Tidak Ada Alasan Pembenar, DPR Diminta Tolak Perppu Cipta Kerja
Utama

Tidak Ada Alasan Pembenar, DPR Diminta Tolak Perppu Cipta Kerja

Pemerintah diminta untuk mencabut Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. DPR juga didesak untuk menolak Perppu tersebut.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Kalangan masyarakat sipil terus menyuarakan penolakan terhadap Perppu No.2 Tahun 2022. Koalisi yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut beleid tersebut dan DPR diminta untuk menolaknya dalam sidang paripurna.

Ketua Umum KASBI, Nining Elitos, menjelaskan dampak Perppu di sektor perburuhan. Dia menyebut substansi Perppu sebagian besar sama seperti UU No.11 Tahun 2020 yakni merugikan masyarakat terutama kalangan buruh. Nining menyebut kepastian hak atas pekerjaan semakin jauh karena Perppu sama seperti UU No.11 Tahun 2020 yang membuat pasar tenaga kerja menjadi lebih lentur yakni mudah untuk merekrut dan pecat atau pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Pasar tenaga kerja menjadi semakin fleksibel dimana buruh dibayar murah, dan bisa mengalami PHK kapan saja, sehingga tidak ada kepastian kerja,” kata Nining Elitos dalam konferensi pers, Senin (9/a1/2023) kemarin.

Baca Juga:

Pengupahan yang diatur Perppu menurut Nining tak jauh berbeda dengan UU No.11 Tahun 2020 karena tidak memperhatikan kesejahteraan buruh. Bahkan ada ketentuan dalam Perppu yang membuka ruang bagi pemerintah untuk mengubah skema penghitungan upah minimum dalam kondisi tertentu. Melihat praktik yang terjadi ketika pandemi Covid-19, Nining melihat ada banyak pelanggaran karena upah buruh dinegosiasikan dengan pengusaha. Padahal diketahui posisi buruh dan pengusaha tidak seimbang. Sayangnya, pengawasan yang dilakukan pemerintah sangat lemah.

Praktik outsourcing juga semakin luas karena UU Cipta Kerja dan Perppu tidak lagi membatasi sektor pekerjaan yang bisa menggunakan mekanisme outsourcing. Padahal dalam aturan sebelumnya dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sistem outsourcing atau alih daya ini hanya untuk pekerjaan yang berada di luar kegiatan utama atau tidak berhubungan dengan proses produksi.

Dalam kesempatan yang sama, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyoroti soal bank tanah. Bahkan pemerintah melawan Putusan MK tentang uji formil UU No.11 Tahun 2020 karena menerbitkan Perpres No.113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Badan Bank Tanah dan PP No.124 Tahun 2021 tentang Modal Bank Tanah.

“Padahal Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 melarang Pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksana yang bersifat strategis dari UU Cipta Kerja,” bebernya.

Tak hanya itu, Dewi melihat pemerintah malah menambah modal bank tanah dengan menerbitkan PP No.62 Tahun 2022 tentang Penambahan Modal Badan Bank Tanah. Bank Tanah semakin memasifkan liberalisasi tanah dan menghadirkan berbagai persoalan agrarian. Diantaranya kemudahan perampasan tanah (land grabbing) dalam mengkonsolidasikan tanah untuk kepentingan investasi; dan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang penentuannya serampangan dan menyesatkan fungsi sosial atas tanah, serta nihil partisipasi masyarakat.

Dewi menegaskan tidak ada alasan pembenar bagi pemerintah untuk menerbitkan Perppu. Soal dalih kekosongan hukum setelah putusan MK, Dewi berpendapat tanpa UU No.11 Tahun 2020 dan Perppu No.2 Tahun 2022 pemerintah bisa menggunakan aturan sebelumnya untuk mengakomodir kepentingan pembangunan dan investasi. “Kekosongan hukum hanya alasan yang dibuat-buat pemerintah,” tegasnya.

Sebelumnya, Menkopolhukam M. Mahfud MD menegaskan dirinya bertanggung jawab atas terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang sah secara hukum.

"Iya sah kalau urusan sah. Saya yang tanggung jawab bahwa ini (Perppu Cipta Kerja) sah," kata Mahfud MD saat menjelaskan penerbitan Perppu Cipta Kerja kepada wartawan di Jakarta seperti dikutip Antara, Minggu (8/1/2023).

Mahfud untuk kesekian kalinya menegaskan bahwa Perppu Cipta Kerja diterbitkan pemerintah sebagai antisipasi ancaman situasi ekonomi global. Dia menyatakan apabila dirinya tidak mengikuti sidang kabinet, mungkin dirinya sudah ikut mengkritik penerbitan Perppu Cipta Kerja itu.

Namun, karena mengikuti sidang-sidang kabinet, maka dirinya mengetahui situasi global yang mengancam, perlu direspon atau diantisipasi pemerintah dengan sebuah kebijakan strategis lewat peraturan perundang-undangan.

"Saya bicara dunia global seperti di sidang-sidang kabinet, saya katakan kalau saya tidak ikut sidang kabinet mungkin saya ikut mengkritik Perppu Cipta Kerja. Tapi karena saya ikut sidang kabinet saya tahu ada hal-hal yang harus segera dikeluarkan tanpa harus melanggar undang-undang meskipun tidak membuat undang-undang yaitu Perppu Cipta Kerja," paparnya.

Ia menegaskan pada tahun 2023 dunia internasional sudah dipastikan akan menghadapi badai ekonomi di mana akan terjadi resesi, inflasi, stagflasi, krisis energi dan sebagainya. Bahkan, kata dia, empat lembaga keuangan internasional yakni Bank Dunia, IMF, IDB dan OECD menilai Indonesia akan mengalami masalah dalam pertumbuhan terkait perkembangan ekonomi global.

Dia menjelaskan kebijakan strategis itu tidak bisa dikeluarkan sebelum UU Cipta Kerja diundangkan, dimana putusan Mahkamah Konstitusi menyebut UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja harus diperbaiki pemerintah dan DPR RI dalam waktu dua tahun dengan cara memasukkan lebih dulu sistem omnibus law dalam tata hukum Indonesia. Sistem omnibus law itu sudah menjadi UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.12 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“Sudah diuji ke MK oleh masyarakat, (sudah) sah, sekarang tinggal UU Cipta Kerjanya. Maka cara lain harus ditempuh yaitu UU Cipta Kerja itu harus disahkan dulu dengan perangkat peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan undang-undang. Maka dikeluarkanlah Perppu," tegasnya.

Terkait adanya penolakan dari buruh atas Perppu Cipta Kerja, Mahfud menilai hal itu biasa terjadi dan merupakan kemajuan dalam tata hukum Indonesia. "Kalau pertentangan buruh ada yang menentang ada yang tidak, ahli hukum tata negara ada yang setuju ada yang tidak, itu silakan saja, kita berdemokrasi. Yang penting kita adu argumen bukan masuk ke soal-soal pribadi yang tidak ada hubungannya. Adu argumen saja, mari."

Tags:

Berita Terkait