Tidak Menepati Janji Menikahi Adalah PMH
Utama

Tidak Menepati Janji Menikahi Adalah PMH

Mahkamah Agung pernah menghukum laki-laki yang mengingkari janji menikahi perempuan. Mengingkari janji kawin adalah perbuatan melawan hukum. Tapi, ada syaratnya.

Mys/CR-7
Bacaan 2 Menit

 

Pasal 58 KUH Perdata merumuskan tiga hal. Pertama, janji menikahi tidak menimbulkan hak untuk menuntut di muka hakim untuk dilangsungkannya perkawinan. Juga tidak menimbulkan hak untuk menuntut penggantian biaya, kerugian, dan bunga, akibat tidak dipenuhinya janji itu. Semua persetujuan ganti rugi dalam hal ini adalah batal. Kedua, namun jika pemberitahuan nikah telah diikuti suatu pengumuman, maka hal ini dapat menjadi dasar untuk menuntut kerugian. Ketiga, masa daluarsa untuk menuntut ganti rugi tersebut adalah 18 bulan terhitung sejak pengumuman rencana perkawinan.

 

Kembali ke soal perbuatan melawan hukum (PMH). Dalam sebuah perkara yang terjadi di Nusa Tenggara Barat, MA menghukum tergugat melakukan PMH gara-gara tidak menepati janji untuk menikahi. Berdasarkan keterangan atasan tergugat, tergugat sudah memperkenalkan penggugat sebagai calon isterinya kepada orang lain. Beberapa dokumen penting, seperti tabungan, juga sudah diserahkan tergugat kepada penggugat sebagai bukti keseriusannya mau menikahi. Mereka malah hidup bersama. Tetapi ketika si perempuan menagih janji untuk dinikahi, si laki-laki ingkar. MA menyatakan perbuatan di pria  “melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat”. Karena itu pula, perbuatan si pria dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.

 

Adat

Dalam masyarakat yang masih kuat memegang prinsip adat, tidak menepati janji menikahi bisa berakibat fatal. Yang ribut bukan hanya pasangan calon suami-isteri, tetapi juga bisa merembet ke hubungan keluarga besar. Kasus semacam ini pula yang pernah ditangani dan diputus MA. Si laki-laki dianggap melanggar adat pualeu manlu pada masyarakat Biboki, Timor, karena tidak menepati janji menikahi perempuan.

 

“Jangan takut, saya pasti mengawinimu,” begitulah kata-kata yang sering terucap dari bibir si laki-laki (sebut saja Ed) manakala merayu si perempuan (inisial Mp). Setelah lebih setahun menjalin hubungan, berbekal rayuan janji menikahi, Ed menggauli Mp sampai Mp hamil. Kehamilan Mp akhirnya diketahui keluarganya.

 

Keluarga berinisiatif menyelesaikan masalah ini secara adat. Keluarga Ed datang dan kembali mengakui perbuatan Ed. Keluarga juga bersedia dihukum secara adat. Namun pas hari yang sudah ditentukan, tak seorang pun keluarga Ed datang. Padahal keluarga si perempuan sudah mempersiapkan acara adat.

 

Merasa dipermalukan, keluarga si perempuan akhirnya membawa masalah ini ke jalur hukum. Dalam putusannya MA mengutip keterangan ahli. Berdasarkan adat masyarakat Biboki, bila seorang nona bujang telah hamil, lalu dicari tahu siapa pelakunya. Bila pelakunya tidak mau bertanggung jawab memenuhi janji menikahi si perempuan yang telah dia hamili, si pria dikenakan sanksi adat tatam fani benas sesuai persetujuan kedua belah pihak. MA akhirnya menjatuhkan putusan yang menyatakan si laki-laki dan keluarganya melanggar hukum adat pualeu manleu.

 

Meskipun putusan-putusan MA ini sudah bertahun-tahun lalu dijatuhkan, tetapi masih kontekstual. Janji menikahi masih sering terdengar sekedar janji atau umbaran kata-kata. Dalam kasus tersebut, ternyata bukan hanya sekedar janji lisan, melainkan sudah ada tindakan atau dampak dari janji tersebut.

Tags:

Berita Terkait