan rehabilitasi. Menurutnya, dalam Pedoman Kejaksaan 18/2021 Bab IV huruf E poin 5 menyebutkan, “Dalam hal tersangka tidak menjalani rehabilitasi melalui proses hukum tanpa alasan yang sah atau menjalani rehabilitasi melalui proses hukum, tetapi tidak sesuai dengan penetapan, penuntut umum memberikan peringatan secara tertulis kepada tersangka”.

Sementara poin 6 menyebutkan, “Dalam hal tersangka tidak mengindahkan peringatan sebagaimana dimaksud pada angka 5, penuntut umum melakukan penuntutan dan dapat melakukan upaya paksa terhadap tersangka”. Menurut Maidina, kedua pengaturan tersebut menimbulkan pertanyaan soal maksud “dengan tidak menjalani rehabilitasi proses hukum tanpa alasan yang sah”. Kemudian, “alasan yang sah” dapat mengesampingkan proses rehabilitasi.

Baginya, dalam Pedoman 18/2021 masih terdapat persoalan yang berujung praktiknya malah terjadi “pilih-pilih perkara” yang rehabilitasinya berjalan secara sah atau tidak sah karena tidak adanya indikator yang pasti. Termasuk tidak adanya mekanisme uji yang jelas, malah membuka peluang penyalahgunaan yang dapat berdampak ketidakadilan terhadap pengguna atau pecandu narkotika.

Terhadap tiga catatan itu, Liza dan Maidina mendorong Kejaksaan Agung agar merevisi Pedoman 18/2021 dengan memberikan kepastian dan keadilan hukum bagi para pencari keadilan. Setidaknya, Kejaksaan Agung membuat pengaturan lebih lanjut dari Pedoman 18/2021 agar lebih jelas. “Agar pedoman tersebut dapat diimplementasikan secara tepat sesuai dengan niat baiknya,” harapnya.

Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan aturan pedoman ini diterbitkan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin sebagai acuan bagi jaksa menangani kasus penyalahgunaan narkotika agar terdakwa bisa dilakukan rehabilitasi. Pedoman tersebut diharapkan dapat mengurangi kapasitas narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) maupun Rumah Tahanan (Rutan). Dalam tuntutan penuntut umum, jaksa dapat memaksimalkan opsi rehabilitasi ketimbang pemenjaraan (hukuman penjara).

“Latar belakang dikeluarkannya Pedoman tersebut memperhatikan sistem peradilan pidana yang cenderung punitif,” ujarnya.

Menurutnya, menerapkan sanksi rehabilitasi bagi pengguna narkotika sebagai pendekatan keadilan restoratif. Dia berpendapat dengan memulihkan keadaan semula melalui rehabilitasi bagi kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika menjadi opsi yang jauh lebih tepat. Penerapan penanganan perkara penyalahgunaan narkotika yang belum dilimpahkan ke meja hijau dapat mengacu Pedoman 18/2021 ini.

Leonard menegaskan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin berharap Pedoman 18/2021 dapat diterapkan secara optimal oleh para jaksa sebagai penuntut umum dalam menangani kasus penyalahgunaan narkotika dengan penuh rasa tanggung jawab. Dia menegaskan Pedoman 18/2021 memuat 9 bab yang mengatur beberapa hal. Seperti prosedur prapenuntutan, penuntutan, pengawasan, pelatihan, dan pembiayaan penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi.

Tags:

Berita Terkait