Terputusnya Jaringan Telekomunikasi Termasuk Force Majeure? Ini Penjelasan Hukumnya
Berita

Terputusnya Jaringan Telekomunikasi Termasuk Force Majeure? Ini Penjelasan Hukumnya

Tidak mudah untuk menentukan suatu peristiwa itu force majeure atau bukan, harus dilihat kasus per kasus.

Kartini Laras Makmur
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP

Dalam hubungan kontraktual, suatu hal yang mungkin terjadi jika salah satu pihak tidak bisa memenuhi kewajibannya. Bukan karena adanya iktikad buruk, hal itu bisa saja lantaran ada hal di luar kuasanya yang terjadi atau biasa disebut dengan keadaan memaksa (force majeure). Misalnya, seseorang tidak bisa memenuhi kewajiban kontraktualnya karena terputusnya jaringan telekomunikasi. Apakah hal ini bisa disebut sebagai force majeure?

 

Apakah ada perkembangan pemahaman mengenai force majeure di tengah perkembangan era digital saat ini? Menurut Pengajar Hukum Perdata Unversitas Udayana Bali, Ni Ketut Supasti Dharmawan, meskipun zaman telah berubah ketentuan mengenai force majeure harus tetap melihat prinsip dasar mengenai keadaan memaksa. Ia menegaskan, dalam kondisi dan perkembangan zaman seperti apapun, prinsip dasarnya tetap sama.

 

“Meskipun sekarang sudah era digital, serba canggih, serba berbasis teknologi, tetapi prinsip dasar mengenai keadaan memaksa tetap sama. Prinsip inilah yang menjadi landasan kapan orang bisa dibebaskan dari tanggung jawabnya atas alasan keadaan memaksa,” kata Supasti kepada hukumonline, Kamis (23/11).

 

Pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) sesungguhnya tidak ada yang menjelaskan definisi force majeure secara umum. Namun, definisi itu dapat ditemukan di dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 409 K/Sip/1983. Menurut putusan tersebut, force majeure diartikan sebagai keadaan memaksa diakibatkan oleh suatu malapetaka yang secara patut tidak dapat dicegah oleh pihak yang harus berprestasi.

 

Sementara itu, untuk menafsirkan apa yang dimaksud dengan force majeure menurut KUHPer tersebut, harus merujuk pada pengaturan tentang ganti rugi, atau pengaturan risiko akibat force majeure untuk kontrak sepihak ataupun dalam bagian kontrak-kontrak khusus (kontrak bernama).

 

Pedoman dalam mengartikan force majeure menurut KUHPer misalnya, dapat merujuk pada Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPer. Meskipun, kedua pasal itu hanya mengatur masalah force majeure dalam hubungan dengan pergantian biaya rugi dan bunga.

 

Pasal 1244 KUHPer mengatur bahwa seorang debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, “bila dia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepat waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, walaupun tidak ada iktikad buruk padanya”.

 

(Baca Juga: Begini Rumus Hakim Hitung Ganti Rugi Kebakaran Lahan di Riau)

 

Artinya, menurut Pasal 1244 KUHPer, jika seseorang tidak dapat melakukan kewajiban kontraktualnya bukan atas keadaan memaksa, maka ia harus mengganti biaya, kerugian, dan bunga yang timbul. Sebaliknya, jika tidak ditunaikannya kewajiban seseorang karena keadaan memaksa, maka orang tersebut tidak menanggung biaya, kerugian maupun bunga yang timbul. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1245 KUHPer.

 

Lebih lanjut, Pasal 1245 KUHPer juga menentukan sebab-sebab force majeure. Pertama, karena sebab-sebab yang tak terduga. Kedua, karena keadaan memaksa. Ketiga, karena masing-masing perbuatan tersebut dilarang oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

 

Selain itu, Pasal 1545 KUH Perdata juga mensyaratkan bahwa force majeure terjadi di luar kesalahan para pihak, baik disengaja maupun akibat kelalaian. Menurut Pasal 1244 KUHPer, force majeure juga mensyaratkan para pihak tidak boleh dalam keadaan iktikad buruk.

 

“Jadi, sekali lagi harus dilihat sebab suatu peristiwa apakah memenuhi unsur yang disebutkan oleh KUHPer atau tidak. Kita tidak bisa dengan mudah saja menyimpulkan suatu hal itu force majeure,” tandas Supati.

 

Alasan Force Majeure

· Karena sebab-sebab yang tak terduga.

· Karena keadaan memaksa.

· Karena perbuatan tersebut dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

· Di luar kesalahan para pihak, baik disengaja maupun akibat kelalaian.

 

Merujuk pada klinik hukumonline, force majeure biasanya merujuk pada tindakan alam (act of God), seperti bencana alam berupa banjir atau gempa bumi, epidemik, kerusuhan, pernyataan perang, perang dan sebagainya. Adapun tindakan pemerintah, termasuk juga perubahan regulasi, yang pada dasarnya di luar kuasa para pihak, sudah menjadi anggapan umum merupakan bagian dari risiko berusaha. 

 

Sedangkan akibat dari kejadian yang sepertinyadi luar kuasa manusia sehubungan dengan kegiatan ekonomi, misalnya krisis ekonomi Indonesia selama ini, yang ternyata menimbulkan efek yang berbeda pada pelaku ekonomi terkait kerugian yang ditanggung, biasanya bukan dasar alasan yang kuat sebagai force majeure.

 

(Baca Juga: Sebelum mem-PHK, Buktikan bila Perusahaan Merugi)

 

Dalam hal demikian, bagi pelaku yang merugi dapat meminta penyelesaian melalui mekanisme bi-partit dengan pihak terkait, atau bahkan meminta intervensi pemerintah, untuk keringanan/bantuan sehubungan dengan kerugiannya/tambahan beban kewajiban yang ditanggungnya.

 

Supati tidak menyangkal, bahwa pengertian force majeure bisa dikembangkan sampai pada batas “kegagalan kinerja yang bukan akibat kelalaian, oleh pihak-pihak yang berada di luar kendali para pihak yang berkontrak”. Namun, menurutnya perluasan defnisi itu harus dilihat kasus per kasus. Sebab ia menilai ada kegagalan kinerja yang sifatnya bisa diantisipasi, ada pula yang timbul akibat keadaan mendesak.

 

“Sebetulnya untuk menentukan suatu peristiwa itu force majeure atau bukan, harus dilihat kasus per kasus. Misalnya, soal terputusnya jaringan telekomunikasi. Bisa saja dalam satu kasus itu adalah force majeure karena terkait dengan bencana alam yang terjadi. Namun, dalam kasus lain kita tidak bisa menyimpulkan itu force majeure, karena ternyata terkait dengan kebutuhan perawatan yang dilakukan Telkom,” papar Supati.

 

Setelah salah satu pihak menduga dirinya mengalami force majeure, menurut Supati, sebaiknya segera memberitahukan kepada pihak lain peristiwa yang menimpa itu. Namun, ia menekankan bahwa hal ini tidak bersifat wajib. Kemudian, setelah melakukan pemberitahuan, jika memang dibutuhkan pihak yang mengalami juga dapat diminta untuk membuktikan.

 

“Pembuktian ini penting untuk melihat bahwa sebabnya bukan kelalaian,” tambahnya.

 

Menurut Pasal 1545 KUHPer, jika terjadi force majeure, maka kontrak yang telah disepakati menjadi gugur. Selanjutnya, para pihak dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah menyepakati kontrak itu. Meskipun force majeure membebaskan para pihak dari tuntutan ganti rugi, untuk menjaga terpenuhinya unsur-unsur keadilan, pemberian restitusi atau quantum meruit masih dimungkinkan.

 

Akibat Hukum dari Force Majeure

· Kontrak yang telah disepakati menjadi gugur.

· Para pihak dibebaskan dari tuntutan biaya, ganti rugi, maupun bunga.

· Pemberian restitusi atau quantum meruit masih dimungkinkan.

Tags:

Berita Terkait