Televisi Pendidikan Indonesia Tak Jadi Pailit
Utama

Televisi Pendidikan Indonesia Tak Jadi Pailit

Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi TPI. Majelis Kasasi berpendapat perkara TPI melawan Crown Capital Global Limited tidak sederhana sehingga tidak tepat diajukan ke Pengadilan Niaga sebagai perkara kepailitan.

Ali
Bacaan 2 Menit
Majelis kasasi beranggapan perkara kepailitan TPI tak bisa <br> dibuktikan secara sederhana. Foto: Sgp
Majelis kasasi beranggapan perkara kepailitan TPI tak bisa <br> dibuktikan secara sederhana. Foto: Sgp

Senyum jurnalis Televisi Pendidikan Indonesia yang sedang meliput konferensi pers di ruang Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali, terlihat mengembang. Maklum saja, Majelis Kasasi baru saja mengabulkan permohonan kasasi PT Cipta Televisi Indonesia. Akibat putusan ini, vonis Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyatakan televisi ber-genre dangdut itu pailit, menjadi batal.

 

Majelis Kasasi yang memenangkan TPI ini terdiri dari Abdul Kadir Mappong sebagai ketua majelis serta Hatta Ali dan Zaharuddin Utama sebagai anggota majelis. “Putusan diambil secara bulat, hari ini,” ujar Hatta Ali, Selasa (15/12). Ia mengatakan Pengadilan Niaga telah salah dalam memailitkan televisi tersebut.

 

Hatta mengatakan majelis berpendapat perkara TPI melawan Crown Capital Global Limited itu tidak memenuhi syarat untuk menjadi perkara kepailitan sebagaimana disebutkan dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UU Kepailitan). “Perkaranya rumit, ruwet, dan memerlukan ketelitian,” ujarnya. Ia mencontohkan laporan keuangan tahunan perusahan TPI yang terlihat rumit.

 

Padahal, lanjut Hatta, syarat perkara kepailitan adalah perkara tersebut harus bersifat sederhana. Majelis menunjuk Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan. Ketentuan itu berbunyi 'Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi'. “Perkara yang sederhana itu adalah syarat utamanya,” ujar Hatta.

 

Sekedar mengingatkan, perkara ini bermula dari Crown Capital Global Limited selaku kreditor TPI memiliki obligasi senilai AS$53 juta. Obligasi itu diterbitkan pada 24 Desember 1996 dan jatuh tempo pada 24 Desember 2006. Namun ketika obligasi ini jatuh tempo, TPI tak jua melunasinya.

 

Di Pengadilan Niaga, majelis hakim justru menilai permohonan pailit Crown Capital memenuhi syarat pembuktian sederhana sebagaimana ditentukan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan. Sebab terbukti bahwa Crown Capital memiliki utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih. TPI juga memiliki kreditor lain. Dengan demikian syarat pailit berdasarkan Pasal 2 ayat (1) juga terpenuhi. Namun, argumen majelis hakim pengadilan niaga ini akhirnya dianulir melalui putusan kasasi.

 

Kuasa Hukum Crown Capital, Ibrahim Senen mengatakan masih akan mempelajari putusan kasasi ini untuk menentukan langkah hukum selanjutnya. Ia menjelaskan semua saluran hukum masih terbuka untuk Crown Capital. Pertama, mengajukan peninjauan kembali untuk perkara kepailitan ini. Kedua, mengajukan gugatan perdata. “Ketiga, bisa juga kita bawa ke jalur pidana,” tuturnya.

 

Ibrahim menilai majelis kasasi membuat penafsiran 'perkara yang sederhana' menjadi absurd. Ia mengatakan penafsiran sederhana itu harus mengacu pada Pasal 2 ayat (1). Yakni, adanya debitur yang mempunyai dua kreditor atau lebih dan adanya utang yang tidak dilunasi. “Semua unsur itu sudah terpenuhi,” ujarnya dari gagang telepon, Selasa (15/12).

 

Kuasa Hukum TPI Marx Andryan menyambut baik putusan. “Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan. Karena hanya Dia yang bisa mengubah putusan ini,” ujarnya. Ia juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada MA yang telah memutus perkara ini menggunakan hati nurani dan sesuai dengan fakta-fakta hukum. “Sejak awal saya juga sudah katakan bahwa perkara ini tidak sederhana,” katanya.

 

Sebelumnya, Direksi TPI telah melaporkan tiga hakim Pengadilan Niaga yang mempailitkan TPI ke Komisi Yudisial. Marx tak mau berkomentar apakah laporan ini akan dicabut atau tidak pasca putusan kasasi ini. “Yang melaporkan itu direksi. Bukan kami,” ujarnya kepada hukumonline.

 

Tags:

Berita Terkait