Terdakwa Kasus Facebook, Uji Pasal 319 KUHP
Berita

Terdakwa Kasus Facebook, Uji Pasal 319 KUHP

Hakim MK minta pemohon memaparkan kasus pidananya.

RED
Bacaan 2 Menit
Victor Santoso (kemeja abu-abu). Foto: Humas MK
Victor Santoso (kemeja abu-abu). Foto: Humas MK

Dua terdakwa kasus pencemaran nama baik Wali Kota Tegal mengajukan permohonan uji materi Pasal 319 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pemohon menyatakan Pasal 319 itu dinilai telah menyeret dirinya ke pengadilan dalam kasus pencemaran nama baik. 

Pemohon adalah Agus Slamet dan Komar Raenudin, keduanya merupakan aktivis dari dua LSM yang berbeda. Agus dan Komar didakwa dengan Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Keduanya didakwa melakukan pencemaran nama baik Wali Kota dan anggota DPRD Kota Tegal melalui media sosial Facebook.

Kurniawan, Kuasa Hukum Pemohon, mengatakan Agus dan Komar tidak akan menjadi terdakwa apabila frasa ‘kecuali berdasarkan Pasal 316’ dalam Pasal 319 KUHP dihapus. Sebab, frasa tersebut sudah tidak relevan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13-027/PUU-IV/2006.

Putusan MK tersebut intinya menyatakan bahwa seorang presiden dan wakil presiden tidak dapat diberikan privilege atau hak istimewa yang menyebabkan mereka memperoleh kedudukan dan perlakuan sebagai manusia secara substantif, martabatnya berbeda di hadapan hukum dan warga negara lainnya.

Pemohon memandang presiden dan wali kota merupakan pejabat negara sehingga pertimbangan dalam putusan tersebut juga berlaku untuk seluruh pejabat negara, termasuk Wali Kota Tegal.

“Sesuai dengan konsep demokrasi kedaulatan rakyat, maka tidak ada yang diperlakukan berbeda,” ujar Kuasa Hukum Pemohon Kurniawan pada sidang perdana perkara nomor 31/PUU-XIII/2015 di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (19/3).

Masih berlakunya frasa ‘kecuali berdasarkan Pasal 316’ dalam Pasal 319 KUHP dinilai telah memberikan ruang kepada seorang pejabat untuk mendapatkan privilege dan memperlakukan sebagai manusia secara substantif martabatnya berbeda di hadapan hukum dan warga negara lainnya.

Sebab, aturan tersebut menyatakan apabila tindak pidana terjadi pada pejabat negara, maka tidak memerlukan delik aduan. Berdasarkan hal tersebut, Pemohon menganggap menganggap frasa dalam pasal a quo bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Adapun Pasal 316 menyatakan, “Pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal sebelumnya dalam bab ini, dapat ditambah dengan sepertiga jika yang dihina adalah seorang pejabat pada waktu atau karena menjalankan tugasnya yang sah.”

Sedangkan Pasal 319 menyatakan, “Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali berdasarkan pasal 316.”

Menanggapi permohonan para pemohon, Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan pemohon untuk menjelaskan posita dengan mengawalinya menggunakan kasus yang Pemohon alami, yaitu dengan melampirkan kalimat atau perkataan yang ada di Facebook yang dianggap sebagai penghinaan.

“Kata-kata di Facebook yang Saudara katakan penghinaan itu apa kalimatnya, kemudian hubungkan dengan kasus penghinaan terhadap pejabat lain yang sudah pernah terjadi,” ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.

Tags:

Berita Terkait