Tidak Mau Tertipu Kan? Kenali CDD, Instrumen Mitigasi Resiko Kejahatan di Sektor Jasa Keuangan
Berita

Tidak Mau Tertipu Kan? Kenali CDD, Instrumen Mitigasi Resiko Kejahatan di Sektor Jasa Keuangan

Ada beberapa kondisi yang mengharuskan perusahaan jasa keuangan melakukan CDD terhadap nasabahnya.

M. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
pelatihan hukumonline bertema CDD. Foto: DANI
pelatihan hukumonline bertema CDD. Foto: DANI

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2015 merilis Penilaian Risiko Nasional (National Risk Assessment) Indonesia yang menempatkan sektor perbankan dan pasar modal dalam kategori risiko tinggi. Selaku regulator, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan POJK No. 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program APU dan PPT di Sektor Jasa Keuangan. Aturan ini bertujuan mencegah terjadinya resiko. Salah satu yang diatur dalam POJK tersebut adalah uji tuntas nasabah, lazim dikenal Customer Due Dilligence (CDD).

Deputi Direktur Group Penanganan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme OJK, Rinto Teguh Santoso, mengatakan perlu mengetahui kapan dan mengapa CDD itu diperlukan. “Kapan sih sebenanrnya CDD dilakukan?” ujar Rinto dengan nada bertanya di hadapan peserta pelatihan hukumonline, Selasa (31/10).

Menurut Rinto, ada beberapa kondisi yang akan dihadapi perusahaan jasa keuangan (PJK). Kadang kondisi itu tak diperkirakan sebelumnya. Dalam kondisi tertentu PJK harus melakukan uji tuntas nasabah. Pertama, adalah pada saat melakukan hubungan usaha dengan calon nasabah. Artinya, pada tahap awal melakukan kontak atau hubungan dengan calon nasabah, PJK sudah diharuskan untuk menerapkan CDD. Kedua, jika ada transaksi keuangan dengan mata uang rupiah atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit Rp100 juta. Ketiga, ada transaksi transfer dana. Keempat,  ada indikasi transaksi keuangan mencurigakan. Kelima, PJK meragukan kebenaran informasi yang diberikan oleh nasabah.

(Baca juga: Langkah-Langkah Manajemen Resiko Hukum Penyedia Jasa Keuangan).

Dalam melakukan CDD terhadap nasabah, kata Rinto, PJK wajib memperhatikan sejumlah hal: identifikasi calon nasabah untuk mengetahui profil; dan verifikasi atas informasi dan dokumen pendukung calon nasabah. Tetapi jangan lupakan pula pemantauan terhadap nasabah. Segala aspek CDD penting untuk memastikan transaksi sesuai profil, karakteristik, pola calon nasabah, nasabah, atau WIC (walk in customer).

Identifikasi calon nasabah bertujuan untuk mengetahui profil. Dalam melakukan identifikasi nasabah, PJK wajib mengelompokkan calon nasabah dan nasabah berdasarkan tingkat resiko terjadinya pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme. Cakupan analisis tingkat resiko yang dilakukan PJK paling kurang meliputi identitas; lokasi usaha (bagi nasabah perusahaan); profil nasabah; frekuensi transaksi; kegiatan usaha; struktur kepemilikan (bagi nasabah perusahaan); produk, jasa, dan jaringan distribusi (delivery channels) yang digunakan oleh nasabah; serta informasi lainnya yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat resiko nasabah.

Verifikasi atas informasi dan dokumen pendukung calon nasabah. Verifikasi kebenaran identitas calon nasabah melalui pertemuan langsung (face to face) dengan calon nasabah pada awal melakukan hubungan usaha. Hal ini bertujuan untuk meyakini kebenaran identitas calon nasabah.“Pertemuan langsung dapat digantikan dengan verifikasi melalui sarana elektronik milik PJK,” ujar Rinto.

(Baca juga: Sektor Jasa Keuangan Beresiko Jadi Media Pendanaan Terorisme dan TPPU).

Pengecualian verifikasi melalui face to face adalah, verifikasi dilakukan melalui proses dan sarana elektronik milik PJK dan/atau milik calon nasabah. Selain itu, verifikasi wajib memanfaatkan data kependudukan yang memenuhi dua faktor otentikasi, yakni, what you have, yaitu dokumen identitas yang dimiliki calon nasabah (misalnya, KTP), dan what you are, yaitu data biometrik antara lain dalam bentuk sidik jari milik calon nasabah.

Pemilik Manfaat

Rinto juga mengingatkan pentingnya mengenal Pemilik Manfaat (beneficial owner). Pemilik Manfaat adalah  setiap orang yang berhak atas dana tau menerima manfaat tertentu yang berkaitan dengan rekening nasabah; merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau efek yang ditempatkan pada PJK (ultimately own account); mengendalikan transaksi nasabah; memberikan kuasa untuk melakukan transaksi; mengendalikan korporasi atau perikatan lainnya (legal arrangement); atau merupakan pengendali akhir dari transaksi yang dilakukan melalui badan hukum atau berdasarkan suatu perjanjian.

PJK wajib memahami profil, maksud dan tujuan hubungan usaha, dan transaksi yang dilakukan nasabah dan BO melalui identifikasi dan verfikasi. Identifikasi dan verifikasi BO bertujuan agar memastikan calon nasabah, nasabah, atau WIC yang membuka hubungan usaha atau melakukan transaksi bertindak untuk diri sendiri atau untuk kepentingan BO. Jika bertindak untuk kepentingan BO, maka PJK wajib melakukan CDD terhadap BO. Jika BO tergolong sebagai PEP (Politically Exposed Person), maka diterapkan EDD (Enhanced Due Dilligence).

(Baca juga: Pemerintah Tegaskan Komitmen Perangi Penyalahgunaan Beneficial Ownership).

Jika PJK ragu apakah pihak yang menjadi pengendali melalui kepemilikan adalah BO atau jika tidak ada orang perorangan yang mengendalikan melalui kepemilikan, maka identifikasi dan verifikasi atas identitas dari orang perseorangan (jika ada) yang mengendalikan Korporasi atau legal arrangements melalui bentuk lain. Jika tidak ada orang perseorangan yang teridentifikasi sebagai BO, identifikasi dan verifikasi dilakukan terhadap orang yang memegang posisi sebagai direksi atau yang dipersamakan dengan jabatan tersebut.

Selain BO, juga terdapat Politically Exposed Person (PEP) yang masuk dalam kriteria nasabah beresiko tinggi. PEP adalah orang yang diberi kewenangan melakukan fungsi penting,yang masih mengemban kewenangan. Cakupannya bisa PEP asing atau PEP domestik. PEP Asing adalah orang yang diberi kewenangan untuk melakukan fungsi penting (prominent function) oleh negara lain, seperti kepala negara atau pemerintahan, politisi senior, pejabat pemerintah senior, pejabat militer atau pejabat di bidang penegakan hukum, eksekutif senior pada perusahaan yang dimiliki oleh negara, pejabat penting dalam partai politik.

Sebaliknya, PEP Domestik adalah orang yang diberi kewenangan untuk melakukan fungsi penting oleh negara, seperti kepala negara atau pemerintahan, politisi senior, pejabat pemerintah senior, pejabat militer atau pejabat di bidang penegakan hukum, eksekutif senior pada perusahaan yang dimiliki oleh negara, pejabat penting dalam partai politik; atau orang yang diberi kewenangan untuk melakukan fungsi penting oleh organisasi internasional, seperti senior manajer yang meliputi antara lain direktur, deputi direktur, dan anggota dewan atau fungsi yang setara. “Ketentuan yang berlaku bagi Nasabah, BO, atau WIC yang berisiko tinggi, berlaku pula bagi anggota keluarga atau pihak yang terkait dari PEP,” ujarnya.

Anggota keluarga PEP dalam konteks ini adalah anggota keluarga sampai derajat kedua, baik horizontal maupun vertikal. Pihak yang terkait dengan PEP misalnya, Perusahaan yang dimiliki atau dikelola oleh PEP; Pihak-pihak yang secara umum dan diketahui publik mempunyai hubungan dekat dengan PEP. misalnya supir, asisten pribadi, sekretaris pribadi.

Ketua Kelompok Pengawasan Kepatuhan Penyedia dan Jasa Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Shalehuddin Akbar, menambahkan kategori high risk customer menurut Peraturan Kepala PPATK No. 2 Tahun 2015 tentang Ketegori Pengguna Jasa yang Berpotensi Melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang. Mereka yang termasuk kategori profil customer beresiko tinggi menurut Perka adalah, PEP (politically exposed person): Pejabat Negara, pimpinan instansi pemerintah/Eselon I, Pejabat yang memiliki fungsi strategis, pejabat yang membidangi aparatur dan reformasi birokrasi, pihak yang terkait dengan PEP; Petugas pelayanan publik (perizinan, pengadaan); Pegawai PJK; Daftar terduga teroris atau daftar sanksi PBB; kalangan profesional (misalnya advokat, akuntan, dan konsultan pajak).

“Ada juga kategori high risk customer yang perlu dianalisis berdasarkan negara, bisnis, serta produk,” ujar Shalehuddin.

Tags:

Berita Terkait