Tiga Aktor Utama dalam Pemberantasan Korupsi
Berita

Tiga Aktor Utama dalam Pemberantasan Korupsi

Tidak ada pil ajaib yang bisa langsung mengubah dari korupsi menjadi tidak korupsi.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Diskusi sekaligus peluncuran buku sejarah pemberantasan korupsi di kampus UI Depok, Kamis (9/5). Foto: MYS
Diskusi sekaligus peluncuran buku sejarah pemberantasan korupsi di kampus UI Depok, Kamis (9/5). Foto: MYS

Banyaknya korupsi yang melibatkan aparat pemerintahan, khususnya kepala daerah, sangat memprihatinkan. Sebagian aparat pemerintah yang tersangkut kasus korupsi itu sudah meneken pakta integritas, dan ikut membangun zona atau wilayah bebas korupsi. Tetapi sebagian dari mereka justru terkena operasi tangkap tangan karena menerima suap. Merekalah yang menjadi aktor-aktor dalam kasus korupsi.

 

Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Eko Prasojo, mengatakan ada tiga aktor utama dalam tindak pidana korupsi, yakni aparat penegak hukum, (petugas) birokrasi, dan (pengemban jabatan) politik. “Tiga institusi ini saling berkelindan, saling mengikat,” kata Eko Prasojo saat menjadi pembicara kunci diskusi ‘Pasang Surut Sejarah Reformasi Tata Kelola dan Anti Korupsi di Indonesia’ di kampus UI Depok, Kamis (9/5). Diskusi ini sekaligus peluncuran buku ‘melawan Korupsi, Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia 1945-2014’ karya dosen Fakultas Ilmu Administrasi UI, Vishnu Juwono.

 

Guru Besar Ilmu Administrasi itu menjelaskan relasi antara aparat penegak hukum, birokrat, dan politisi itu dapat dilihat dari beberapa kasus korupsi yang ditangani oleh KPK. Politisi bersimbiosis dengan birokrasi, dan terkadang mendapat perlindungan dari aparat penegak hukum.

 

Kasus korupsi berjamaah antara kepala daerah dan anggota DPRD di Malang, Sumatera Utara, dan Jambi, misalnya, memperlihatkan simbiosis politisi dan birokrat. Aparat penegak hukum di daerah tersebut terkesan membiarkan praktik korupsi itu terjadi. Ada kalanya aparat penegak hukum enggan untuk atau tidak melakukan tindakan terhadap bupati atau walikota karena sejumlah sebab. Berdasarkan diskusinya dengan praktisi hukum, Eko Prasojo mengatakan kultur aparat penegak hukum turut mempengaruhi praktik korupsi.

 

(Baca juga: Miris, Dana Pembangunan Rumah Ibadah Diduga Dikorupsi)

 

Menurut dia, proses rekrutmen menjadi kunci penting untuk membersihkan birokrasi, politisi dan aparat penegak hukum. Pemerintah memang berusaha melakukan rekrutmen birokrat pemerintahan secara terbuka, bahkan acapkali menggunakan panitia seleksi dalam pengisian jabatan publik. Demikian pula rekrutmen aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim. Namun upaya perbaikan yang dilakukan belum sepenuhnya berhasil. “Dalam praktik, belum berjalan sempurna,” ujarnya. “Banyak hal yang masih harus diperbaiki,” sambung Eko.

 

Mantan Wakil Ketua KPK, Erry Riyana Hardjapamekas, mengatakan tidak ada pemberantasan korupsi yang bisa dilakukan dalam sekejap. Pasti membutuhkan waktu dan dukungan politik dari pemerintahan. Sekadar contoh, Singapura dan Hong Kong. Kedua negara ini punya badan atau biro pemnberantasan korupsi seperti halnya KPK di Indonesia. Nyatanya, Singapura dan Hong Kong membutuhkan waktu 30-40 tahun untuk membangun lembaga pemberantasan korupsi yang disegani. “Tidak ada pil ajaib yang bisa membuat dari korupsi menjadi tidak korupsi,” ujarnya.

 

Lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK pasti dimusuhi para pelaku korupsi. Erry menceritakan bagaimana KPK Hong Kong berhadapan dengan institusi kepolisian ketika ada penyidikan terhadap petinggi kepolisian di sana. Perseteruan itu berhasil diatasi setelah ada komitmen petinggi pemerintahan, termasuk memberi ampun atau amnesti kepada polisi dalam pangkat tertentu atas korupsi yang mereka lakukan selama ini. Sedangkan perwira tinggi yang terlibat korupsi tetap diadili.

 

(Baca juga: Cegah Korupsi, Tata Kelola Pemerintahan Butuh Kreativitas)

 

KPK Indonesia menghadapi tantangan yang sama, bahkan nyaris lebih berat. Kriminalisasi komisioner KPK dalam dua periode menguatkan asumsi itu. Periode Chandra Hamzah dan Bibit Samat Rianto; lalu disusul era Bambang Widjajanto dan Abraham Samad. Penetapan tersangka para komisioner KPK itu mendapat perlawanan antara lain dari kelompok-kelompok masyarakat sipil. Peran masyarakat sipil inilah yang menurut Erry terlewat dari buku karya Vishnu Juwono.

 

Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Arif Zulkifli, di acara yang sama, memberikan testimoni bagaimana kelompok masyarakat sipil khususnya pers, ikut berperan dalam mengungkap kasus-kasus korupsi di Indonesia. Beberapa penindakan oleh aparat penegak hukum justru bersumber dari informasi yang terpublikasi lewat media massa.

 

Penulis buku ‘Melawan Korupsi, Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia 1945-2014, Vishnu Juwono menjelaskan lembaga-lembaga pemberantasan korupsi yang dibentuk sejak Indonesia merdeka hingga pendirian KPK menghadapi persoalan masing-masing. Komitmen pemerintah menjadi kunci. Jika pemimpin negara tidak berkomitmen dan tidak menghendaki, maka badan yang dibentuk langsung dibubarkan. Inisiatif antikorupsi yang digagas Sultan Hamengkubuwono IX dan Jenderal AH Nasution pada 1960-an, misalnya, dibubarkan oleh Soekarno.

 

Momentum paling penting adalah ketika KPK terbentuk dan komisioner baru terpilih. Ada kekhawatiran Komisi ini akan bernasib sama seperti lembaga sejenis yang pernah menghiasi sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Faktanya, hingga kini KPK masih eksis meskipun terus mendapat ‘serangan’ baik dari luar maupun dari dalam.

Tags:

Berita Terkait