Tatib DPR dan MPR Harus Antisipasi Masalah Impeachment
Berita

Tatib DPR dan MPR Harus Antisipasi Masalah Impeachment

Mahkamah Konstitusi secara resmi menyarankan agar DPR, DPD dan MPR untuk memasukkan masalah impeachment Presiden dan atau Wakil Presiden ke dalam tatib.

Mys
Bacaan 2 Menit
Tatib DPR dan MPR Harus Antisipasi Masalah <i>Impeachment<i/>
Hukumonline

 

Berdasarkan pasal 1 ayat (3) huruf c Undang-Undang No. 24 Tahun 2003, MK-lah yang bertugas menilai pendapat DPR tentang impeachment presiden dan atau wakil presiden. Konstitusi memang membenarkan pemberhentian atau impeachment Presiden sebelum masa jabatannya habis. MPR dapat memberhentikan presiden atas usul DPR jika yang bersangkutan terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Bisa juga karena terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden (pasal 7A UUD 1945).

 

Masalahnya, mekanisme pengambilan keputusan atas impeachment itu belum dirinci. Hal lain yang kurang jelas pengaturannya selama ini adalah tugas dan wewenang DPR sehubungan dengan kewenangan MK melakukan judicial review  undang-undang.

 

Selain mekanisme pengambilan keputusan, masih ada problem yuridis lain yang harus diperjelas dalam impeachment presiden dan atau wakil presiden. Jimly menyebut antara lain batasan perbuatan tercela, tindakan kepolisian apabila presiden melakukan korupsi, soal pemberian kuasa kepada jaksa agung. Jika presiden diduga melakukan korupsi, ia tidak mungkin memberikan kuasa kepada jaksa agung karena jaksa agung adalah bawahannya (kabinet).

 

Pengaturan masalah impeachment penting dalam tatib DPR, MPR dan DPD dilakukan agar kelak tidak menimbulkan persoalan hukum ketatanegaraan. Yang pasti, kata Jimly, ketentuan pasal 7A UUD 1945 dapat dijabarkan lebih operasional. Mahkamah Konstitusi sendiri pun saat ini sedang merancang sebuah peraturan (PMK) yang akan mengatur tata cara persidangan kasus impeachment.

 

Kalaupun belum ada aturannya dalam tatib bukan berarti tidak ada payung hukum yang bisa dipakai. Jimly menyebut Undang-Undang Hak Angket bisa dipergunakan DPR bila hendak menyelidiki dugaan pelanggaran presiden atas syarat-syarat yang disebut pasal 7A UUD 1945. Kelemahannya, hak angket tidak berada di koridor justisia, tetapi lebih pada fungsi pengawasan. Di satu sisi impeachment adalah masalah pidana, di sisi lain DPR bukan lembaga penegak hukum.

Saran tersebut telah disampaikan Mahkamah Konstitusi (MK) kepada DPR, DPD dan MPR secara tertulis jauh-jauh hari sebelum masa penyusunan tata tertib di ketiga lembaga negara tersebut, yaitu lewat surat ke Ketua DPR (No.94/MK.KA/VI/2004) dan ke Ketua MPR (No. 95/MK.KA/VI/2004).

 

Dalam perbincangan dengan hukumonline, Kompas, Media Indonesia dan Sinar Harapan di Jakarta Kamis (30/9) lalu, Ketua MK Profesor Jimly Asshiddiqie mengatakan pentingnya saran tersebut disampaikan karena terkait dengan tugas dan kewenangan MK.

Halaman Selanjutnya:
Tags: