Terdakwa SKL BLBI Lepas, Ketua MA: Itu Teknis Yudisial
Berita

Terdakwa SKL BLBI Lepas, Ketua MA: Itu Teknis Yudisial

Tentunya hakim sudah mempertimbangkan, mengambil keputusan seperti itu pasti sudah dengan pertimbangan yang matang.

Agus Sahbani/ANT
Bacaan 2 Menit
Ketua MA M. Hatta Ali. Foto: RES
Ketua MA M. Hatta Ali. Foto: RES

Ketua Mahkamah Agung (MA) M. Hatta Ali enggan berkomentar mengenai putusan kasasi yang melepaskan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung dari segala tuntutan hukum (ontslag van allerechtsvervolging). Sebab, putusan yang membuat Syafruddin bisa menghirup udara bebas ini, merupakan wilayah teknis yudisial yang merupakan independensi majelis hakim agung.      

 

"Yang bersifat teknis (yudisial) itu, tidak boleh (dikomentari), itu adalah independensi hakim, saya tidak boleh mengomentari putusan hakim," kata Hatta Ali saat ditemui seusai menghadiri peringatan Hari Bhayangkara ke-73 di lapangan silang Monas Jakarta, Rabu (10/7/2019) seperti dikutip Antara. Baca Juga: Syafruddin Divonis Lepas, Ketua Majelis Kasasi Dissenting

 

Pada Selasa (9/7) kemarin, majelis kasasi yang terdiri atas Salman Luthan selaku ketua majelis bersama Syamsul Rakan Chaniago dan Mohamad Asikin selaku anggota, mengabulkan permohonan kasasi Syafruddin. Dalam putusan kasasi bernomor 1555 K/PID.SUS/2019 tertanggal 9 Juli 2019 ini membatalkan dua putusan tingkat judex factie yang menghukum Syafruddin selama 13 tahun penjara dan 15 tahun penjara.      

 

Terdakwa Syafruddin dinilai terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan kepadanya. Akan tetapi, perbuatannya itu tidak merupakan suatu tindak pidana (korupsi). Dalam putusannya, Majelis juga memerintahkan Syafruddin dikeluarkan dari tahanan. Namun, putusan ini tidak bulat karena Hakim Agung Salman Luthan mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda).

 

Salman sependapat dengan putusan judex factie di tingkat banding yang menghukum Syafruddin selama 15 tahun penjara. Anggota Majelis Syamsul Rakan Chaniago menilai perbuatan Terdakwa bukan merupakan tindak pidana, melainkan perbuatan masuk dalam lingkup hukum perdata. Sedangkan, Anggota Majelis Mohamad Askin berpendapat perbuatan Terdakwa masuk dalam lingkup hukum administrasi (concurring opinion).  

 

"Tentunya hakim sudah mempertimbangkan, mengambil keputusan seperti itu pasti sudah dengan pertimbangan yang matang," ujar Hatta. Hatta pun tidak menjawab pertanyaan wartawan mengenai penilaian masyarakat atas rendahnya komitmen MA terhadap pemberantasan korupsi.

 

Memang seorang hakim tidak boleh menilai putusan pengadilan baik itu putusan yang dijatuhkan oleh dirinya sendiri ataupun oleh rekan sejawatnya. Ini termuat dalam Point angka 3.2 ayat (6) SKB Ketua MA dan Ketua KY No. 047/KMA/SKB/IV/2009, 02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dan Pasal 7 ayat (3) huruf h Peraturan Bersama MA dan KY No. 02/PB/MA/IX/2012, 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan KEPPH.

 

“Hakim tidak boleh memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik atau pembenaran secara terbuka atas suatu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, kecuali dalam sebuah forum ilmiah yang hasilnya tidak dimaksudkan untuk dipublikasikan yang dapat mempengaruhi putusan Hakim dalam perkara lain.”

 

Syafruddin Arsyad Temenggung adalah terdakwa perkara korupsi penghapusan piutang (tagihan) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) karena pernah menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap Bank Dagang Negara Indoensia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim.

 

Sebelumnya, di pengadilan tingkat pertama pada 24 September 2018, Temenggung dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama Dorodjatun Kuntjoro Jakti selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Itjih, dan Sjamsul Nursalim karena menerbitkan SKL kepada pemilik BDNI Sjamsul Nursalim yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun.

 

Temenggung terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 30 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Perbuatan Sjafruddin menerbitkan SKL BLBI itu dinilai menguntungkan Sjamsul selaku pemilik saham pengendali BDNI sebesar Rp 4,5 triliun. Kini, Sjamsul dan istrinya, Itjih Nursalim juga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam perkara ini.  

 

Karenanya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang diketuai Yanto menjatuhkan pidana selama 13 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp700 juta subsider selama 3 bulan kurungan. Lalu, pada 2 Januari 2019, vonis Syafruddin diperberat menjadi 15 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

 

Atas putusan kasasi tersebut, Syafruddin sudah dilepas dari tahanan pada Selasa (9/7) sekitar pukul 19.55 WIB. Sedangkan KPK mengaku tidak akan berhenti melakukan penyidikan kasus tersebut terutama terhadap Sjamsul dan Itjih. "KPK tetap akan berupaya semaksimal mungkin sesuai kewenangan yang kami miliki untuk mengembalikan dugaan kerugian keuangan negara Rp4,58 triliun," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang saat konferensi pers di gedung KPK, Selasa (9/7) malam.

 

Menurut Saut, KPK masih akan mempelajari putusan kasasi ini setelah menerima salinan putusan secara resmi dari MA. “Kita akan mempelajari secara cermat putusan dan mempertimbangkan secara serius melakukan upaya hukum luar biasa sepanjang sesuai dengan aturan yang berlaku,” katanya.

Tags:

Berita Terkait