Tidak Cuma Rugi, IRESS Sebut Beban Keuangan Pertamina Rp23,55 triliun
Berita

Tidak Cuma Rugi, IRESS Sebut Beban Keuangan Pertamina Rp23,55 triliun

Kerugian Pertamina sebenarnya diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang melanggar konstitusi, peraturan dan Good Corporate Governance.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: Dok HOL
Foto ilustrasi: Dok HOL

Situs Pertamina mempublikasikan kerugian Pertamina Semester-1 2020 sebesar US$ 767,92 juta atau sekitar Rp 11,33 triliun (kurs US$/Rp=14.766). Dibanding periode sama tahun lalu, perolehan Pertamina ini merupakan kemunduran cukup sinifikan karena saat itu Pertamina melaporkan keuntungan sebesar US$ 659,96 juta atau setara Rp 9,7 triliun.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR, Rabu (26/8), Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini menyebutkan tiga faktor utama penyebab kerugian Pertamina yaitu turunnya harga minyak dunia, depresiasi kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika  Serikat dan turunnya permintaan BBM. Harga minyak turun menyebabkan sektor hulu Pertamina merugi, sedangkan turunnya permintaan akibat korona menyebabkan sektor hilir merugi. Turunnya kurs berdampak pada tambahan beban keuangan, karena fundamental pembukuan Pertamina berdasar Dolar Amerika Serikat.

Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara menyebutkan publik bisa memaklumi jika banyak perusahaan merugi pada masa pandemi Covid-19 seperti saat ini. Menurut Marwan jumlah kerugian bisa menjadi sangat besar maupun sebaliknya. Namun, Marwan melihat adanya perusahaan migas yang mampu mempertahankan keuntungan di tengah pandemi. Perusahaan migas seperti Cinopec China, PTT Thailand, Indian Oil Company Ltd., Petronas, dan lain-lain.

Untuk itu, Marwan menilai kerugian yang dialami Pertamina tidak otomatis dapat diterima. Ia bahkan menyebutkan Pemerintah harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Sejumlah alasan dikemukakan oleh Marwan. Selain ketiga faktor yang telah diakui pemerintah, Marwan menyebutkan bahwa akibat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.79.K/2020 tanggal 1 April 2020 menjadi penyebab lain dari kerugian Pertamina. (Baca Juga:  Menyoal Rencana IPO Sub-Holding Pertamina, Ini Tawaran IRESS)

Menurut Marwan, melalui Kepmen tersebut Pertamina harus membeli minyak mentah (crude) domestik dengan harga Indonesia Crude Price (ICP) lebih mahal sekitar US$ 8 per barel (Banyu Urip) dan US$ 11 per barel (Duri) dibanding ICP crude jenis lain. Kepmen ini berlaku untuk ICP Maret 2020. Sementara untuk bulan-bulan lain, antara Januari-Juni 2020, diperkirakan anomali perbedaan harga masih sama.

Dalam perhitungannyam, Marwan menjelaskan rerata produksi lapangan Banyu Urip sekitar 210.000 barel per hari (bph), sedang lapangan Duri sekitar 170.000 bph. Jika seluruh produksi minyak kedua lapangan dibeli Pertamina, maka nilai kemahalan yang harus dibayar Pertamina – dengan asumsi US$/Rp=14.500, 1 semester = 180 hari- adalah: untuk Banyu Urip (US$8/barel x 210.000 barel/hari x 180 hari) = US$ 302,4 juta, untuk Duri (US$ 11/barel x 170.000 barel/hari x 180 hari) = 336,6 juta. Sehingga nilai “keabnormalan” harga yang harus dibayar Pertamina US$ (302,4 + 336,6) juta = U$ 639 juta atau sekitar Rp 9,25 triliun.

Nilai kemahalan atau kerugian Pertamina di atas dihitung atas dasar 100% produksi Banyu Urip dan Duri dibeli oleh Pertamina. “Jika diasumsikan biaya cost recovery ditambah nilai bagi hasil (split) rata-rata kontraktor adalah 35% total produksi, maka 35% dari nilai kemahalan tersebut (Rp 3,24 triliun) malah dinikmati oleh asing Chevron (Duri) dan Exxon (Banyu Urip),” ujar Marwan kepada hukumonline, Rabu (2/9). (Baca: Mempersoalkan Larangan Privatisasi Usaha Sektor SDA di MK)

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait