Tebalnya Berkas Pembelaan Justru Buat Hakim Kebingungan
Utama

Tebalnya Berkas Pembelaan Justru Buat Hakim Kebingungan

Begitu tebalnya pembelaan justru malah membuat hakim kewalahan untuk menemukan inti dari pembelaan yang disampaikan.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Diskusi publik dengan tema Mengkaji Putusan Hakim, di Jakarta, Selasa (14/5). Foto: RES
Diskusi publik dengan tema Mengkaji Putusan Hakim, di Jakarta, Selasa (14/5). Foto: RES

Kebanyakan Jaksa maupun Pengacara mungkin berpikir semakin tebal berkas pembelaan yang mereka hadirkan di persidangan, maka semakin berkualitas pula pembelaan mereka di mata hakim. Fakta di lapangan berdasarkan pengamatan Hakim Agung, Surya Djaya, begitu tebalnya pembelaan justru malah membuat hakim kewalahan untuk menemukan inti dari pembelaan yang disampaikan. Terlebih, hakim di Indonesia jelas tak memiliki cukup waktu untuk memeriksa berkas secara terperinci atas suatu kasus.

 

Betapa tidak? Jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan tak sebanding dengan jumlah hakim yang tersedia. Ia bahkan menyebut seorang hakim dalam rentang waktu yang sama, rata-rata bisa memegang hingga di atas seratus perkara. Belum lagi banyaknya undang-undang yang menimbulkan multi interpretasi, termasuk terlalu banyaknya ‘ruang kosong’ di dalam undang-undang yang jelas semakin menambah beban kerja hakim.

 

Ruang kosong yang dimaksud Surya berkaitan erat dengan perkembangan sosial kemasyarakatan yang begitu cepat, namun tidak mampu ditangkap secara cepat oleh produk undang-undang.

 

Akibatnya, undang-undang tertatih-tatih mengikuti perkembangan hingga akhirnya putusan pengadilanlah yang dituntut harus mampu melahirkan kaidah hukum baru untuk memecahkan persoalan tersebut. Tentunya, dengan segala keterbatasan waktu dan tenaga yang dimiliki para hakim.

 

“Jadi jangan terlalu berharap dulu soal kualitas putusan,” kata Surya dalam diskusi publik bertajuk Mengkaji Putusan Hakim yang digelar oleh Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Selasa (14/5).

 

Ia mencontohkan satu perkara tinggi berkasnya bisa mencapai satu meter atau memakan tiga rim kertas, sementara perkara yang harus ditangani bisa lebih dari seratus. Dari contoh itu bisa disimpulkan betapa ‘kewalahannya’ seorang hakim dalam memahami inti persoalan ataupun pembelaan yang diajukan oleh pengacara ataupun Jaksa. Jadi tak heran jika ada saja pembelaan yang bagus dan sangat menentukan kemenangan kasus di persidangan, namun terlewatkan oleh hakim.

 

(Baca Juga: Eksekusi Arbitrase Terkendala, Usulan Ini Mungkin Bisa Menjadi Solusinya)

 

Berbeda sekali dengan tipisnya berkas perkara yang diajukan para jaksa ataupun pengacara di banyak Negara lainnya. Berkasnya tipis, tidak berputar-putar dan langsung masuk ke inti pembelaan sehingga hakim tak membutuhkan waktu yang begitu banyak untuk memahami maksud pembelaan tersebut, serta memiliki waktu yang cukup untuk melakukan analisis persoalan dengan lebih mendalam.

 

Hasilnya, hanya dalam hitungan minggu suatu perkara sudah selesai diputus dengan kualitas yang memuaskan. Di situlah asas peradilan yang cepat dan sederhana betul-betul terefleksi dalam setiap putusan yang dikeluarkan. Berbanding terbalik dengan pengadilan di Indonesia, Ia menyebut untuk sampai pada putusan inkracht (berkekuatan hukum tetap), dibutuhkan waktu rata-rata satu tahun.

 

Melihat fenomena tersebut, kredibilitas hakim dalam menjatuhkan putusan jelas dipertaruhkan. Kritik atas putusan pengadilan yang dianggap memakan waktu begitu lama dengan analisis yang dianggap tidak berkualitas akhirnya tak bisa dihindari oleh kebanyakan hakim.

 

Padahal, Ia menyebut putusan itu adalah mahkotanya seorang hakim. Goals agar suatu putusan dapat berfungsi sebagai putusan yang baik, layak difungsikan sebagai naskah akademik, lolos secara teori, asas, norma, keadilan dan fakta juga semakin terjauhkan dari jangkauan para hakim.

 

Buruknya kualitas suatu putusan, tentu akan berdampak pada banyak aspek. Salah satunya terhadap kualitas advice (nasehat hukum) yang diberikan advokat kepada klien. Advokat pada firma hukum Assegaf Hamzah & Partners, Chandra Hamzah, mengungkapkan begitu banyak aturan hukum yang berlaku, namun tidak sesuai dengan implementasi di lapangan (Implemented Law). Misalnya, aturan bicara A, B, C, namun trend penerapan norma hukum tersebut oleh hakim ditafsirkan berbeda.

 

Di situ jelas terdapat jarak antara norma yang berlaku dengan implemented law. Kepastian hukum pun dipertanyakan dalam hal ini termasuk dalam setiap advice yang diberikan advokat. Dalam konteks itu, jelas advokat akan lebih mementingkan implemented law ketimbang norma yang berlaku. Sehingga, bila implemented law berupa tafsir para hakim buruk maka advice advokat lantaran mengikuti penerapan norma hukum oleh majelis hakim akan turut menjadi buruk.

 

“Jelas buat advokat yang paling penting adalah implemented law. Sehingga semakin jelek putusan pengadilan, semakin jelek juga advice yang biasanya diberikan para advokat,” katanya.

 

Tags:

Berita Terkait