Terobosan Penting untuk Implementasi PP Hunian Orang Asing
Utama

Terobosan Penting untuk Implementasi PP Hunian Orang Asing

Deputi Hukum Setneg jelaskan arah atau politik hukum PP No. 103 Tahun 2015. Implementasinya bergantung kebijakan penopang lain.

FITRI N. HERIANI
Bacaan 2 Menit
Logo REI. Foto: www.rei.or.id
Logo REI. Foto: www.rei.or.id
Perusahaan Realestate Indonesia (REI), sebuah organisasi yang menaungi para pengembang properti di Indonesia, menaruh harapan besar kepada pemerintah terkait masa depan properti. Salah satu kebijakan yang diterbitkan Pemerintah adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.

REI memandang PP ini sedikit mengubah kebijakan rumah hunian buat orang asing, tetapi itu saja belum cukup. PP No. 103 diyakini tidak cukup dijadikan instrument satu-satunya untuk menarik minat asing membeli properti di Indonesia.

Wakil Ketua Umum REI, Ignesjz Kemalawarta, memahami alasan Pemerintah membuka keran kepemilikan properti oleh asing. Era globalisasi seperti persaingan dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), market  di Indonesia yang memberi peluang properti di daerah wisata, dan maraknya perjanjian dengan warga lokal untuk perjanjian pinjam nama (nominee), serta pemasukan pajak.

Cuma, Ignesjz berpandangan PP No. 103 Tahun 2015 belum cukup efektif untuk menarik pasar asing dan mencapai tujuan dibukanya keran kepemilikan asing. Kendalanya masih berkutat pada Hak Pakai (HP). Ignesjz mengatakan, minat pasar terhadap pembelian properti menggunakan HP di Indonesia masih rendah dengan alasan HP tak bankable. Akibatnya, pengembang atau developer enggan menjual unit dengan menggunakan HP.

Ignesjz berpendapat implementasi PP No. 103 Tahun 2015 baru bisa efektif jika didukung terobosan dan regulasi lain. “Makanya agar PP No. 103 itu berjalan, dibutuhkan regulasi-regulasi lain,” kata Ignesjz kepada hukumonline, Kamis (18/2).

Ada lima regulasi regulasi pendukung yang dibutuhkan. Pertama, regulasi tentang prosedur untuk mendapatkan izin tinggal bagi WNA di Indonesia. Ignesjz yakin hanya peraturan izin tinggal yang praktis pengurusannya yang mampu menarik asing untuk tinggal di Indonesia.

Kedua, regulasi yang memberikan kepastian bahwa Hak Pakai bisa digunakan sebagai jaminan dalam perkreditan atau pembiayaan properti. Penegasan harus dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.

Ketiga, regulasi tentang izin bagi WNA untuk mendapatkan kredit atau pembiayaan properti di Indonesia. “Regulasi ini tentunya dikeluarkan oleh BI dan OJK. Yang perlu diperjelas adalah masalah jangka waktu KITAS dan jangka waktu KPR. “Perlu solusi untuk masalah ini,” ungkap Ignesjz.

Keempat, mengacu pada PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas tanah, perpanjangan status tanah dapat dilakukan di awal perjanjian. Artinya, harus ada aturan yang jelas mengenai pembayaran awal hingga perpanjangan tanah dapat dilakukan di muka.

Kelima, pemerintah juga harus membuat regulasi yang mengatur harga properti yang dapat dibeli oleh WNA, batasan jumlah properti yang dapat dimiliki oleh WNA, tidak ada lagi perjanjian khusus dengan WNI terkait penggunaan tanah jangka panjang, dan ketentuan penjualan kembali.

Selain itu Igneszj memberikan dua pandangan yang dapat dilakukan pemerintah sebagai terobosan. Pertama, untuk memikirkan pangsa asing yang tidak berkedudukan di Indonesia untuk memiliki properti. Pasalnya, selain pangsa asing yang berkedudukan di Indonesia, ada juga pangsa asing yang tidak berkedudukan di Indonesia berminat untuk membeli properti tanpa harus bekerja atau berkedudukan di Indonesia, layaknya yang dilakukan oleh Malaysia, Singapore, Hongkong, dan Vietnam.

“Selain itu untuk status Hak Pakai pada apartemen. Keraguan pengembang adalah karena pasar asing baru dan pasar lokal enggan beli Hak Pakai selama ada HBG,” tuturnya.

Melalu beberapa dukungan regulasi dan terobosan tersebut, Ignesjz optimis akan terjadi peningkatan pembelian asing. Disertai dengan penyederhanaan pengaturan Hak Atas Tanah.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Arie Sukanti Hutagalung menilai PP No. 103 ini justru mempersulit asing untuk memiliki properti. Salah satu alasannya adalah adanya pembatasan KITAS dan KITAP. “Sebetulnya mempersulit karena dibatasi KITAS dan KITAP-nya. Sebelumnya itu tidak,” jelas Arie.

Meski dinilai memberikan kepastian hukum terhadap asing, Arie berpendapat revisi PP No. 103 Tahun 2015 tetap harus dilakukan, antara lain mengenai jangka waktu, izin tinggal, dan izin tinggal tetap.

Deputi Bidang Hukum dan Perundang-Undangan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg) Muhammad Sapta Murti menjelaskan arah pengaturan PP No. 103 Tahun 2015. Setidaknya ada tiga arah pengaturan yakni mengatur kepemilikan sebuah rumah bagi orang asing yang berkedudukan di Indonesia, orang asing yang diberikan Hak Pakai adalah yang keberadaanya memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja, atau berinvestasi di Indonesia, dan HP diberikan untuk rumah tunggal baru dan Hak Milik di atas Satuan Rumah Susun di atas Hak Pakai untuk Satuan Rumah Susun pembelian unit baru.
Tags:

Berita Terkait