Terobosan Pengadilan, MK Gagas Pendaftaran Perkara Secara Online
Berita

Terobosan Pengadilan, MK Gagas Pendaftaran Perkara Secara Online

Admisitrasi peradilan di Mahkamah Konstitusi semakin murah dan cepat dengan adanya fasilitas permohonan pengujian undang-undang secara online.

M-1
Bacaan 2 Menit
Terobosan Pengadilan, MK Gagas Pendaftaran Perkara Secara <i>Online</i>
Hukumonline

Prinsip bahwa kemajuan teknologi bisa membuat kita menghemat waktu dan biaya serta peradilan harus diselenggarakan dengan cepat, murah dan sederhana tampaknya menginspirasi jajaran Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memanfaatkan teknologi informasi dalam administrasi peradilan.

 

Setelah sebelumnya membebaskan biaya perkara, dan memudahkan masyarakat untuk mengakses putusan dan segala yang terkait dengan MK, MK melanjutkannya dengan membuat sistem pendaftaran perkara pengujian undang-undang secara online. Peluncuran program tersebut dilakukan secara resmi oleh Ketua MK Jimly Asshidiqie di Mahkamah Konstitusi hari Jumat (11/8) dengan disaksikan oleh Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin dan sejumlah anggota DPR, masyarakat umum serta pers.

 

Caranya?

Dengan sistem pendaftaran perkara online, masyarakat yang ingin berperkara di MK tidak perlu datang langsung ke MK jika ingin mengajukan perkara. Dalam website tersebut juga dijelaskan tatacara permohonan, pendaftaran permohonan dan fasilitas untuk melihat daftar permohonan.

 

Caranya pun cukup mudah hanya dengan mengakses website MK, (www.mahkamahkonstitusi.go.id) yang kemudian dilanjutkan dengan menginput data dalam formulir permohonan, yang nantinya pemohon akan mendapat bukti penerimaan pendaftaran yang harus diprint yang kemudian menjadi persyaratan pengajuan permohonan di MK.

 

Permohonan yang sudah terdaftar melalui website MK nantinya wajib ditindaklanjuti Pemohon sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 29 dan Pasal 31 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya tiga hari setelah termuat dalam website tersebut. Terhadap permohonan yang tidak ditindaklanjuti, Mahkamah Kontitusi akan menghapus dari daftar permohonan.

 

Meski dalam website MK tertera bahwa aplikasi online bisa untuk permohonan pengujian undang-undang, sengketa kewenangan lembaga negara dan pembubaran partai politik, perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran menurut UUD 1945, namun saat ini menurut Sekretaris Jenderal MK Janedri M Gaffar, layanan tersebut baru sebatas untuk permohonan pengujian undang-undang.

 

Sampai berita ini ditulis, tercatat telah ada dua orang yang mengajukan permohonan pengujian undang-undang secara online yaitu oleh Prof. DR. Nazaruddin Syamsuddin dkk untuk Pengujian Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  dan Fatahillah Hoed untuk Pengujian Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Kendati permohonan bisa melalui internet, menurut Janedri hukum acara di MK tidak mengalami perubahan sama sekali.

 

Ditambahkan oleh Janedri bahwa saat ini telah ada layanan konsultasi dan pengaduan mengenai MK. Layanan konsultasi di berikan oleh MK kepada pihak yang mengalami kesulitan dalam proses pengajuan permohonan. Sampai dia paham, baru mengajukan perkara. Tapi bukan berarti kita minta dia mengajukan perkara. Kami tetap pasif tandas Janedri. Janedri pun telah siap mengatasi hacker yang kemungkinan mengganggu website MK. Kan ada teknologinya (untuk mengatasinya), ujar Janedri dengan percaya diri.

 

Pemanfaatan teknologi informasi di MK dinilai sangat positif oleh Wakil Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Arya Suyudi. Itu kemajuan luar biasa. MK bisa menerobos paradigma selama ini yang menganggap bahwa manajemen perkara susah diadministrasi, puji Arya saat dihubungi via telepon.

 

Sebelum MK, pemanfaatan teknologi informasi di lingkungan peradilan telah dilakukan di peradilan agama. Menurut Dirjen Peradilan Agama Wahyu Widiana, saat ini dari 343 Peradilan Agama di tingkat pertama dan 29 di tingkat banding, 98 diantaranya telah memanfaatkan teknologi informasi untuk administrasi peradilan sehingga jajaran peradilan bisa mengetahui kapan waktu sidang, siapa saja majelis hakimnya dan telah tersedia juga bahan-bahan guna pengambilan putusan. Namun, fasilitas tersebut baru digunakan untuk internal peradilan agama dan belum bsa diakses masyarakat. Kita masih mengembangkan pemanfaatan teknologi informasi untuk pelayanan masyarakat, tuturnya.

 

Mahalnya Biaya Perkara

Konotasi negatif mengenai mahalnya biaya berperkara di pengadilan tampaknya tidak terlihat sama sekali di MK. Ditegaskan oleh Jimly bahwa akses untuk mendapat keadilan tidak perlu dihalang-halangi karena masalah biaya perkara.

 

Jimly mengakui selama ini mahalnya biaya perkara diakui oleh sebagian pihak untuk membatasi perkara. Namun demikian, Jimly tidak menerapkan hal tersebut di MK. Di MK, saya tidak mau ada biaya perkara supaya tidak ada urusan dengan uang, tegas Jimly. Pembatasan di MK, lanjut Jimly, tidak berdasar biaya perkara tetapi berdasarkan kualitas permohonan.

 

Jimly menyarankan agar sebaiknya dipikirkan ulang konsep pembatasan perkara dengan menggunakan biaya perkara. Di MA tidak usahlah ada biaya perkara sama sekali. Di Pengadlan Negeri dan Pengadilan Tinggi masih boleh, lanjutnya memberi saran.

 

Menurut Jimly, pihak yang telah berperkara sampai di MA sudah pasti mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Dengan mahalnya biaya perkara di peradilan, menurut Jimly rakyat miskin menjadi tidak bisa memanfaatkan jasa peradilan karena tidak ada biaya.

 

Namun demikian, menurut penilaian Arya berperkara di MA sebaiknya tetap harus bayar. Di seluruh dunia, kecuali pidana, tidak ada berperkara yang tidak bayar karena mereka menggunakan jasa negara untuk memutus sengketa, jelas Arya.

Tags: