​​​​​​​Terbukti Novum Palsu, Bisa Menjadi Dasar Pengajuan PK Kedua
Landmark Decisions MA 2017

​​​​​​​Terbukti Novum Palsu, Bisa Menjadi Dasar Pengajuan PK Kedua

Putusan ini warning bagi PTUN untuk lebih berhati-hati menerima novum. PK kedua sudah berkali-kali diputus Mahkamah Agung.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Bukti baru alias novum menjadi salah satu amunisi yang sering dipakai pihak bersengketa untuk mengajukan upaya hukum luar biasa ke Mahkamah Agung. Langkah itu hakikatnya dapat dibenarkan oleh hukum. Tetapi jika novum yang diajukan ternyata palsu, persoalan bisa menjadi lain. Bisa-bisa kemenangan di depan mata lewat Peninjauan Kembali (PK) buyar dalam sekejap karena ada PK kedua.

 

Kisah semacam itulah yang menjadi dasar putusan Mahkamah Agung No. 154 PK/TUN/2016 yang terpilih menjadi salah satu landmark decisions Mahkamah Agung Tahun 2017. Mahkamah Agung menyatakan permohonan PK kedua dapat dibenarkan jika novum yang dijadikan bukti di peradilan umum terbukti palsu.

 

Perkara ini bermula dari sengketa tata usaha negara (TUN) terkait pertanahan antara Tatang Sumarna dkk sebagai penggugat dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandung selaku tergugat, serta 6 pihak lain yang menjadi tergugat II intervensi. Pada intinya penggugat menuntut agar 10 sertifikat yang diterbitkan Kepala Badan Pertanahan Kota Bandung dibatalkan. Penggugat merasa berhak atas tanah yang telah diterbitkan sertifikatnya itu. Dalam gugatan, penggugat juga meminta Kepala Pertanahan Kota Bandung menerbitkan sertifikat hak milik atas nama penggugat terhadap tanah yang menjadi obyek sengketa itu.

 

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung –lewat putusan No.76/G/2006/PTUN.BDG-- mengabulkan sebagian gugatan penggugat, sertifikat yang menjadi obyek sengketa itu dibatalkan. Perkara berlanjut ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta. Lewat putusan No. 149/B/2007/PTTUN.JKT, PTTUN menerima eksepsi tergugat/pembanding, dan gugatan penggugat/terbanding dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).

 

Baca:

 

Penggugat mengajukan kasasi. Lewat putusan No. 84 K/TUN/2008 tertanggal 20 Agustus 2008 Mahkamah Agung menyatakan menolak permohonan kasasi Tatang dkk. Tak mau menyerah, Tatang Sumarna dkk melakukan upaya hukum luar biasa, hasilnya putusan bernomor 35 PK/TUN/2009 tertanggal 15 September 2009 mengabulkan sebagian tuntutan Tatang Sumarna dkk. Majelis membatalkan sertifikat yang menjadi obyek sengketa.

 

Sayangnya, kemenangan Tatang Sumarna dkk itu harus pupus pada PK kedua. Putusan MA No.  154 PK/TUN/2016 pada intinya mengabulkan permohonan PK kedua yang diajukan Kepala Badan Pertanahan Kota Bandung; dan membatalkan putusan MA No. 35 PK/TUN/2009 dan menolak gugatan Tatang Sumarna dkk. Majelis PK kedua ini diketuai H Supandi, dengan anggota Yosran dan Irfan Fachruddin.

 

Dalam pertimbangannya majelis PK kedua berpendapat PK kedua itu bisa diterima karena terdapat dua putusan badan peradilan yang berkekuatan hukum tetap yang bertentangan. Putusan yang dimaksud yakni putusan MA No. 1122 K/Pid/2015 juncto putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 120/Pid/2015/PT.BDG juncto putusan Pengadilan Negeri Bandung No.  1530/Pid.B/2014/PN.BDG.

 

Majelis dalam putusan perkara pidana di PN Bandung itu menyatakan Ridha Faridha Rukmiati Siti Jubaedah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta menggunakan surat palsu atau dipalsukan. Majelis PK kedua mencatat ada 3 surat yang dipalsukan. Pertama, putusan PN Bandung No 11.48 tanggal 16 September 1948. Kedua, penetapan Ketua PN Bandung No 11/1948 juncto 234/1954 juncto 437/1954 tertanggal 25 Juli 1971. Ketiga, keterangan panitera PN Bandung No 16/1967 tanggal 10 Agustus 1967.

 

Ketiga surat yang dipalsukan itu dijadikan dasar majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya untuk memutus putusan MA No. 35 PK/TUN/2009 tertanggal 15 September 2009. Majelis PK kedua menggunakan hal itu sebagai dasar untuk membatalkan putusan PK kesatu dan mengabulkan PK kedua. “Mengadili: mengabulkan permohonan PK dari pemohon PK kedua Kepala Kantor Pertanahan Bandung tersebut; membatalkan putusan MA Nomor 35 PK/TUN/2009 tertanggal 15 September 2009,” begitu kutipan putusan PK kedua.

 

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, mengatakan putusan PK kedua itu layak untuk masuk dalam landmark decisions MA, meskipun sebenarnya sudah pernah ada putusan sejenis: PK kedua. Menurut dia, pelajaran penting yang patut dicatat dari putusan PK kedua itu antara lain pengadilan TUN harus lebih hati-hati menerima dan menilai suatu novum, jangan sampai kecolongan menerima bukti palsu. Menurutnya pemeriksaan yang dilakukan selama ini sekadar formil bukan materil. Perlu diingat, novum yang dimaksud itu adalah bukti yang sama sekali belum pernah digunakan. Menurut Chudry, doktrin atau pandangan mengenai penggunaan novum masih beragam. Pada hakikatnya novum adalah bukti lama yang baru ditemukan ketika perkara sudah berkekuatan hukum tetap.

 

Hukumonline.com

 

Chudry mengatakan, MA telah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 10 Tahun 2009 yang menjelaskan permohonan PK dalam suatu perkara yang sama hanya boleh satu kali. Untuk permohonan PK lebih dari sekali ada syaratnya, yaitu apabila suatu obyek perkara terdapat dua atau lebih putusan yang bertentangan satu dengan lainnya baik dalam perkara pidana maupun perdata. SEMA No. 10 Tahun 2009 tetap menjadi rujukan sekalipun telah terbit SEMA No.7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana.

 

SEMA yang terakhir diterbitkan itu merupakan respons atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.34/PUU-XI/2013 yang intinya membatalkan pasal 268 ayat (3) KUHAP. Bagi Chudry PK kedua tidak hanya berlaku untuk perkara perdata tapi juga pidana, agama, dan TUN. “Tidak hanya untuk perkara perdata tapi diperluas,” katanya ketika dihubungi, Rabu (7/3).

 

Dalam putusan MA bernomor 154 PK/TUN/2016, Chudry melihat novum yang digunakan pemohon PK kedua yaitu putusan perkara pidana yang sudah inkracht. Perkara pidana itu berkaitan dengan pemalsuan surat. Dia memperkirakan pihak yang terlibat dalam perkara pidana itu dijerat pasal 263 KUHP dan pasal 266 ayat (2) KUHP jika menggunakan akta palsu.

 

Perkara Pabrik Semen

Mekanisme PK Kedua dalam perkara TUN juga pernah ada dalam kasus lain salah satunya pabrik semen di Rembang. Perkara itu bermula dari gugatan Joko Prianto dkk melawan Gubernur Jawa Tengah (tergugat I), dan PT Semen Gresik sekarang PT Semen Indonesia (tergugat II/tergugat II intervensi) dengan obyek sengketa berupa Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 660.1/17 Tahun 2012. Dalam putusan PTUN Semarang bernomor 064/G/2014/PTUN Smg, majelis menerima eksepsi tergugat dan tergugat II intervensi mengenai gugatan telah lewat waktu (daluarsa).

 

Majelis mengacu pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN yang mengatur mengenai tenggang waktu mengajukan gugatan. Undang-Undang perubahannya, yakni UU No. 9 Tahun 2004 juga secara tegas mensyaratkan orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan, sehingga penghitungan tenggang waktu sebagaimana dimaksud pasal 55 yaitu 90 (sembilan puluh) hari.

 

Tenggang waktu 90 hari itu menurut majelis harus dikaitkan dengan kapan para penggugat mengetahui dan merasa kepentingannya dirugikan akibat penerbitan surat keputusan obyek sengketa. Dalam perkara ini majelis berpendapat para penggugat merasa kepentingannya dirugikan sejak 22 Juni 2013 ketika Wakil Bupati Rembang memberikan penjelasan mengenai terpenuhinya semua izin oleh PT Semen Indonesia.

 

Penjelasan itu dipaparkan wakil Bupati Rembang pada acara silaturahmi yang difasilitasi oleh camat Gunem di Balai Desa Kecamatan Gunem, di mana penggugat I Joko Prianto hadir bersama beberapa warga desa yang wilayahnya terkena dampak. Gugatan didaftarkan Joko Prianto dkk ke PTUN Semarang tertanggal 1 September 2014. Oleh karena itu majelis menghitung berdasarkan ketentuan pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 gugatan tersebut melebihi tenggang waktu 90 hari. Itulah dalil yang digunakan majelis untuk memutus gugatan Joko Prianto dkk daluarsa sehingga gugatan tidak diterima (niet ontvankelijk verklaard).

 

Tak mau menyerah, Joko Prianto dkk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi TUN Surabaya. Hasilnya, putusan No. 135/B/2015/PT.TUN.SBY; memperkuat putusan PTUN Semarang. Setelah melewati jangka waktu 14 hari dan putusan itu dinyatakan berkekuatan hukum tetap, Joko Prianto dkk mengajukan PK Kesatu dengan novum di antaranya tiket pesawat dan Boarding Pass yang menunjukan Joko Prianto terbang dari Pontianak ke Cengkareng dengan pesawat Garuda Indonesia Flight No. GA 0507 pada  22 Juni 2013 pukul 15.00. Padahal dalam perkara di PTUN Semarang Joko Prianto disebut hadir dalam acara silaturahmi di Balai Desa Gunem.

 

Melalui putusan No. 99 PK/TUN/2016, majelis mengabulkan seluruh gugatan Joko Prianto dkk. Menyatakan batal Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 660.1/17 Tahun 2012, tanggal 7 Juni 2012, dan tergugat harus mencabutnya. “Membatalkan Putusan PT TUN Surabaya No. 135/B/2015/PT.TUN.SBY, tanggal 3 November 2015 yang menguatkan putusan PTUN Semarang No. 064/G/2014/PTUN.SMG, tanggal 16 April 2015,” begitu kutipan sebagian amar putusan.

 

Tak mau kalah, PT Semen Indonesia mengajukan PK kedua. Dalam dalilnya, pemohon PK kedua menyebut majelis hakim PK pertama telah memeriksa, mengadili dan memutus perkara No. 99 PK/TUN/2016 berdasarkan novum yang tidak sah dan tidak benar. Hal itu terlihat dari surat PT Garuda Indonesia tertanggal 24 Mei 2016 yang intinya menolak kebenaran bukti-bukti yang telah diajukan sebagai novum.

 

Baca juga:

 

Rupanya, dalil yang diajukan pemohon PK kedua itu tidak mampu meyakinkan majelis hakim. Sehingga dalam amar putusan No. 91 PK/TUN/2017 majelis menyatakan permohonan PK kedua tidak dapat diterima. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis mengatakan berdasarkan pasal 66 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 juncto UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditentukan upaya PK hanya dapat dilakukan satu kali dan terhadap putusan PK tidak dapat diajukan PK.

 

Dari dua sengketa TUN dengan perkara berbeda itu dapat disimpulkan novum sangat mempengaruhi pertimbangan hakim PK kedua dalam memutus perkara. Pihak yang mengajukan permohonan PK kedua harus mencermati betul novum seperti apa yang bisa dijadikan dasar untuk membatalkan putusan PK pertama.

Tags:

Berita Terkait