Telan Puluhan Ribu Korban, Masih Ingat Kasus Penipuan Berkedok Umrah First Travel?
Terbaru

Telan Puluhan Ribu Korban, Masih Ingat Kasus Penipuan Berkedok Umrah First Travel?

Kasus ini memakan korban penipuan mencapai 63.310 calon jemaah umrah dan kerugian hingga Rp 905 miliar ini terjadi di tahun 2017 silam. Ada pelajaran penting dari kasus First Travel ini yakni agar masyarakat tidak cepat tergiur dengan penawaran-penawaran angka yang tidak masuk akal.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit

“Saya kira upaya hukum pidana dalam kasus ini sudah tepat. Yang jelas tidak memberi kesempatan para pelaku ini melarikan diri, ini penting. Karena kalau misal kasus ini ditempuh jalur perdata saja, potensi melarikan diri sangat tinggi. Maka sudah tepat proses pidana ini berjalan dan para tersangka telah dipidana menjadi terpidana. Asetnya inilah yang bisa diambil dengan berbagai cara, tapi masing-masing cara mempunyai konsekuensi yang berpengaruh pada kemudahan proses eksekusi.”

Selengkapnua, dalam Pasal 194 ayat (1) KUHP telah menentukan mengenai status barang yang disita dalam perkara pidana. Ada tiga kemungkinan barang sitaan, antara lain dikembalikan kepada yang berhak, dirampas untuk kepentingan negara, dan dimusnahkan atau dirusak hingga tidak dapat digunakan lagi.

Setelah sebelumnya Pengadilan Negeri Depok memutus aset First Travel dirampas oleh negara sebagaimana Pasal 39 jo Pasal 46 jo Pasal 194 KUHP, tapi akhirnya rasa keadilan sudah dapat dirasakan para korban melalui terbitnya Putusan No. 365 PK/Pid.Sus/2022. Melalui putusan PK tersebut mengubah kewenangan hak aset First Travel yang awalnya dirampas negara, menjadi dikembalikan ke para korban. Meskipun faktanya dalam praktik pengembalian hak korban jemaah umrah belum sepenuhnya terpenuhi.

“Kasus seperti ini sebetulnya sederhana hanya saja karena jumlahnya itu banyak inilah yang membuatnya rumit. Paling sederhana melalui jalur pidana ini, karena dengan aset yang sudah disita, kemudian Putusan MA menyatakan untuk pengembalian hak jemaah segera harus dilakukan pendataan, lalu divalidasi. Kemudian dihitung, dari aset yang ada dipresentasikan. Nanti akan ketemu angkanya, dibagi dari aset yang ada meskipun akan sangat kecil, tapi itulah keadilan,” terangnya.

Bagi Taufiq ada pelajaran penting dari kasus First Travel ini yakni agar masyarakat tidak cepat tergiur dengan penawaran-penawaran angka yang tidak masuk akal. “Segala sesuatu itu ada nilainya dan ada harganya. Kalau mustahil (harganya tidak pada umumnya), mendingan ikut yang harga standar sudah pasti, daripada iming-iming murah malah ketipu. Tolong kita mulai sadar dan kritis,” saran dia.

Taufiq juga berpesan kepada mahasiswa hukum untuk terus mengamati perkembangan kasus-kasus hukum termasuk mengkaji kasus-kasus lampau. Khususnya untuk mendalami ilmu hukum pidana. Sebab, menurutnya, modus-modus kejahatan termasuk penipuan seperti yang terjadi dalam kasus First Travel ini secara garis besar biasanya sama. 

“Sampai saat ini yang namanya kasus penipuan itu (vonisnya, red) 4 tahun maksimal, kecuali kalau ditemukan money laundry itu bisa kayak Andika First Travel divonis 20 tahun penjara. Ini penting bagi adik-adik mahasiswa belajar perkara-perkara seperti ini. Di Hukumonline, UMS berlangganan, bisa mengakses itu. Semua bisa dipelajari karena modusnya hampir sama. Ketika sudah mengetahui modus seperti itu, kita akan lebih berhati-hati. Karena guru paling bijak itu pengalaman (kasus dalam praktik, red), bukan dari teori-teori yang kita baca,” pesannya.

Tags:

Berita Terkait