Terjadi Pergeseran Paradigma Penggunaan Hak Prerogatif Presiden
Sidang Promosi Doktor

Terjadi Pergeseran Paradigma Penggunaan Hak Prerogatif Presiden

Hak prerogatif presiden saat berlakunya UUD Tahun 1945 sebelum amandemen dan setelah amandemen yang melibatkan lembaga negara lain. Diperlukan checks and balances agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden.

Muhammad Yasin
Bacaan 3 Menit
Promovendus Dosen FH UMSU Andryan (tengah) bersama Tim Penguji dan Promotor usai menjalani sidang disertasi doktor ilmu hukum di FH USU. Foto: Istimewa
Promovendus Dosen FH UMSU Andryan (tengah) bersama Tim Penguji dan Promotor usai menjalani sidang disertasi doktor ilmu hukum di FH USU. Foto: Istimewa

Kewenangan Presiden menurut konstitusi sangat besar. Presiden bertindak sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara dengan sejumlah hak yang melekat pada jabatannya. Presiden memiliki hak prerogatif yang tak dimiliki lembaga negara lainnya. Perubahan konstitusi melalui empat kali amandemen ternyata telah mengubah paradigma hak prerogatif presiden.

Andryan, dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan, menilai perubahan sistem pemilihan presiden dari dipilih oleh MPR menjadi dipilih rakyat secara langsung dengan menggunakan sistem multipartai telah mengakibatkan perubahan paradigma hak prerogatif presiden. “Setelah dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak prerogatif presiden dilakukan dengan adanya keterlibatan dari lembaga negara lainnya,” papar Andryan.

Baca Juga:

Dalam disertasi doktor ilmu hukum yang berhasil dipertahankan pada sidang terbuka Fakultas Hukum di Universitas Sumatera Utara, pekan terakhir Juni lalu, Andryan menyebutkan pentingnya melihat perkembangan ketatanegaraan Indonesia ketika mengkaji kekuasaan presiden. “Kekuasaan presiden tidak dapat dilepaskan dari perkembangan konstitusi dan praktek ketatanegaraan,” ujarnya. Penggunaan hak prerogatif presiden salah satu contohnya.

Hak prerogatif presiden pada dasarnya merupakan hak istimewa, mandiri, dan mutlak yang dimiliki oleh seorang presiden sebagai kepala negara dalam lingkup menjalankan kekuasaan pemerintahan. Kemandirian dan kemutlakan hak prerogatif presiden itu juga disinggung dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 22/PUU-XIII/2015. Mengangkat menteri-menteri merupakan salah satu hak prerogatif presiden yang diberikan konstitusi. Hak presiden ini diatur dalam Pasal 17 UUD 1945, dan dipertegas lagi dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

Menurut Andryan, sebelum perubahan konstitusi, praktik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia lebih cenderung pada executive heavy, meskipun presiden disebut sebagai mandataris MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Tetapi, pada sistem yang demikian terlihat bahwa presiden menggunakan kewenangannya tanpa keterlibatan nyata lembaga negara lain.

Namun, setelah amandemen, terlihat sekali keterlibatan lembaga negara lain, baik sebagaimana diatur dalam konstitusi maupun tuntutan praktik (penggunaan hak prerogatif presiden) seperti pengangkatan menteri. Dalam pengangkatan menteri dalam sistem multipartai seperti sekarang, sulit dipungkiri adanya campur tangan anggota partai koalisi pemerintahan.

Keterlibatan lembaga negara lain, lanjut Andryan, tampak pada ‘persetujuan’, atau ‘pertimbangan’. Konsep persetujuan antara lain dapat dibaca dalam rumusan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Dalam menyatakan perang, membuat perdamaian, atau perjanjian dengan negara lain, presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Demikian pula hak presiden membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara.

Syarat perlunya pertimbangan dari DPR dapat dilihat dalam Pasal 13 (pengangkatan dan penerimaan duta), dan Pasal 14 ayat (2) tentang pemberian abolisi dan amnesti). Sedangkan Pasal 14 ayat (1) Presiden memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung dalam pemberian grasi dan rehabilitasi.

Jadi, dalam beberapa hal keterlibatan lembaga negara lain dalam pelaksanaan hak dan kewenangan presiden merupakan amanat konstitusi. Sedangkan dalam pengangkatan menteri-menteri selaku pembantu presiden, intervensi lebih berbau politik. Tetapi adakalanya, presiden berinisiatif mengundang keterlibatan lembaga negara lain.

“Contohnya, langkah Presiden Joko Widodo pada periode kepemimpinan pertama meminta KPK melakukan tracking terhadap kandidat menteri,” jelas Andryan kepada Hukumonline.

Keterlibatan lembaga negara lain, terutama lembaga DPR, dapat menimbulkan bias. Di satu sisi, tidak adanya lembaga tertinggi, sehingga kedudukan lembaga negara setara, membutuhkan kontrol lembaga parlemen atau lembaga negara lainnya terhadap presiden. Di sisi lain, keterlibatan lembaga negara lain menggerus kemandirian dan kemutlakan hak prerogatif presiden. Meskipun demikian, Kepala Bagian HTN-HAN Fakultas Hukum UMSU (2021-2024) ini berpendapat bahwa pertimbangan DPR adalah dalam rangka mengawasi dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden.

Sehubungan dengan itu, Andryan mengusulkan ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dihapuskan agar hak prerogatif presiden sesuai dengan prinsip demokrasi konstitusional.

Tags:

Berita Terkait