Tata Niaga Sapi, Corruption by Design
Utama

Tata Niaga Sapi, Corruption by Design

Jika tak ditangani segera, konflik sosial makin meluas.

LEO WISNU SUSAPTO
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas. Foto: Sgp
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas. Foto: Sgp

Kelangkaan daging sapi dan suap impor daging sapi menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah jenis corruption by design. Hal ini berdampak masyarakat produsen yaitu peternak dan konsumen dikendalikan oleh mafia agar kondisi seperti ini mendatangkan margin besar bagi sekelompok orang.

“Itu temuan Direktorat Litbang KPK,” tutur Wakil Ketua KPK Busyro Muqqodas, kala memaparkan ‘Kajian Kebijakan Tata Niaga Komoditas Strategis Daging Sapi’ di KPK, Rabu (20/2).

Menurut temuan itu, ada pihak-pihak yang mempermainkan tata niaga daging sapi dengan menciptakan kondisi pasokan daging di sejumlah daerah berkurang. Tujuannya hanya mendongkrak harga jual daging agar ada keuntungan berlebih yang dikantongi sekelompok orang tersebut.

Busyro menguraikan, penelitian Direktorat Litbang KPK dimulai sejak 2011 dengan tahap prariset. Penelitian baru dimulai periode Februari sampai September 2012 di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Lampung.

Penelitian dilatarbelakangi bahwa Rencana Pembangungan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014, daging sapi merupakan satu dari lima komoditas strategis. Lalu, pada 2014 pemerintah mencanangkan swasembada daging sejak ditetapkan pada 2000 dengan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK). Anggaran yang dialokasikan dari APBN 2009-2014 mencapai Rp18,7 triliun.

Kala agenda program swasembada berjalan, KPK menerima pengaduan masyarakat pada periode 2005-2012. Pengaduan tersebut telah diklasifikasikan pada enam modus/area yang dinilai rawan korupsi. berupa penggelapan impor sapi/daging sapi. Lalu, impor sapi/daging sapi fiktif, penyalahgunaan prosedur importasi daging sapi. Kemudian penyalahgunaan dana bansos ternak sapi, dan terakhir suap dalam proses impor.

“Penelitian ini dilakukan KPK karena diamanatkan Pasal 14 UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK,” ujar Busyro.

Berdasarkan penelitian KPK, tata niaga daging sapi terjadi fenomena bottlenecking karena beberapa hal seperti distribusi, kebijakan tata niaga tidak mengarah pada pengembangan industri daging sapi di sentra produksi, dan ada kelemahan dalam kebijakan dan tata laksana impor akibat dominannya praktik pemburu rente dan kartel.

Dari sisi distribusi, KPK menemukan tak ada lagi kebijakan untuk menciptakan sarana distribusi guna memenuhi kebutuhan dalam negeri. Populasi sapi potong per wilayah berdasarkan data 2011 mencapai 93 persen kebutuhan dalam negeri. Namun, yang selalu didengar publik adalah pemerintah selalu mengandalkan impor untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri. Karena ketentuan impor Pasal 34 UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, asalkan produksi dalam negeri tidak mencukupi.

Kebijakan itu didorong pula rekomendasi Dewan Daging Sapi Nasional. Padahal, lanjut Busyro, dewan ini bukan termasuk lembaga negara, tapi rekomendasi selalu didengar pemerintah.

Fenomena bottlenecking juga membuat peternak yang jumlahnya mencapai 6,2 juta tak sejahtera dari penghasilan. Karena sapi yang menjadi mata pencaharian mereka tak terserap dan berpotensi memunculkan konflik karena kemiskinan sudah di depan mereka. “Peternak yang ditemui KPK menyatakan apatis pada pemerintah, ini harus dihentikan,” sebut Busyro.

Apalagi, pemerintah tak lagi membangun sarana bagi peternak sapi menjual ternak mereka. Keadaan ini berbeda dengan sebelum 1990, pasokan sapi dari wilayah timur Indonesia ke Jabodetabek melalui jalur laut dan sapi impor masuk ke Pelabuhan Cilacap. Periode 1990-2000 jalur distribusi sapi dari timur Indonesia ke Jabodetabek menggunakan truk dan kereta dari Surabaya. Sapi impor masuk dari Pelabuhan Cilacap. Sedangkan periode 2000-2012, pengiriman sapi bergeser ke Kalimantan dan sapi dan daging impor masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok yang tak ada sarana karantina.

KPK menilai, karena problem distribusi ini, muncul kartel yang mengusai komoditi daging sapi. Kartel ini melibatkan pengusaha, politisi, dan birokrasi. Modus mereka melalui pelbagai cara mulai dari kebijakan sampai teknis.

Seperti, tatkala pasokan berkurang, kebijakan impor daging dibuka. Ketika kebijakan impor diketatkan, malah muncul pemburu rente. Sedangkan dari sisi peternak, kebijakan semacam itu membuat daya saing peternak lokal makin rendah.

KPK juga menilai, tata niaga sapi tidak diarahkan untuk mengembangkan industri daging sapi di sentra produksi. Peternak dihadapkan pada satu pilihan yaitu menjual ternak mereka ke penadah, padahal harga sapi akan melonjak jika di sentra peternakan sapi dibuat industri pengolahan untuk kemudian dikirim ke daerah tujuan pasar seperti Jabodetabek.

Perwakilan Bappenas dalam acara itu Nugroho Ananto, mengutarakan program swasembada daging sapi memang lemah. Karena, meski sudah dimasukkan dalam RPJM namun tidak diterjemahkan program aksi kementerian teknis maupun setingkat kementerian koordinator. “Ini problem yang menyebabkan kartel daging sapi muncul,” tukasnya.

Tags: