Terorisme Merupakan Kejahatan Serius, Bukan Kejahatan Luar Biasa
Terbaru

Terorisme Merupakan Kejahatan Serius, Bukan Kejahatan Luar Biasa

Karena proses hukumnya bisa dilakukan menggunakan sistem peradilan pidana biasa.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi.  Foto: RES
Ilustrasi. Foto: RES

Deputi Kerjasama Internasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Andika Chrisnayudanto, mengatakan UU No.5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu  No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU menyebut terorisme sebagai kejahatan yang serius.

Andika mengatakan pendekatan HAM menjadi salah satu aspek yang digunakan secara global untuk menangani masalah terorisme. Untuk daerah konflik seperti Suriah dan Irak, yang digunakan tak hanya UU 5/2018, tapi juga kejahatan internasional seperti kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan kejahatan perang. Tapi sayangnya ada pandangan di Indonesia yang menilai terorisme sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

“UU No.5 Tahun 2018 tegas menyebut terorisme sebagai kejahatan serius, bukan kejahatan luar biasa,” dalam diskusi bertema Analisis Kebijakan Penanganan Terorisme Terhadap Perlindungan HAM Warga Sipil Indonesia:Pembelajaran dan Praktik Baik, Senin (17/7/2023).

Baca juga:

Regulasi yang berlaku di Indonesia terkait kejahatan luar biasa menurut Andika diatur dalam UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tapi baik kejahatan serius dan kejahatan luar biasa penegakan hukumnya harus mengedepankan prinsip HAM.

Selain itu UU 5/2018 menurut Andika sedikitnya menyebut aspek HAM sebanyak 5 kali. Misalnya pada saat proses penahanan. Bahkan dalam bab pencegahan menegaskan kewajiban pemerintah untuk mencermati HAM dan unsur kehati-hatian. Sementara UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP juga menekankan aspek HAM.

Oleh karena itu dalam pelaksanaan program deradikalisasi, peserta yang mengikuti program tersebut sifatnya sukarela (voluntary) baik dalam UU 5/2018 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Pelindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan.

Mengenai perlindungan advokat yang menangani kasus terorisme, Andika berpendapat harus dibedakan antara advokat sebagai bagian dari sistem peradilan pidana karena membela kliennya dan advokat sebagai penegak hukum. Aparat penegak hukum harus memiliki kewenangan yang koersif seperti kewenangan menangkap, menahan, dan lainnya. Oleh karena itu aparat penegak hukum yang dilindungi dalam kasus terorisme adalah polisi, jaksa, hakim, dan petugas pemasyarakatan.

Kepala Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Globalisasi  (SKSG) UI, Muhamad Syauqillah mengatakan, keseimbangan perlindungan HAM dalam konteks keamanan adalah kajian yang menarik. Perlu juga dilihat bagaimana pembatasan terhadap ideologi yang mendorong terjadinya kejahatan terorisme.

“Seperti apa negara bersikap agar (pembatasan ideologi,-red) tidak disebut negara melakukan pelanggaran HAM,” ujarnya.

Begitu juga dengan kebebasan sipil seperti menyampaikan pendapat dan keyakinannya, bagaimana cara yang tepat untuk mengatur hal tersebut. Praktiknya terjadi kegamangan misalnya terkait konten radikal terorisme di media sosial yang tidak bisa di-takedown. Untuk itu penting untuk mengatur bagaimana negara bersikap.

Persoalan lainnya tentang warga negara Indonesia yang pergi ke luar negeri untuk bergabung dengan jaringan terorisme. Kemudian dilakukan pemulangan atau repatriasi, Syauqillah mengatakan proses repatriasi, reintegrasi, dan rehabilitasinya sulit dilakukan. Salah satu sebabnya pendekatan antar pihak yang berkepentingan belum bersinergi baik kementerian/lembaga dengan masyarakat sipil.

Perlu ditentukan siapa lembaga yang mengomandoi proses pemulangan sekaligus reintegrasi dan rehabilitasi tersebut. Syauqillah belum melihat pemerintah melakukan instrumen yang memadai baik prosedur dan SDM yang menangani. Salah satu kebijakan penting yang perlu diterbitkan pemerintah adalah mekanisme atau prosedur tentang repatriasi, reintegrasi dan rehabilitasi anak yang terafiliasi dengan terorisme.

Program deradikalisasi yang diinisiasi masyarakat sipil juga tidak terintegrasi dengan program serupa yang dilakukan kementerian/lembaga. Akibatnya, program yang dilakukan masyarakat sipil itu berpotensi mendapat pantauan ketat intelijen, dan direpresi. Hal ini terjadi karena tidak ada sistem deradikalisasi yang terintegrasi antara aktor negara dan non negara. Tanpa bermaksud membatasi kerja-kerja yang selama ini dilakukan organisasi masyarakat sipil tapi Syauqillah mendorong adanya mekanisme komunikasi yang dibangun antara pemerintah dengan organisasi masyarakat sipil dalam menangani terorisme.

Tags:

Berita Terkait