Tepatkah Tuntutan Pidana Mati pada Heru Hidayat?
Terbaru

Tepatkah Tuntutan Pidana Mati pada Heru Hidayat?

Tuntutan pidana hukuman mati dianggap berlebihan, menyalahi aturan, dan sekadar mencari sensasi.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 4 Menit
Terdakwa Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat. Foto: RES.
Terdakwa Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat. Foto: RES.

Empat hari pascapembacaan tuntutan hukuman mati atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan dan Dana Investasi oleh PT Asabri (Persero) sepanjang periode 2012-2019 pada Terdakwa Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat, beragam pro dan kontra hadir di masyarakat. Ada yang menilai, hukuman mati patut dijatuhkan untuk memberikan efek jera pada kasus korupsi; ada pula yang menganggap, upaya ini dilakukan semata untuk memenuhi ekspektasi masyarakat.

 

Ahli Hukum Pidana sekaligus dosen di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Krisnadwipayana, dan Universitas Riau—Dr. Chairul Huda, S.H., M.H. menggambarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai tuntutan yang kontradiktif dan tak memiliki landasan hukum. Pasalnya, antara dictum pertama dan kedua tuntutan terlihat saling bertentangan. “Tuntutannya terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang No 31 Tahun 1999, tetapi tuntutannya hukuman mati. Padahal, Pasal 2 Ayat 1 tidak mengancam pidana mati,” katanya.

 

Pidana mati sendiri hanya dapat dituntut, jika menggunakan Pasal 2 Ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999. Namun, menurutnya, jika menggunakan pasal tersebut, sejumlah komponen yang disyaratkan untuk hukuman pidana mati pun masih belum terpenuhi.

 

Pasal 2 Ayat (2)

Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

 

“Tidak dalam bencana alam, krisis moneter, atau kalau dilakukan pengulangan juga tidak. Yang dimaksud pengulangan, orang yang sudah divonis melakukan tindak pidana, selesai menjalani hukuman, dan mengulangi lagi. Padahal, dalam kasus ini, timeline-nya bebarengan,” Chairul menambahkan.

 

Ia lantas merujuk pada Pasal 65 KUHP yang menyebutkan, ‘Dalam hal bebarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana'. Dengan kata lain, korupsi Jiwasraya dan Asabri bukan pengulangan (recideive), tetapi concursus. Pada perkara ASABRI, yang rentang waktu yang didakwakan JPU adalah 2012-2019 atau sebelum Heru Hidayat dihukum kasus AJS. Tuntutan yang diajukan dipandang tidak tepat, bahkan memiliki tendensi mencari sensasi. Adapun hal ini semakin tidak relevan, jika tujuannya adalah untuk menciptakan efek jera.  

 

“Tidak ada relevansinya antara pidana mati dengan efek jera. Di sisi lain, mau pakai pidana mati atau penjara seumur hidup, mengatasi masalah korupsi harus dengan membuat sistem yang mencegah orang korupsi. Memperbaiki sistem kontrol pemerintah agar tidak timbul lagi kerugian yang sangat besar,” ujar Chairul.

 

Perihal kerugian negara yang ditimbulkan sendiri; masih menimbulkan perdebatan karena perbedaan persepsi. Memang, PT Asabri adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun, dana yang ada di Asabri berasal dari iuran anggota TNI-Polri dan terpisah dari keuangan negara. Chairul berharap, pengadilan harus melakukan evaluasi, terlebih untuk mencegah ketidakpercayaan publik terhadap kejaksaan. 

 

Unsur Kerugian Negara Tidak Terbukti

Sementara itu, Partner NKHP Law Firm sekaligus Penasihat Hukum Heru Hidayat, Kresna Hutauruk menilai, tuntutan hukuman mati berlebihan dan menyalahi aturan. Serupa dengan Chairul, Kresna menegaskan bahwa pasal yang digunakan tidak tepat. Kresna bahkan menyebut tuntutan ini sebagai bentuk ‘abuse of power’—sebab mulanya, JPU tidak menyertakan pasal ini ke dalam dakwaannya.

 

“Dari awal surat dakwaan, tentunya JPU sudah menyadari tidak mungkin menerapkan Pasal 2 ayat (2). Makanya, JPU tidak menyertakan pasal ini ke dalam dakwaannya. Kenapa sekarang tiba-tiba malah menuntut mati? Tuntutan di luar dakwaan jelas tidak sesuai aturan, berlebihan, dan di luar  wewenang,” kata Kresna.

 

Fakta persidangan menunjukkan, tidak ada bukti yang menyatakan Heru Hidayat menerima aliran uang Rp12 triliun yang dituduhkan JPU. Ia juga terbukti tidak memberikan apa pun kepada pejabat Asabri. Selain itu, unsur kerugian negara juga tidak terbukti, sebab saat ini ASABRI masih memiliki saham-saham dan unit penyertaan dalam reksadana. BPK pun tidak pernah menghitung keuntungan yang diperoleh ASABRI dalam penjualan saham periode 2012-2019.

 

Merasa tuntutan telah mencederai rasa keadilan, Kresna pun telah mempersiapkan langkah lanjutan dalam pembelaan, terlebih untuk mengungkap kejanggalan yang ada dalam perkara tersebut. 

 

“Kami sangat meyakini dan berharap Majelis Hakim yang Mulia tidak akan bertindak seperti JPU dalam membuat putusan di luar dakwaan. Sebab, dalam KUHAP jelas diatur, dalam membuat putusan Majelis Hakim harus berdasarkan dakwaan, yaitu dakwaan terbukti atau tidak terbukti. Kami di pengadilan ini kan untuk menegakkan hukum dan mencari keadilan, bukan mencari nama atau membuat sensasi,” pungkas Kresna. 

 

Sebagaimana dilansir dari Antara, bertempat di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas IA Khusus, pada Senin (6/12), JPU telah membacakan tuntutan terhadap terdakwa Heru Hidayat, yaitu ‘Menyatakan terdakwa Heru Hidayat terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dalam dakwaan primer dan kedua primer, menghukum terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati’.

Terdapat tiga tuntutan sebagai berikut:

  1. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan kedua primair Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidan Pencucian Uang.
  2. Menghukum terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati;
  3. Membayar uang pengganti sebesar Rp12.643.400.946.226 (dua belas triliun enam ratus empat puluh tiga milyar empat ratus juta sembilan ratus empat puluh enam ribu dua ratus dua puluh enam rupiah), dengan ketentuan jika terdakwa jika tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu satu bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

 

Jaksa menilai tidak ada hal yang meringankan dalam perbuatan Heru. "Hal yang meringankan, meski dalam persidangan ada hal-hal yang meringankan dalam diri terdakwa, tapi tidak sebanding dengan kerugian negara yang ditimbulkan dalam perbuatan terdakwa sehingga hal-hal tersebut patut dikesampingkan," katanya.

 

Artikel ini merupakan kerja sama antara Hukumonline dengan NKHP Law Firm.

Tags:

Berita Terkait