Tiga Alasan Ini Fredrich Ajukan Praperadilan
Berita

Tiga Alasan Ini Fredrich Ajukan Praperadilan

KPK yakin seluruh proses hukum Frederich sudah sesuai prosedur yang berlaku.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Kuasa Hukum Fredrich Yunadi, Sapriyanto Refa usai mengajukan permohonan praperadilan di PN Jaksel, Kamis (18/1). Foto: AJI
Kuasa Hukum Fredrich Yunadi, Sapriyanto Refa usai mengajukan permohonan praperadilan di PN Jaksel, Kamis (18/1). Foto: AJI

Mantan kuasa hukum Setya Novanto, Fredrich Yunadi akhirnya resmi mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Pengajuan ini memang tidak aneh karena sebelumnya Fredrich memang kerap mengkritik penetapan tersangka dan penahanannya oleh KPK karena dugaan menghalangi proses penyidikan ketika menangani kasus Setya Novanto.  

 

Sapriyanto Refa, kuasa hukum Fredrich mengatakan pengajuan praperadilan ini memang atas permintaan kliennya. Sapriyanto menyebut setidaknya tiga hal yang dimohonkan oleh hakim tunggal nanti yaitu penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan serta penangkapan dan juga penahanan.

 

"Penetapan tersangka ini kan minimal dua alat bukti. Dari bukti permulaan yang cukup, yang disebutkan di KUHAP, dan kita menganggap dua bukti permulaan yang cukup tak terpenuhi dalam penetapan Pak Fredrich sebagai tersangka," kata Sapriyanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (18/1/2017). Baca Juga: Selain KPK, Komwas Peradi Pun Bahas Dugaan Ijazah Palsu Fredrich Yunadi

 

Begitupun soal penyitaan yang berdasarkan KUHAP harus seizin ketua pengadilan. Menurut Sapriyanto, karena ini berkaitan dengan kasus korupsi maka seharusnya KPK mengantongi izin dari Ketua Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tetapi surat izin melakukan penyitaan itu tidak dapat ditunjukkan.

 

Tetapi, sesuai UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, lembaga antirasuah ini memang bisa melakukan penyitaan tanpa harus izin ketua pengadilan. "Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya," demikian bunyi Pasal 47 ayat (1) UU KPK.

 

Kemudian dokumen yang disita, kata Sapriyanto, seharusnya berkaitan dengan tindak pidana yang disangkakan. Namun kenyataannya tim penyidik melakukan penyitaan terhadap sejumlah barang ataupun dokumen yang sama sekali tidak berkaitan dengan Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor.  

 

"Tapi, kenyataannya yang disita itu, hampir dokumen-dokumen yang enggak ada hubungannya dengan pelanggaran Pasal 21. Kaya misalnya ada dokumen yang berkaitan dengan perkara lain, yang tidak ada hubungannya dengan menghalang-halangi ini, itu juga diambil oleh penyidik dan dilakukan penyitaan," ujarnya.

 

Sapriyanto memberi contoh dokumen yang disita dan tidak ada kaitannya dengan kasus ini seperti akta pernyataan pemegang saham, ada rapat umum pemegang saham perusahaan lain, kemudian berita acara. Ada juga dokumen terkait dengan kasus e-KTP.

 

"(Total) 27 dokumen. Itu yang saya katakan tadi, ada akta pernyataan rapat umum pemegang saham dari 9 perusahaan yang kita anggap tidak ada hubungannya dengan Pasal 21. Kemudian yang kedua ada handphone, ada CD. Saya nggak tahu CD itu isinya apa karena belum dibuka, itu yang disita," terang Sapriyanto.

 

Sebagai advokat, menurut Sapriyanto, Fredrich berhak dan dilindungi untuk menyimpan dokumen milik kliennya sesuai dengan UU Advokat. "Menyimpan dokumen dari kliennya dan itu harus mendapat perlindungan dan tidak boleh disita. Kemudian tidak boleh dilakukan pemeriksaan, itu diatur dalam UU Advokat. Jadi kami melihat penyitaan yang dilakukan itu bertentangan dengan KUHAP dan bertentangan dengan UU Advokat," kata dia.

 

Sementara untuk penangkapan, Sapriyanto juga beranggapan melanggar aturan hukum yang ada. Awalnya kliennya dipanggil pada 12 Januari 2018 untuk hadir dalam memenuhi kewajiban sebagai tersangka. Namun Fredrich tidak dapat hadir dikarenakan beberapa hari sebelumnya telah meminta adanya penundaan panggilan agar bisa diperiksa kode etik Peradi versi Fauzie Hasibuan terlebih dulu.  

 

Tetapi ketidakhadiran Fredrich hingga selesai jam kerja itu tidak diterima KPK, sehingga ia dijemput penyidik untuk kemudian diperiksa dan berakhir dengan rompi oranye tahanan KPK. Menurut Sapriyanto apa yang dilakukan KPK justru melanggar Pasal 112 KUHAP.

 

"Karena kalau orang sudah dipanggil, mekanisme pemanggilan yang dilakukan sesuai Pasal 112 KUHAP, kalau enggak hadir dipanggil sekali lagi. Jadi kami beranggapan penangkapan yang diiringi penahanan adalah tidak sah. Inilah yang kita mau uji di sidang praperadilan ini," katanya. Baca Juga: Batasan Hak Imunitas Advokat, Begini Pandangan Ahli

 

Pasal 112 KUHAP

  1. Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut;
  2. Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.

 

Sementara itu Juru Bicara KPK Febri Diansyah tidak mempermasalahkan upaya yang dilakukan Fredrich karena permohonan praperadilan adalah hak dirinya sebagai tersangka. Tetapi, ia menegaskan upaya tersebut tidak akan membuat KPK berhenti ataupun menunda proses hukum yang berjalan.

 

Febri meyakini seluruh proses hukum Fredrich, pihaknya telah melakukan sesuai prosedur yang berlaku. "Tapi kami yakin dengan seluruh prosedur yang sudah dilakukan baik tentang penetapan tersangka berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penangkapan, penahanan ataupun penggeledahan sudah sesuai prosedur," katanya.

Tags:

Berita Terkait