Terpilihnya Tersangka Korupsi di Pilkada 2018 Hambat Kemajuan Daerah
Berita

Terpilihnya Tersangka Korupsi di Pilkada 2018 Hambat Kemajuan Daerah

Dari sepuluh nama terduga tersangka korupsi yang berkontestasi pada 27 Juli 2018, tiga orang terpilih. ICW mempertanyakan mengapa partai politik masih ‘nekat’ mencalonkan tersangka kasus korupsi.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit

 

Sehubungan dengan kasus Nehemia, ICW telah menyampaikan surat permohonan untuk mengklarifikasi dan mendorong adanya koordinasi dan supervisi penanganan perkara kepada KPK dan Dirtipikor Mabes Polri. Surat resmi disampaikan pada 28 Agustus 2018. Berdasarkan keterangan pihak Mabes Polri, kata Almas, proses hukum terhadap kasus tersebut masih berjalan dan Polres Biak Numfor masih mengumpulkan alat bukti.

 

Ketiga kepala daerah terpilih yang diduga berstatus tersangka ini akan tetap dilantik sebagai kepala daerah, merujuk pada Pasal 164 dan Pasal 165 UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Bahkan, lanjut Almas, Kemendagri akan tetap melakukan pelantikan meski tersangka telah ditahan. Kemendagri akan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk pelantikan tersebut.

 

(Baca Juga: Ketentuan Hukum Bagi Kepala Daerah Berstatus Tersangka yang Menang Pilkada)

 

Almas megatakan, terpilihnya orang bermasalah dalam Pilkada patut dimaknai sebagai persoalan yang dapat menghambat kemajuan daerah. Adakalanya masyarakat tidak mengetahui rekam jejak buruk atau terbatas pilihannya pada pilkada sehingga tetap memilih tersangka korupsi. Terlebih lagi pada aktor yang diduga telah lama ditetapkan sebagai tersangka.

 

“Pertanyaannya, mengapa partai politik masih mencalonkan tersangka kasus korupsi? Mengapa penanganan kasus di Polres Biak Numfor berlangsung begitu lama?” ujar Almas mempertanyakan.

 

Dalam Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Pasal 17 ayat (1) dijelaskan bahwa sebelum melakukan penyidikan, penyidik wajib membuat rencana penyidikan. Dari tujuh hal rencana penyidikan yang wajib dibuat oleh penyidik, salah satu yang dimuat yaitu waktu penyelesaian penyidikan berdasarkan bobot perkara agar penyidikan dapat berjalan profesional, efektif, dan efisien.

 

Terdapat kriteria perkara berdasarkan tingkat kesulitan, yaitu perkara mudah, sedang, sulit, dan sangat sulit. Setiap Kepolisian di tingkat daerah memiliki tingkat kesulitan yang beragam. Tingkat Mabes Polri dan Polda menangani perkara sulit dan sangat sulit. Tingkat Polres menangani perkara mudah, sedang, dan sulit. Sedangkan tingkat Polsek menangani perkara mudah dan sedang.

 

Namun dari seluruh kriteria penanangan perkara berdasarkan tingkat kesulitan, waktu penyelesaiannya tidak cukup jelas. Misal, dalam Peraturan a quo Pasal 18 ayat (3) huruf h dijelaskan bahwa waktu penyidikan memerlukan cukup waktu, tapi tidak dijelaskan berapa lama waktu yang dibutuhkan. Hal ini yang membuat penyelesaian perkara di Kepolisian tidak terlalu jelas seperti yang terjadi di Polres Biak Numfor. Oleh sebab itu, ICW mendorong beberapa hal:

Tags:

Berita Terkait