Terdakwa Korupsi Lolos Karena Pasal 51 (1) KUHP
Berita

Terdakwa Korupsi Lolos Karena Pasal 51 (1) KUHP

Hakim melihat pada aspek kewenangan yang tak dimiliki terdakwa.

Mys
Bacaan 2 Menit

Kalaupun terdakwa hendak dimintai tanggung jawab, ternyata terdakwa bukan orang yang punya kewenangan menentukan. Terdakwa hanya sebagai Kepala Bagian Keuangan Pemkab Jeneponto, bukan sebagai pengelola proyek PKPS BBM-BK. “Penggunaan uang dalam rekening tersebut semuanya adalah atas perintah dari bupati,” begitu argumentasi majelis PK. “Karena itu sebagai bawahan (terdakwa—red) tidak mempunyai pilihan untuk menolak”.
 

Pada bagian lain pertimbangan, majelis PK menyebutkan “terdakwa tidak mempunyai wewenang untuk menggunakan uang tersebut tanpa ada perintah dari bupati”. Majelis melanjutkan: “yang bertanggung jawab atas penggunaan rekening tersebut, apabila ternyata ada kerugian negara, seharusnya adalah bupati”.
 

Putusan PK tertanggal 11 Agustus 2011 itu tak melulu menyinggung Pasal 51 ayat (1) KUH Pidana. Koreksi terhadap putusan kasasi dilakukan karena judex juris dianggap tak mempertimbangkan apakah putusan bebas yang dikeluarkan Pengadilan Tinggi bersifat bebas murni atau tidak murni. Yurisprudensi Mahkamah Agung menyatakan hanya putusan bebas tidak murni yang bisa diajukan kasasi.
 

Melalui putusan PK tersebut, Syamsul Bahri bisa bernafas lega. Sejak 2007 ia harus menghadapi dakwaan dan tuntutan jaksa. Ia dituduh melakukan perbuatan tindak pidana korupsi ketika mengalihkan dana program PKPS BBM-BK untuk membeli ambulance dan aksesorisnya. Selain uang pengembalian pembelian aksesoris tidak dikembalikan ke kas negara, melainkan dipakai untuk menutupi biaya perjalanan dinas bupati. Perbuatan terdakwa melanggar UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

 

Terhadap penggunaan UU No 1 Tahun 2004, pengacara Syamsul Bahri juga mempersoalkan pada memori PK. Perbuatan terdakwa yang dikualifisir jaksa sebagai perbuatan melawan hukum terjadi pada sekitar Juni 2002, tetapi kemudian dijerat dengan Undang-Undang yang baru disahkan pada 2004. Jaksa telah melanggar asas legalitas dan asas larangan tidak berlaku surut. Bagaimana mungkin seseorang dinyatakan melakukan perbuatan yang melanggar Undang-Undang tahun 2004 padahal perbuatan itu terjadi pada 2002? Sayang, argumentasi ini tak dipertimbangkan lebih lanjut oleh majelis PK.

Tags:

Berita Terkait