Tetap Pailitkan TPI, Crown Capital Ajukan Bukti Baru
Utama

Tetap Pailitkan TPI, Crown Capital Ajukan Bukti Baru

Berbekal delapan bukti baru, Crown Capital ajukan permohonan peninjauan kembali. Putusan kasasi yang memenangkan kasasi TPI dinilai salah dalam menerapkan hukum.

Mon
Bacaan 2 Menit
TPI terus diselimuti perkara pailit. Foto: Sgp
TPI terus diselimuti perkara pailit. Foto: Sgp

Babak baru sengketa pailit terhadap PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dibuka kembali. Crown Capital Global Limited selaku pemohon pailit mengajukan bukti baru agar bisa tetap memailitkan TPI. Bukti itu diajukan dalam permohonan Peninjauan Kembali yang didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pekan lalu. Bukti baru itu sekaligus ditujukan untuk menampik putusan kasasi yang membebaskan TPI dari jerat pailit.

 

Kuasa hukum Crown Capital, Ibrahim Senen menyatakan putusan kasasi salah dalam menerapkan hukum terkait penerapan pembuktian secara sederhana. Majelis kasasi juga dinilai telah memberikan penilaian terhadap fakta. “Seharusnya majelis hanya mempertimbangkan soal penerapan hukum,” kata Ibrahim saat ditemui di kantornya, Rabu (20/1).

 

Dalam putusan No. 834 K/Pdt.Sus/2009, majelis kasasi menyatakan pembuktian kasus pailit TPI tidak sederhana lantaran eksistensi adanya utang masih dalam konflik. Bahkan tentang sejauhmana keberadaan utang masih diperkarakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara No. 376/Pdt.G/2009/PN.JKT.PST. Proses pidana terhadap penguasaan asli surat obligasi juga masih berjalan.

 

Atas dasar itu, majelis kasasi menyatakan perkara pailit TPI sifatnya kompleks dan tidak sederhana. Pembuktian perkara ini cukup rumit dan sulit sehingga memerlukan ketelitian dan pembuktian yang tidak sederhana pula. Seharusnya, majelis kasasi berpendapat, perkara ini diperiksa melalui proses perkara perdata biasa di pengadilan negeri. Bukan pengadilan niaga.

 

Meski demikian, dalam pertimbangan hukum yang hanya tiga halaman itu, majelis kasasi tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan pembuktian sederhana atau sebaliknya. Majelis kasasi menguraikan fakta-fakta berdasar dokumen kasasi. Nah, di sinilah letak permasalahannya.

 

Ibrahim menilai penguraian fakta majelis kasasi saling bertentangan. “Disatu sisi majelis kasasi menyatakan utang obligasi TPI telah dilunasi. Tapi disisi lain majelis menyatakan utang obligasi itu dikonversi menjadi loan yang krediturnya Santoro Corporation,” kata pengacara dari kantor hukum DNC itu.

 

Menurut majelis kasasi, TPI telah melunasi utang pada Corwn Capital senilai AS$53 juta pada 12 Desember 1996 via transfer dari Bank BNI. Hal itu dikuatkan dengan surat keterangan BNI selaku paying agent. Dalam pertimbangan kedua, majelis kasasi menyatakan dalam laporan keuangan TPI tahun 2007 dan 2008 tidak tercantum lagi karena telah dikonversi.

 

Di sisi lain, dalam gugatan TPI terhadap Siti Hardiyanti Rukmana dan Crown Capital, TPI meminta majelis membatalkan subordinates bonds (obligasi subordinasi). Sementara, berbekal subordinates bonds, Crown Capital selaku pemegang obligasi mengajukan permohonan pailit terhadap TPI. Hingga kini, subordinates bonds itu masih ditangan Crown Capital. “Bagaimana mungkin kalau sudah lunas dimintakan pembatalan,” kata Ibrahim.

 

Baru Dilegalisasi

Dari bukti baru terungkap pada 30 Desember 1996, BNI menerbitkan surat yang berisi bahwa 53 lembar surat utang obligasi senilai AS$53 juta akan dilegasliasi. “Bagaimana mungkin utang telah dilunasi pada 27 Desember 1996, sementara BNI baru akan melegalisasi pada 30 Desember,” ujar Ibrahim.

 

Sebelumnya, pada 23 Desember 1996, TPI mengirimkan surat pada BNI terkait permintaan TPI untuk menunjuk BNI sebagai agen fasilitas dan pembayaran sub bonds tersebut.

 

Di saat yang sama, PT Bhakti Investama selaku placement agent (agen penempatan) dan arranger (pengatur) mengirimkan surat pada Swiss Bank Corporation. Isinya meminta Swiss Bank mentransfer dana pembelian obligasi sebesar A$53 juta ke rekening TPI di Chase Manhattan Bank, New York, pada 24 Desember 1996.

 

Sesuai permintaan PT Bhakti Investama, Swiss Bank mentransfer uang pembelian obligasi. Dalam suratnya tertanggal 24 Desember 1996, Swiss Bank meminta PT Bhakti Investama mengirimkan asli surat utang obligasi ke alamat Swiss Bank di Jenewa. Swiss Bank juga mengkonfirmasikan pembayaran itu melalui suratnya ke TPI.

 

Berdasarkan bukti surat itu, Ibrahim berpendapat obligasi subordinasi dibeli dan dibayar oleh Swiss Bank. Bukan oleh Peregrine Fixed Income Ltd seperti dalil kuasa hukum TPI yang juga diakui majelis kasasi. Dari Swiss Bank, surat obligasi TPI beralih ke Benmall Limited lalu ke Fillago Limited dan terakhir ke tangan Crown Capital.

 

Tito Sulistio selaku penandatangan surat obligasi TPI (ketika itu Direksi TPI) menyatakan hal senada. Yakni, bahwa pembeli pertama obligasi TPI adalah Swiss Bank. Obligasi berbentuk atas unjuk itu diterbitkan pada 24 Desember 1996 dan jatuh tempo pada 24 Desember 2006.

 

Sebelumnya, dalam persidangan kuasa hukum TPI, Marx Adrian menyatakan utang obligasi TPI hanya akal-akalan Mba Tutut. Untuk merekayasa pencatutan uang, kata Marx, dibuat rekayasa pinjaman baru dengan meminta bantuan Peregrine Fixed Income Ltd. Caranya, dengan menerbitkan obligasi sebanyak 53 lembar dengan nilai AS$1 juta per lembar.

 

Peregrine bertindak selaku pembeli obligasi itu. Peregrine kemudian membayar pembelian obligasi itu sebesar AS$53 juta pada 26 Desember 1996. Sehari kemudian, TPI langsung melunasi utang obligasi itu, tepatnya 27 Desember 1996, melalui BNI.

 

Namun, Agus Sjafrudin—juga pendantangan surat obligasi—menyatakan pembayaran TPI ke Peregrine bukan pembayaran utang obligasi. Selama Agus menjabat sebagai direksi pada 1996 hingga 2002, TPI tidak pernah melunasi utang obligasi itu.

 

Berdasarkan alasan tersebut, Ibrahim meminta MA membatalkan putusan kasasi No. 834 K/Pdt.Sus/2009. Sebaliknya, Ibrahim meminta MA menguatkan putusan Pengadilan Niaga No. 52/Pailit/2009/PN.NIAGA.JKT.PST yang memailitkan TPI.

 

Kuasa hukum TPI yang lain Hotman Paris Hutapea menyatakan saat ini pihaknya tengah menyusun kontra memori PK. “Semua bukti saling bertentangan dan terbukti ada rekayasa,” ujar Hotman menanggapi memori PK Crown Capital.

Tags: