Terdakwa Kasus Paniai Bebas, Kejaksaan Diminta Ajukan Upaya Hukum
Terbaru

Terdakwa Kasus Paniai Bebas, Kejaksaan Diminta Ajukan Upaya Hukum

Hasil pantauan Komnas HAM menyebut terdakwa tunggal kasus Paniai Mayor Inf (Purn) Isak Sattu, diputus bebas. Majelis hakim menilai pertanggungjawaban komando tidak terbukti. Kejaksaan akan mempelajari terlebih dulu isi putusan, ada kemungkinan ajukan upaya hukum.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Sejak awal proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan kasus pelanggaran HAM berat Paniai dengan terdakwa tunggal Mayor Inf (Purn) Isak Sattu mendapat sorotan kalangan masyarakat sipil. Proses penyidikan tertutup dan tidak melibatkan korban dan keluarganya. Alhasil, kalangan masyarakat sipil khawatir proses hukum terhadap perkara itu tidak memberikan keadilan bagi korban.

Kekhawatiran itu akhirnya terbukti setelah majelis hakim di Pengadilan Negeri Makasar dalam perkara bernomor 1/Pid.Sus-HAM/2022/PN.Mks itu memutus bebas terdakwa. Komisioner Komnas HAM, Abdul Haris Semendawai, yang hadir dalam sidang pembacaan putusan itu mencatat majelis hakim menyatakan pertanggungjawaban komando tidak terbukti. Oleh karena itu, terdakwa dibebaskan.

“Dalam persidangan peristiwa Paniai terbukti pelanggaran ham berat. Tapi yang tidak dapat dibuktikan ini terkait dengan pihak yang bertanggungjawab atau komandan yang bertanggung jawab atas kasus ini,” kata Semendawai dalam konferensi pers, Kamis (8/12/2022).

Terdakwa yang kala peristiwa terhadi bertugas sebagai Perwira Penghubung Komando Distrik Militer (Kodim) 1705/Paniai oleh majelis hakim dinilai tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya dalam konteks komando. Tapi Semendawai melihat ada sebagian hakim yang menyatakan dissenting opinion dengan menilai unsur pertanggungjawaban komando itu sudah terpenuhi, sehingga terdakwa bisa dinyatakan bersalah.

Sejak September 2022, Komnas HAM telah memantau proses hukum kasus Paniai. Semendawai menyebut catatan Komnas HAM menunjukkan proses penyidikan dan penuntutan tidak dilakukan secara transparan, serta tidak melibatkan korban. Oleh karena itu, korban menilai proses hukum yang berjalan tidak akan memberikan keadilan.

Selama persidangan perkara Paniai Komnas HAM mencatat proses pembuktian tidak maksimal karena saksi dari korban dan pihak keluarga tidak dihadirkan. Saksi yang hadir hanya dari anggota TNI dan Polri. “Sejak awal proses persidangan ini ada ketidakpercayaan (dari korban) dan kekhawatiran perkara tidak berjalan sesuai harapan.” ujar Semendawai.

Semendawai menyayangkan korban tidak mengajukan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Hal itu harusnya bisa masuk dalam gugatan yang diajukan penuntut umum. Keseriusan pemerintah juga dipertanyakan karena hakim ad hoc dalam perkara tersebut belum menerima gaji.

Komnas HAM merekomendasikan kepada Jaksa Agung untuk mengajukan upaya hukum terhadap putusan tersebut. Sekaligus menindaklanjuti pihak terkait lainnya yang bertanggungjawab untuk diproses hukum. Selain menyasar pemegang komando, proses hukum itu juga harus menjerat pelaku lapangan. LPSK juga diharapkan aktif memberikan perlindungan kepada korban sekaligus memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM berat dan melindungi para saksi.

“Jika penuntut umum mengajukan upaya hukum maka korban bisa menuntut kompensasi dan pemulihan,” imbuhnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro awalnya Komnas HAM menyambut baik karena hasil penyelidikan kasus Paniai yang dilakukan Komnas HAM ditindaklanjuti Kejaksaan untuk ditindaklanjuti sampai pengadilan. Tapi akhirnya putusan PN Makassar tidak sesuai harapan untuk memberikan keadilan bagi korban.

“Putusan ini memberikan rasa kecewa dan prihatin. Komnas HAM merasakan itu, terlebih lagi para korban,” tegas Atnike.

Terpisah, Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, mengatakan pihaknya akan mempelajari terlebih dulu isi dari putusan tersebut. Tidak menutup kemungkinan untuk mengajukan upaya hukum. “Kita pelajari dulu ya putusan lengkapnya, pasti upaya hukum,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait