Terbitnya Perppu Cipta Kerja Dinilai Sebagai Langkah Inkonstitusional
Terbaru

Terbitnya Perppu Cipta Kerja Dinilai Sebagai Langkah Inkonstitusional

Bentuk pengabaian terhadap putusan MK yang menekannya perlunya penerapan meaningful participation. Perppu 2/2022 menunjukkan tata kelola legislasi yang buruk oleh Pemerintah.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Feri Amsari. Foto: RES
Feri Amsari. Foto: RES

Upaya pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi ‘kado’ akhir tahun yang mengejutkan. Perppu tersebut dianggap sebagai alasan berkelit dari perintah terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.91/PUU-XVII/2020 yang bertujuan untuk memperbaiki UU No.11 Tahun 2002 tentang Cipta Kerja dalam kurun waktu 2 tahun sejak putusan dibacakan.

“Ini bentuk sakitnya politik ketatanegaraan kita,” ujar praktisi hukum tata negara, Feri Amsari saat berbincang kepada Hukumonline, Jumat (30/12/2022).

Dia menuturkan, dalam Putusan MK No.91/PUU-XVII/2020 mengamanatkan pemerintah agar memperbaiki UU Cipta Kerja, bukan malah menerbitkan Perppu. Apalagi salah satu syarat penerbitan Perppu adanya hal ihwal kegentingan memaksa. Menurutnya dalam Putusan MK No.91/PUU-XVII/2020 tidak tergambarkan adanya hal ihwal kegentingan memaksa. Makanya MK memerintahkan pemerintah memperbaiki UU Cipta Kerja dengan rentang waktu 2 tahun sejak putusan dibacakan pada November 2021 silam.

“Nah ini saya pikir Perppu 2/2022 langkah untuk menghindar dari tanggung jawab memperbaiki UU Cipta Kerja, karena sudah mau habis,” ujarnya.

Baca juga:

Dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Andalas itu berpendapat, lantaran sudah mendekati masa habisnya waktu yang diberikan dalam Putusan MK No.91/PUU-XVII/2020, pemerintah pun tak ingin UU Cipta Kerja dibatalkan begitu saja. Karenanya, pemerintah pun ditengarai menggunakan celah dengan memaksakan terbitkan Perppu 2/2022.

“Ini tidak saja pembodohan terhadap publik, tapi juga langkah inkonstitusional yang ngawur,” ujar Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) itu.

Terpisah, Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Muhammad Nur Sholikin berpandangan, pemerintah secara formal presiden memiliki kewenangan menerbitkan Perppu. Tapi langkah pemerintah merespon Putusan MK No.91/PUU-XVII/2020 dengan kebijakan menerbitkan Perppu 2/2022 amatlah tidak etis terhadap MK secara kelembagaan, maupun publik yang mengingikan aspirasinya didengar dan dilibatkan dalam perbaikan UU Cipta Kerja.

Baginya, jalan pintas pemerintah itu pun mengabaikan kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif. Perppu 2/2022 menunjukkan adanya pengabaian terhadap putusan MK yang menekannya perlunya penerapan meaningful participation dalam pembentukan UU. Pasalnya, pembentukan Perppu hanya dilakukan sepihak oleh Presiden. Karenanya dalam proses pembentukan Perppu 2/2022 tidak adanya keterlibatan masyarakat sebagai bentuk penerapan partisipasi.

“Langkah yang diambil Presiden dengan menerbitkan Perpu Cipta Kerja ini mengulang kembali praktik penyusunan UU Cipta Kerja sebelumnya yang minim partisipasi,” ujarnya.

Peneliti Senihor Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia itu berpandangan, langkah serius pemerintah dalam memperbaiki secara formil pembentukan UU Cipta Kerja tidak tampak dalam proses tersebut. Sebaliknya malah lebih menunjukan kesewenang-wenangan dalam proses legislasi. Ironisnya, posisi dan aspirasi masyarakat semakin diabaikan.

Boleh dibilang, terbitnya Perppu 2/2022 kian menunjukan lagi tata kelola legislasi yang buruk oleh pemerintahan Jokowi-Maruf Amin. Sebab amat berlawanan dengan pernyataan Presiden Jokowi yang kerapkali dilontarkan dengan bakal melakukan reformasi regulasi. Tapi faktanya, malah sebaliknya malah memperburuk tata kelola legislasi.

Sementara DPR sebagai lembaga yang bakal memberikan “stempel” mesti menolak atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu 2/2022 sesuai dengan ketentuan Pasal 52 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi, “DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”.

Langkah penerbitan Perppu Cipta Kerja ini merupakan bentuk pengabaian kekuasaan legislasi yang dimiliki oleh DPR,” pungkasnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah menerbitkan Perppu 2/2022 dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak dalam mengantisipasi kondisi global. Mulai aspek ekonomi maupun geopolitik. Itu sebabnya, pemerintah perlu mempercepat dalam mengantisipasi kemungkinan kondisi global di sektor ekonomi.

Apalagi banyak negara mengalami resesi global, peningkatan inflasi serta ancaman stagflasi. Sementara dari aspek geopolitik, situasi dunia dihadapkan dengan perang Rusia-Ukraina serta banyak konflik lainnya yang tak kunjung usai. Akibatnya, terjadi potensi krisis pangan, energi, keuangan dan perubahan iklim.

Sementara Menkopolhukam Moh Mahfud MD mennambahkan penerbitan Perppu 2/2022 dikarenakan adanya alasan mendesak. Menurutnya, pemerintah memandang adanya kebutuhan yang cukup untuk menyatakan penerbitan Perppu 2/2022 didasarkan adanya mendesak. Keberadaan Perppu 2/2022 pun secara otomatis menggantikan UU 11/2022 yang disusun secara sapujagat dan menggunakan metode omnibuslaw.

Menurutnya, alasan mendesak sebagaimana disebutkan Airlangga. Seperti dampak perang Rusia-Ukraina berpengaruh secara global maupun nasional mengancam meningkatnya inflasi, stagflasi, krisis multisektor, suku bunga, kondisi geopolitik, krisis pangan. Berdasarkan kondisi tersebut, pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis secepatnya. Sedangkan pertimbangan aspek hukum dan peraturan perundangan atas terbitnya Perppu 2/2022 dikarenakan kebutuhan mendesak sesuai dengan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.

Tags:

Berita Terkait