Teori Hukum Progresif dalam Pemberian Wewenang SP3 oleh KPK
Kolom

Teori Hukum Progresif dalam Pemberian Wewenang SP3 oleh KPK

Hukum progresif menuntut keberanian aparat penegak hukum dan memiliki cita untuk menjauhkan dari praktik ketimpangan hukum yang tidak terkendali dan memberikan kesetaraan di depan hukum.

Bacaan 5 Menit
Dery Fenadian. Foto: Istimewa
Dery Fenadian. Foto: Istimewa

Di Indonesia, muncul yang dinamakan hukum progresif muncul sekitar tahun 2002 dengan penggagasnya Satjipto Rahardjo. Hukum progresif lahir karena selama ini ajaran ilmu hukum positif (analytical jurisprudence) yang dipraktikkan pada realitas empirik di Indonesia tidak memuaskan. Gagasan hukum progresif muncul karena prihatin terhadap kualitas penegakan hukum di Indonesia terutama sejak terjadinya reformasi pada pertengahan tahun 1997.

Jika fungsi hukum dimaksudkan untuk turut serta memecahkan persoalan kemasyarakatan secara ideal, maka yang dialami dan terjadi Indonesia sekarang ini adalah sangat bertolak belakang dengan cita-cita ideal tersebut (Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan). Untuk mendapatkan tujuan hukum yang maksimal menurut Satjipto Rahardjo dibangun dengan istilah hukum progresif yaitu yang digantungkan kepada kemampuan manusia dalam menalar serta memahami dan nurani manusia untuk membuat interprestasi hukum yang mengutamakan nilai moral keadilan pada masyarakat.

Di samping itu ide lainnya adalah hukum harus pro rakyat, pro keadilan, bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan, berdasarkan kepada kehidupan yang baik, bersifat responsif, mendukung pembentukan negara hukum yang berhati nurani, dijalankan dengan kecerdasan spritual serta bersifat membebaskan. Menurut Satjipto Rahardjo, hukum progresif, yaitu yang digantungkan kepada kemampuan manusia dalam menalar serta memahami dan nurani manusia untuk membuat interprestasi hukum yang mengutamakan nilai moral keadilan pada masyarakat.

Baca juga:

Bahwa ketidakwenangan KPK untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau yang biasa dikenal dengan SP3 tentunya tidak mengutamakan nilai moral keadilan pada masyarakat serta menimbulkan pandangan yang pro dan kontra. Pihak pro terhadap ketentuan Pasal 40 ini berpendapat bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), oleh karena merupakan kejahatan yang luar biasa maka cara penangananya juga harus menggunakan cara-cara yang luar biasa pula. Di antara cara luar biasa yang diberikan oleh undang-undang selama ini kepada KPK salah satunya KPK tidak didapat mengeluarkan SP3.

Hal ini bertujuan untuk lebih memaksimalkan proses penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh KPK. Sebab apabila KPK juga diberikan kewenangan untuk mengeluarkan SP3, maka KPK tidak akan berbeda dengan Kepolisian dan Kejaksaan yang mana seringkali dalam penanganan kasusnya terjadi permainan antara aparatur dengan pihak yang terkait dalam proses penghentian penyidikan itu sendiri.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/016/019/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa dengan tidak dimilikinya kewenangan SP3 oleh KPK bersifat diskriminatif, melanggar HAM, serta mengangkangi UUD:

  1. Diskriminatif adalah dengan tidak dimilikinya wewenang pemberian SP3 itu oleh KPK, maka timbulah diskriminasi hukum terhadap warga negara. Sedangkan dalam Pasal dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28 I ayat (2), secara tegas menyatakan UUD 1945 tidak boleh mendiskiriminasi warga negara.
  2. Melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu jika ditinjau dari sudut pandang hak-hak yang dimiliki oleh seorang tersangka pada tindak pidana korupsi, ketentuan dalam Pasal 40 dinilai melanggar hak asasi tersangka yang juga merupakan warga negara. Dengan tidak dimilikinya kewenangan SP3 oleh KPK maka terhadap warga negara yang ditetapkan sebagai tersangka dimungkinkan untuk tidak dapat dipulihkan kehormatan dan martabatnya.
  3. Mengangkangi UUD yang dimaksud semua peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar bukankah telah mengangkangi atau melecehkan Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945.

Berdasarkan permasalah-permasalahan yang telah dijelaskan di atas maka dirumuskanlah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, kemudian dalam Revisi Undang-Undang a quo memberikan kewenangan SP3 terhadap KPK untuk menghentikan penyidikan dalam Pasal 40 ayat (1) yang menjelaskan: “Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.”

Berikut latar belakang dan pertimbangan diberikannya kewenangan untuk menerbitkan SP3 oleh pembentuk undang-undang terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan Naskah Akademik RUU KPK:

  1. Kepastian Hukum

Bahwa dengan tidak adanya pasal yang mengatur tentang SP3 di KPK, seseorang dapat menyandang status sebagai tersangka selama bertahun-tahun, bahkan selama bertahun-tahun juga orang tersebut dapat dihitung baru beberapa kali diperiksa sebagai tersangka. Hal ini mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum bagi orang tersebut, padahal berdasarkan Pasal 5 huruf a Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berasaskan pada Kepastian Hukum.

  1. Asas Presumption of innocence (praduga tidak bersalah)

Bahwa dengan tidak adanya kewenangan SP3 di KPK, melanggar asas presumption of innocence (praduga tidak bersalah) karena tidak adanya mekanisme penghentian penyidikan, sehingga secara tidak langsung penyidikan akan berlanjut pada penuntutan walaupun tidak diketahui sampai kapan batas waktunya seseorang menjadi tersangka. Seperti kasus, Hadi Poernomo, Jero Wacik, dan Lain-lain.

Kemudian secara filosofis latar belakang dirumuskannya kewenangan SP3 kepada KPK, yakni berangkat dari tujuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil makmur dan sejahtera. Secara sosiologis Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan kehidupan ketatanegaraan, perkembangan hukum, dan kebutuhan masyarakat sehingga undang-undang tersebut perlu diubah. Hal ini adalah upaya memberikan memberikan kesetaraan kewenangan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Secara yuridis ketentuan Pasal 40 mengenai tidak dimilikinya kewenangan SP3 oleh KPK sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 sudah tidak sesuai lagi dengan kehidupan ketatanegaraan, perkembangan hukum, dan kebutuhan masyarakat.

Berdasarkan penjelasan tersebut Penulis berpendapat teori hukum progresif memiliki cita-cita untuk menjauhkan dari praktik ketimpangan hukum yang tidak terkendali dan memberikan kesetaraan di depan hukum serta memberikan keadilan dan kebahagiaan kepada masyarakat dan hal ini sejalan dengan adanya perubahan dalam UU KPK dalam pemberian kewenangan SP3. Intinya, pemberian kewenangan SP3 kepada KPK merupakan upaya untuk menggagas hukum progresif.

Di mana menurut Satjipto Rahardjo kriteria hukum progresif yaitu sebagai berikut:

  • Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia; Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat;
  • Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan, meliputi dimensi yang amat luas yang tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan juga pada teori;
  • Bersifat kritis dan fungsional, oleh karena itu ia tidak henti-hentinya melihat kekurangan yang ada dan menemukan jalan untuk memperbaikinya.

Dengan demikian diberikannya kewenangan SP3 kepada KPK untuk menegakkan prinsip peradilan yang cepat, tepat dan biaya ringan, dan untuk menegakannya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. Jika penyidik berkesimpulan bahwa berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan tidak memiliki cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka di muka persidangan, untuk apa memperlama atau mengundur waktu dalam menangani dan memeriksa tersangka.

Lebih baik penyidik secara resmi memutuskan untuk melakukan penghentian pemeriksaan penyidikan lalu proses penyidikan dihentikan demi hukum, agar segera tercipta kepastian hukum baik bagi penyidik sendiri, dan terutama kepada tersangka dan masyarakat. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa teori hukum progresif dapat memecahkan kebuntuan yang ada. Hukum progresif menuntut keberanian aparat penegak hukum dan memiliki cita untuk menjauhkan dari praktik ketimpangan hukum yang tidak terkendali dan memberikan kesetaraan di depan hukum serta memberikan keadilan dan kebahagian kepada masyarakat. Hal ini sejalan dengan adanya perubahan dalam UU KPK dalam hal pemberiian kewenangan penghentian penyidikan di mana ketentuan tidak dapatnya KPK mengeluarkan SP3 sudah tidak sesuai lagi dengan kehidupan ketatanegaraan, perkembangan hukum, dan kebutuhan masyarakat

*)Dery Fenadian, S.H., Paralegal LBH Kendari.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait