Tarik Ulur Nasib RUU Perampasan Aset
Terbaru

Tarik Ulur Nasib RUU Perampasan Aset

Naskah akademik dan draf RUU masih berada di pemerintah dan belum disodorkan ke DPR.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Presiden Joko Widodo. Foto: Setkab
Presiden Joko Widodo. Foto: Setkab

Nasib Rancangan Undang-Undang (RU) tentang Perampasan Aset Tindak Pidana belakangan menjadi perbincangan seiring dengan munculnya dugaan transaksi janggal di Direktorat Jenderap Pajak (DJP) Kementerian Keuangan sebesar Rp349 triliun. Lambannya proses RUU Perampasan Aset Tindak Pidana menjadikan berbagai upaya pengembalian aset hasil tindak pidana menjadi tidak optimal.

Presiden Joko Widodo mendorong DPR segera menyelesaikan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana untuk memudahkan proses penanganan tindak pidana korupsi. Memang, RUU tersebut menjadi usul insiatif pemerintah. Karenanya, RUU Perampasan Aset masih berproses di internal pemerintah.

“Terus kita dorong agar segera diselesaikan oleh DPR,” ujar Presiden Jokowi sebagaimana dikutip dari laman Antara, Rabu (5/4/2023).

Presiden menjelaskan bahwa pembahasan RUU Perampasan Aset masih berjalan di DPR. Dia berharap melalui UU Perampasan Aset Tindak Pidana nantinya dapat memudahkan aparat penegak hukum dalam melakukan penindakan dalam kasus korupsi. Selain itu, pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi UU nantinya dapat menjadi payung hukum yang jelas dalam merampas aset pelaku korupsi pasca putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.

“Saya harapkan dengan UU Perampasan Aset itu akan memudahkan proses utamanya dalam tindak pidana korupsi untuk menyelesaikan setelah terbukti karena payung hukumnya jelas,” ujar mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Baca juga:

Terpisah, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Arsul Sani mengatakan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sedianya sudah disepakati antara pemerintah dan DPR melalui rapat Badan Legislasi (Baleg). Yakni dengan memasukan RUU Perampasan Aset  dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2023 dengan nomor urut 33.

Menurutnya dengan menjadi usul inisiatif pemerintah, maka naskah akademik maupun draf RUU menjadi kewenangan pemerintah menyusunnya. Masalahnya, pemerintah belum pula menyodorkan naskah akademik maupun draf RUU. Makanya Arsul menjadi heran dengan cibiran publik seolah-olah DPR ogah membahas RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.

Lha wong naskah akademik aja posisinya gak jelas, terus DPR dibilang gak mau bahas, iki opo. Jangan ada dusta di antara kita,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung Parlemen.

Anggota Komisi III DPR itu menilai, dalam melihat kinerja DPR pun mesti proporsional. Sebab nyaris tak ada RUU yang diajukan pemerintah di periode 2019-2024 ditolak DPR untuk membahasnya. Sebab sekalipun RUU Cipta Kerja yang muatan materinya sedemikian banyak dan rumit dengan menarik puluhan UU untuk direvisi, DPR pun mau membahasnya.

“Yang ada RUU yang diajukan DPR, pemerintah gak mau bahas. Contoh, RUU Larangan Minuman Beralkohol, RUU Pertembakauan, RUU Perkelapasawitan,” katanya.

Berdasarkan informasi yang dikantongi Arsul, ternyata usut punya usut rupanya  ada tiga kementerian yang belum memberikan paraf terhadap draf RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Menurutnya, masih terdapat persoalan di internal pemerintah terkait dengan persetujuan draf RUU.

Wong yang masalah di sebelah kita (DPR, red) yang ditunjuk-tunjuk,” katanya.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu memastikan, sepanjang terdapat Surat Presiden (Surpres) yang sampai di meja pimpinan DPR, maka dipastikan parlemen bakal membahasnya. Tapi itu tadi, ada perbedaan pendapat seolah-olah DPR ogah membahas RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Padahal naskah akademik dan draf RUU Perampasan Aset Tindak Pidana belum sampai di DPR.

“Tapi apa yang disampaikan presiden itu menjaddi sebuah keharusan. Paling tidak, kita ingin ke depan memperioritaskan pembahasan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana,” pungkasnya.

Sebelumnya, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sempat disinggung Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Moh Mahfud MD dalam rapat dengan Komisi III pekan lalu. Mahfud meminta agar Komisi III dapat memproses RUU Perampasan Aset Tindak Pidana agar memudahkan penanganan dugaan transaksi janggal senilai Rp349 triliun di Kemenkeu.

Menanggapi permintaan Mahfud, Ketua Komisi III Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul menjelaskan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana bisa disahkan setelah para ketua umum partai menyetujui. Ia menyebut, semua anggota DPR patuh pada 'bos' masing-masing. Karena itu, dia menyarankan pemerintah sebaiknya melobi ketua umum partai. Atas komentar Bambang Pacul itulah DPR mendapat cibiran seolah para anggota dewan bukanlah wakil rakyat, tapi wakil partai.

Tags:

Berita Terkait