‘Terima Janji’, Alasan KPK Tetapkan Sofyan Basir Tersangka
Berita

‘Terima Janji’, Alasan KPK Tetapkan Sofyan Basir Tersangka

KPK enggan sebut berapa janji fee yang akan diterima Sofyan Basir

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Sofyan Basir ketika bersaksi di sidang Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES
Sofyan Basir ketika bersaksi di sidang Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES

Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir resmi menyandang status tersangka dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia diduga bersama-sama dengan mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan sejumlah pihak lain menerima hadiah atau janji dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo terkait dengan pembangunan PLTU Riau-1.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menjelaskan KPK mengembangkan penyidikan dan terus mencermati fakta yang muncul di persidangan perkara PLTU Riau-1, termasuk pertimbangan hakim. Dari situ KPK menemukan bukti permulaan yang cukup tentang dugaan keterlibatan pihak lain dalam dugaan tindak pidana korupsi suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.

"KPK kemudian meningkatkan perkara ini ke tahap Penyidikan dengan tersangka SFB (Sofyan Basir), Direktur Utama PT PLN (Persero). Tersangka diduga bersama-sama atau membantu Eni Maulani Saragih selaku anggota DPR dan kawan-kawan menerima hadiah atau janji dari Johanes Budisutrisno Kotjo terkait kesepakatan kontrak kerja sama Pembangunan PLTU Riau-1," kata Saut di kantornya, Selasa (23/4).

Atas perbuatannya ini Sofyan disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

(Baca juga: Hubungan ‘Abang’ Lebih Ringan dari ‘Dinda’.)

Saut juga menjelaskan konstruksi perkara yang relevan dengan jerat pasal itu. Pada Oktober 2015, Direktur PT Samantaka Batubara mengirimkan surat pada PT. PLN (Persero) yang pada pokoknya memohon pada PT PLN (Persero) agar memasukan proyek dimaksud ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) namun tidak ada tanggapan positif.

Akhirnya Johanes Kotjo pemegang saham Blackgold Natural Resources, Ltd (BNR, Ltd) mencari bantuan agar diberikan jalan untuk berkoordinasi dengan PT . PLN (Persero) untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 (PLTU MT RIAU 1). "Diduga telah tenadi beberapa kalu penemuan yang dihadiri sebagian atau seluruh pihak, yaitu: SBF, Eni M. Saragih dan/atau Johanes Kotjo membahas proyek PLTU," pungkasnya.

Pada 2016, meskipun belum terbit Peraturan Presiden (Perpres) No. 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagallstnkan yang menugaskan PT PLN (Persero) menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK), dalam pertemuan tersebut diduga Sofyan telah menunjuk Kotjo untuk mengerjakan proyek di Riau (PLTU Riau-1) karena untuk PLTU di Jawa sudah penuh dan sudah ada kandidat.

Selanjutnya, PLTU Riau-1 dengan kapasitas 2x300 MW masuk dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik RUPTL PLN, Kotjo meminta anak buahnya bersiap karena sudah dipastikan Riau-1 milik PT Samantaka. Setelah itu diduga Sofyan menyuruh salah satu Direktur PT PLN (Persero) agar PPA antara PLN dengan BNR dan CHEC segera direalisasikan.

"Sampai dengan Juni 2018 diduga terjadi sejumlah pertemuan yang dihadiri sebagian atau seluruh pihak, yaitu: SFB, Eni dan /atau Kotjo serta pihak lain di sejumlah tempat, seperti Hotel, Restoran, Kantor PLN dan rumah SFB," jelas Saut.

Dalam pertemuan-pertemuan tersebut dibahas sejumlah hal terkait proyek PLTU Riau-1 yang akan dikerjakan perusahaan Kotjo seperti, Sofyan menunjuk perusahaan Kotjo untuk mengerjakan proyek PLTU Riau -1. Selain itu ia juga menyuruh salah satu Direktur di PT PLN (Persero) untuk berhubungan dengan Eni dan Kotjo.

Sofyan menyuruh salah satu Direktur di PT PLN (Persero) untuk memonitor karena ada keluhan dari Kotjo tentang lamanya penentuan proyek PLTU Riau 1. Dan selanjutnya ia juga membahas bentuk dan lama kontrak antara CHEC (Huandian) dengan perusahaan perusahaan konsorsium. "SFB diduga menerima janji dengan mendapatkan bagian yang sama besar dari jatah Eni Saragih dan Idrus Marham," tutur Saut.

Berapa nilai hadiah atau janji?

Seperti ditulis di atas, Sofyan menjadi tersangka karena diduga menerima hadiah atau janji bersama-sama Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo terkait dengan pembangunan PLTU Riau-1. Menariknya, KPK tidak menyebut bahkan terlihat enggan mengungkap berapa nilai hadiah atau janji yang akan diterima Sofyan Basir.

"SFB diduga menerima janji dengan bagian yang sama besar. Nah ini saya kira tentu sudah muncul juga di fakta persidangan, setelah kami klarifikasi juga dalam proses penhidikan dan proses persidangan," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

Febri kembali menyampaikan KPK hanya bisa menjelaskan apa yang sudah disampaikan dalam konferensi pers. Ia pun meminta para awak media meneliti lebih lanjut fakta persidangan pada saat pemeriksaan perkara sebelumnya. Diketahui ada 3 terdakwa yang telah menjalani persidangan lebih dulu yaitu Kotjo, Eni dan terakhir Idrus Marham.

Dalam putusan Idrus Marham yang dibacakan kemarin (23/4), nama Sofyan memang masuk pertimbangan majelis hakim. Sebagian besar pertimbangan yang dibacakan majelis hakim terkait dengan pertemuan-pertemuan yang diikuti Sofyan. Sofyan sudah pernah dimintai keterangan di persidangan.

(Baca juga: Divonis 2 Tahun 8 Bulan Bui, Johannes Kotjo Terima Putusan8).

Menurut majelis Idrus Marham dan Eni Saragih menghubungi Johanes Budisutrisno Kotjo menyangkut pertemuannya dengan Sofyan Basir membicarakan kesepatakan tanda tangan PLTU Riau-1 dan proyek Jambi 3, dan Kotjo meminta Eni dan Idrus untuk menanyakan kepada Sofyan Basir.

"Menimbang, Idrus Marham, Kotjo dan Eni menemui Sofyan Basir di rumahnya dan hadir juga Iwan Supangkat. Kesempatan itu, Sofyan mendorong agar PLN dan PT BJB untuk menandatangani amandemen konsorsium dengan CHEC Ltd dan disepakati pengendalian waktu selama 15 tahun,"  ujar majelis dalam pertimbangannya.

Tags:

Berita Terkait