Hakim Agung I Gusti Sumanatha menegaskan bahwa nominee (pihak yang tercatat secara hukum/legal owner) diakui sebagai pemegang hak milik tanah yang sah secara hukum. Oleh karena itu perolehan hak milik atas tanah dari nominee diakui sah atas nama hukum. Pembeli tanah dari pihak nominee tidak dapat digugat demi kepastian hukum.
“Mahkamah Agung tidak mengakui perjanjian pinjam nama (nominee) dalam kepemilikan tanah. Perjanjian nominee ini adalah penyelundupan hukum yang harus dicegah,” kata Sumanatha dalam diskusi publik yang diselenggarakan Hukumonline, Selasa (18/2).
Sikap Mahkamah Agung ini dilandasi pada politik hukum Indonesia yang masih membatasi kepemilikan hak milik atas tanah oleh Warga Negara Asing (WNA). “Perjanjian ini melahirkan dua konsep kepemilikan, nominee selaku legal owner dan beneficiary. Kami hanya mengakui legal owner,” kata Sumanatha.
Sumanatha menjelaskan bahwa nominee berhak mengalihkan, menjual, membebani, menjaminkan, serta melakukan tindakan apapun atas benda yang bersangkutan atas nama hukum. Sikap Mahkamah Agung soal ini telah dipertegas dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.7 Tahun 2012 yang menyebut soal pembeli beriktikad baik.
Berdasarkan SEMA mengenai rumusan hasil rapat pleno kamar Mahkamah Agung ini, perlindungan harus diberikan kepada pembeli yang beriktikad baik sekalipun kemudian diketahui bahwa penjual adalah orang yang tidak berhak (atas objek jual beli tanah). Pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada penjual yang tidak berhak.
Baca juga:
- 3 Hal yang Harus Diperhatikan Notaris Terkait PP Hunian Orang Asing
- Siapa yang Berpeluang Paling Untung dari Perjanjian Nominee?
Kriteria tentang siapa yang termasuk pembeli beriktikad baik itu dijelaskan lebih lanjut dalam SEMA No. 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Pengadilan.