Terkait Kasus Suap Pejabat Pajak, Begini Prosedur Pencegahan ke Luar Negeri
Berita

Terkait Kasus Suap Pejabat Pajak, Begini Prosedur Pencegahan ke Luar Negeri

Orang yang dikenai pencegahan dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada pejabat yang mengeluarkan keputusan pencegahan. Akan tetapi, pengajuan keberatan tersebut tidak menunda pelaksanaan pencegahan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Sering kita dengar berita pemerintah mencegah orang yang sedang memiliki kasus hukum di Tanah Air. Hal ini seperti terjadi dalam kasus dua oknum pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang tersandung kasus suap bar-baru ini. Dalam kasus tersebut, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI melalui Direktorat Jenderal Imigrasi pun melakukan pencekalan terhadap keduanya.

Kepala Bagian Humas dan Umum Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham, Arya Pradhana Anggakara, mengatakan bahwa dua ASN berinisial APA dan DR serta empat orang lainnya, yaitu RAR, AIM, VL dan AS dicegah ke luar negeri. Pencegahan tersebut berlaku selama enam bulan terhitung 8 Februari hingga 5 Agustus 2021. (Baca: 2 ASN Ditjen Pajak Terlibat Suap Dicegah ke Luar Negeri)

Terlepas dari kasus suap tersebut, sebenarnya bagaimana prosedur pencekalan diatur dalam undang-undang? UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (UU Keimigrasian) tidak mengenal istilah pencekalan, tapi yang ada adalah pencegahan. Pencegahan adalah larangan sementara terhadap orang untuk keluar dari Wilayah Indonesia berdasarkan alasan keimigrasian atau alasan lain yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 1 angka 28 UU Keimigrasian). Terkait pencegahan yang menyangkut keimigrasian ini, yang berwenang dan bertanggungjawab melakukannya adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pasal 91 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 4 UU Keimigrasian).

Berdasarkan Pasal 91 ayat (2) UU Keimigrasian, pelaksanaan pencegahan oleh Menteri dilakukan berdasarkan: a. hasil pengawasan Keimigrasian dan keputusan Tindakan Administratif Keimigrasian; b. Keputusan Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sesuai bidang tugasnya masing-masing dan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. permintaan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. perintah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. permintaan Kepala Badan Narkotika Nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan/atau f. keputusan, perintah, atau permintaan pimpinan kementerian/lembaga lain yang berdasarkan undang-undang memiliki kewenangan Pencegahan.

Pencegahan ini ditetapkan dengan keputusan tertulis oleh pejabat yang berwenang (Pasal 94 ayat (1) UU Keimigrasian dan penjelasannya), yang diterbitkan oleh instansi yang memintanya atau memohonkan untuk pelaksanaannya. Pelaksanaan atas keputusan pencegahan ini dilakukan oleh Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk (Pasal 93 UU Keimigrasian).

Adapun keputusan pencegahan menurut Pasal 94 ayat (2) UU Keimigrasian sekurang-kurangnya memuat: a. nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir atau umur, serta foto yang dikenai Pencegahan; b. alasan Pencegahan; dan c. jangka waktu Pencegahan.

Keputusan pencegahan ini disampaikan kepada orang yang dikenai pencegahan paling lambat 7 hari sejak tanggal keputusan ditetapkan (Pasal 94 ayat (3) UU Keimigrasian) dan Keputusan pencegahan disampaikan ke alamat domisili orang yang dikenai pencegahan, keluarga, atau perwakilan negara di tempat orang tersebut berada sesuai Pasal 229 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (PP Keimigrasian).

Jika keputusan pencegahan dikeluarkan oleh Menteri Keuangan, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepala Badan Narkotika Nasional, atau pimpinan kementerian/lembaga yang memiliki kewenangan pencegahan, keputusan tersebut juga disampaikan kepada Menteri paling lambat 3 hari sejak tanggal keputusan ditetapkan dengan permintaan untuk dilaksanakan (Pasal 94 ayat (4) UU Keimigrasian).

Kemudian Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk pada kesempatan pertama harus memasukkan identitas orang yang dikenai keputusan Pencegahan ke dalam daftar Pencegahan melalui Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian (Pasal 230 ayat (1) PP Keimigrasian). Yang dimaksud dengan “pada kesempatan pertama” adalah sesaat setelah menerima surat keputusan pencegahan (Penjelasan Pasal 230 ayat (1) PP Keimigrasian).

Lalu menurut Pasal 230 ayat (2) dan (3) PP Keimigrasian, identitas orang yang dikenai keputusan Pencegahan paling sedikit memuat: a. nama; b. jenis kelamin; c. tempat dan tanggal lahir atau umur; d. foto; e. alamat, kewarganegaraan, dan pekerjaan orang yang dikenai keputusan pencegahan (jika diketahui)

Berdasarkan daftar pencegahan tersebutlah, Pejabat Imigrasi wajib menolak orang yang dikenai pencegahan keluar Wilayah Indonesia (Pasal 95 UU Keimigrasian).

Terhadap orang yang masuk daftar pencegahan juga dilakukan penarikan paspor (Paspor biasa dan Surat Perjalanan Laksana Paspor) oleh Menteri atau Pejabat Imigrasi (Pasal 231 ayat (1) PP Keimigrasian). Jika orang tersebut (warga negara Indonesia) memiliki Paspor diplomatik atau Paspor dinas, Menteri Luar Negeri atau pejabat yang ditunjuk wajib melakukan penarikan paspor tersebut (Pasal 231 ayat (2) PP Keimigrasian).

Atas pencegahan tersebut, orang yang dikenai pencegahan dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada pejabat yang mengeluarkan keputusan pencegahan. Akan tetapi, pengajuan keberatan tersebut tidak menunda pelaksanaan pencegahan (Pasal 96 UU Keimigrasian).

Jangka Waktu Pencegahan

Berdasarkan Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-IX/2011, jangka waktu pencegahan berlaku paling lama 6 bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 bulan. Jika tidak ada keputusan perpanjangan masa pencegahan, pencegahan berakhir demi hukum, dan yang bersangkutan dapat melakukan perjalanan keluar Wilayah Indonesia (Pasal 97 ayat (2) UU Keimigrasian).

Merujuk Pasal 239 PP Keimigrasian, selain karena habisnya jangka waktu pencegahan, pencegahan juga berakhir karena: a. dicabut berdasarkan keputusan tertulis oleh Menteri atau pejabat yang berwenang menetapkan pencegahan; b. dicabut oleh pejabat yang menetapkan pencegahan berdasarkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang berkekuatan hukum tetap; atau c. berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bebas atas perkara yang menjadi alasan pencegahan (Pasal 97 ayat (3) UU Keimigrasian).

Dalam hal pencegahan berakhir berdasarkan alasan dalam poin (a) dan (b) di atas, pencabutan pencegahan dinyatakan dalam bentuk keputusan pencabutan (Pasal 240 ayat (1) PP Keimigrasian) Keputusan pencabutan pencegahan ini disampaikan kepada Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk dalam waktu paling lambat 3 hari sejak tanggal keputusan ditetapkan. Serta disampaikan kepada orang yang dikenai pencegahan dengan surat tercatat dalam waktu paling lambat 7 hari sejak tanggal keputusan ditetapkan (Pasal 240 ayat (2) dan (3) PP Keimigrasian)

Dalam hal terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (sebagaimana poin c), orang yang diputus bebas harus menyampaikan salinan putusan kepada Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk (Pasal 241 PP Keimigrasian)

Pencegahan memang secara otomatis berakhir jika jangka waktunya telah berakhir. Dalam hal Pencegahan berakhir, Pejabat Imigrasi yang ditunjuk pada kesempatan pertama harus mencabut nama orang yang dikenai Pencegahan dari daftar Pencegahan (Pasal 242 PP Keimigrasian). Pencabutan tersebut disampaikan kepada Menteri Luar Negeri, Kepala Perwakilan Republik Indonesia, dan Kepala Kantor Imigrasi di seluruh Wilayah Indonesia melalui Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian.

Usut Tuntas

Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin mendukung upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengungkap dan menindak tegas semua pihak yang terlibat dalam kasus dugaan suap yang terjadi di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan. "Saya mendukung upaya KPK mengungkap dan menindak tegas seluruh pihak yang terlibat pada kasus ini sampai ke akarnya, baik petugas maupun wajib pajak yang melanggar, sesuai peraturan perundangan yang berlaku," kata Azis dalam keterangannya.

Dia juga mendukung KPK untuk menyelidiki kasus tersebut hingga tuntas dan dapat memberikan efek jera. Menurut dia, peristiwa tersebut harus menjadi peringatan bagi petugas pajak dan wajib pajak agar kasus serupa tidak terulang. "Pegawai pajak harus menanamkan nilai-nilai profesional, berintegritas, dan bersih dari unsur-unsur praktik korupsi untuk mencegah adanya penyalahgunaan kewenangan," ujarnya.

Azis juga meminta Kemenkeu mengevaluasi secara menyeluruh terhadap kinerja jajaran di Ditjen Pajak, usai KPK menetapkan dua orang tersangka dalam dugaan suap yang menjerat pegawai negeri sipil (PNS) di Ditjen Pajak.

Dia menjelaskan, pengawasan terhadap para pegawai pajak itu terkait dengan mekanisme penerimaan pajak untuk mencegah adanya celah dan potensi penyalahgunaan.
"Terutama di tengah pandemi COVID-19, yaitu hasil penerimaan pajak seharusnya dapat membantu masyarakat," katanya. 

 

Tags:

Berita Terkait