Tarif Cukai Rokok Naik di 2021, Begini Pokok-pokok Kebijakannya
Berita

Tarif Cukai Rokok Naik di 2021, Begini Pokok-pokok Kebijakannya

Pemerintah menetapkan rata-rata tertimbang dari kenaikan tarif cukai per jenis rokok adalah sebesar 12,5%.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 6 Menit
Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Foto: RES
Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Foto: RES

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menetapkan kebijakan tarif cukai hasil tembakau tahun 2021. Dalam keterangan pers secara daring, Kamis (10/12), Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan Pemerintah menetapkan rata-rata tertimbang dari kenaikan tarif cukai per jenis rokok adalah sebesar 12,5%. Kebijakan ini akan berlaku pada 1 Februari 2021.

Saat ini, peraturan terkait Kebijakan Cukai Hasil Tembakau 2021 sedang dalam proses perundangan dan dalam waktu dekat akan segera diundangkan. Pemerintah akan memastikan proses transisi dari kebijakan CHT tahun 2020.

Ada beberapa pokok kebijakan cukai hasil tembakau tahun 2021 yaitu: (1) Hanya besaran tarif cukai hasil tembakau yang berubah, mengingat tahun 2021 merupakan tahun yang berat bagi hampir seluruh industri termasuk industri hasil tembakau; (2) Simplifikasi digambarkan dengan memperkecil celah tarif antara Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan II A dengan SKM golongan II B, serta Sigaret Putih Mesin (SPM) golongan II A dengan SPM golongan II B; serta, (3) besaran harga jual eceran di pasaran sesuai dengan kenaikan tarif masing-masing.

Pemerintah juga telah menetapkan untuk tidak menaikkan tarif cukai Sigaret Kretek Tangan (SKT), berdasarkan pertimbangan situasi pandemi dan serapan tenaga kerja oleh Industri Hasil Tembakau (IHT). Secara rinci, kenaikan tarif cukai SKM adalah 16,9% untuk golongan I, 13,8% untuk golongan II A, dan 15,4% untuk golongan II B. Sementara jenis SPM adalah 18,4% untuk golongan I, 16,5% untuk golongan II A, dan 18,1% untuk golongan II B. (Baca: Ini Tata Cara Permohonan Pembebasan Cukai dan Pajak Pengadaan Vaksin Covid-19)

Sri Mulyani menyebut bahwa kebijakan kenaikan cukai rokok ini dilakukan dengan mempertimbangkan lima aspek yakni kesehatan terkait prevalensi perokok, tenaga kerja di industri hasil tembakau, petani tembakau, peredaran rokok ilegal, dan penerimaan. Berangkat dari kelima instrumen tersebut, Pemerintah berupaya untuk dapat menciptakan kebijakan tarif cukai hasil tembakau yang inklusif. Kebijakan tersebut diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap masing-masing aspek pertimbangan.

Melalui aspek kesehatan, kenaikan tarif akan menaikkan harga jual yang akan berdampak pada pengendalian konsumsi rokok, penurunan prevalensi merokok yang secara umum diharapkan menurun dari 33,8% menjadi 33,2% di tahun 2021. Selain itu, diharapkan pula penurunan prevalensi merokok anak golongan usia 10 hingga 18 tahun yang ditargetkan turun menjadi 8,7% di tahun 2024 dari 9,1% di tahun 2020.

Dari aspek ketenagakerjaan, Pemerintah berupaya melindungi keberadaan industri padat karya dalam penyusunan kebijakan cukai hasil tembakau 2021. Format kebijakan di atas tetap mempertimbangkan jenis sigaret (terutama SKT) yang sangat berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja langsung sebesar 158.552 orang.

Dari aspek pertanian, besaran kenaikan tarif cukai memperhatikan tingkat serapan tembakau lokal. Oleh sebab itu, kenaikan tarif cukai sigaret kretek lebih rendah dari kenaikan tarif cukai sigaret putih, bahkan SKT tahun ini tidak mengalami kenaikan. Sehingga diharapkan, tingkat penyerapan tembakau lokal dapat terjaga mengingat terdapat lebih dari 526 ribu kepala keluarga yang menggantungkan hidupnya dari pertanian tembakau.

Dari aspek Industri terdapat bantalan kebijakan untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan mengalokasikan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) untuk membentuk Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) sebagai langkah preventif terhadap peredaran rokok ilegal.

Dari aspek peredaran rokok ilegal, agar kebijakan tidak menjadi insentif bagi peredaran rokok ilegal. Upaya pengawasan dan penindakan akan terus ditingkatkan baik yang bersifat preventif melalui sosialisasi dan pendirian Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT), dan represif melalui kegiatan Operasi Gempur Rokok Ilegal, Operasi Jaring, patroli laut, dan berbagai kegiatan penindakan yang sinergis dengan aparat penegak hukum dan pihak terkait lainnya.

“Dari aspek penerimaan, meskipun kebijakan tarif cukai hasil tembakau dititikberatkan pada pengendalian konsumsi, namun demikian, kebijakan cukai yang diambil mampu mendukung program pembangunan nasional melalui penerimaan negara. Target penerimaan cukai dalam APBN tahun 2021 sebesar Rp173,78 triliun,” kata Sri Mulyani.

Untuk memastikan tercapainya tujuan kebijakan cukai hasil tembakau di atas dan meredam dampak kebijakan yang tidak diinginkan, maka pemerintah membuat bantalan kebijakan dalam bentuk pengaturan ulang penggunaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT). Sebesar 50% akan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya petani/buruh tani tembakau dan buruh rokok.

Dari alokasi ini, sebesar 35% akan diberikan melalui dukungan program pembinaan lingkungan sosial yang terdiri dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada buruh tani tembakau dan buruh rokok, sebesar 5% untuk pelatihan profesi kepada buruh tani/buruh pabrik rokok termasuk bantuan modal usaha kepada buruh tani/buruh pabrik rokok yang akan beralih menjadi pengusaha UMKM, serta 10% untuk dukungan melalui program peningkatan kualitas bahan baku.

Sedangkan alokasi lainnya yaitu sebesar 25% adalah untuk mendukung program jaminan kesehatan nasional, dan 25% untuk mendukung penegakan hukum dalam bentuk program pembinaan industri, program sosialisasi ketentuan di bidang cukai, serta program pemberantasan Barang Kena Cukai ilegal.

Untuk mencegah kebijakan menjadi insentif bagi peredaran rokok ilegal, upaya pengawasan dan penindakan akan terus ditingkatkan, baik yang bersifat preventif maupun represif.  Hingga 30 November 2020, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebagai unit di bawah Kemenkeu, telah melakukan penindakan sebanyak 8.155 kali dengan rata-rata 25 tangkapan per hari.

Penindakan tersebut berhasil mengamankan 384,51 juta batang rokok ilegal atau senilai dengan Rp339,18 miliar. Meskipun dalam situasi pandemi, kegiatan pengawasan dan penindakan dibandingkan tahun sebelumnya meningkat 41,23% secara year on year (yoy).  Berdasarkan hasil survei rokok ilegal oleh Unit Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (P2EB UGM), tingkat peredaran rokok ilegal di tahun 2020 sebesar 4,86%.

Dengan pertimbangan kompleksitas, struktur industri, cakupan luasan pengawasan, dan keterbatasan pergerakan karena pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), maka hasil tersebut merupakan hasil yang sangat baik, terutama jika dibandingkan dengan tingkat peredaran rokok ilegal di negara-negara lain, khususnya di ASEAN.

Selanjutnya, Pemerintah akan terus mendorong ekspor hasil tembakau Indonesia karena memiliki daya saing tinggi. Data empat tahun terakhir menunjukkan bahwa ekspor SPM trennya meningkat. Ekspor SPM di tahun 2019 mencapai 81,4 miliar batang, yang melonjak dari 70,9 miliar batang di tahun 2016. Untuk mendukung ekspor hasil tembakau, Pemerintah telah memberikan fasilitas berupa penundaan pembayaran pita cukai untuk penjualan lokal bagi perusahaan yang dominan melakukan ekspor dari normalnya 60 hari menjadi 90 hari, fasilitas Kawasan Berikat (KB), dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE).

Pemerintah berkomitmen untuk tetap mengedepankan industri padat karya dan yang menggunakan konten lokal yang tinggi, antara lain tembakau lokal dan cengkeh. Pemerintah juga siap mendorong dan memfasilitasi industri hasil tembakau yang memiliki potensi untuk mendorong kegiatan ekspor, sesuai dengan agenda program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Melalui bauran kebijakan yang dikeluarkan bersamaan dengan kebijakan tarif cukai hasil tembakau, Pemerintah berharap industri hasil tembakau akan pulih di tahun 2021.

Sebelumnya, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengapresiasi langkah pemerintah untuk menaikkan cukai rokok pada 2021. Menurutnya, kenaikan cukai rokok sangat penting untuk memberikan perlindungan pada konsumen, sebab cukai memang sebagai instrumen untuk melindungi masyarakat sebagai perokok aktif dan atau perokok pasif.

Kenaikan cukai rokok juga sangat penting untuk melindungi perokok anak dan remaja. Mengingat prevalensi merokok anak di Indonesia sudah sangat tinggi, mencapai 8,5 persen. Padahal target dari RPJMN 2020 hanya 5,8 persen. Artinya target menurunkan prevalensi merokok pada anak menjadi sangat penting, dan kenaikan cukai rokok menjadi instrumen efektif untuk itu.

“Selama ini prevalensi merokok pada anak terus menaik, karena harga rokok terlalu murah, dan apalagi rokok bisa dijual secara ketengan/per batang. Apalagi peringatan pada bungkus rokok masih sangat kecil (40 persen), dan atau iklan dan promosi rokok yang masih dominan di semua lini,” kata Tulus dilansir dari laman resmi YLKI.

Tulus membantah sejumlah asumsi bahwa kenaikan cukai rokok akan melambatkan pertumbuhan ekonomi dan PHK buruh. Sebab faktanya bahwa kenaikan cukai rokok justru menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi, karena masyarakat akan mengalokasikan belanja untuk kebutuhan yang lebih urgen di masa pandemi ini. Sedangkan faktor pengurangan buruh bukan karena kenaikan cukai tapi faktor mekanisasi. Dan juga faktor rendahnya penyerapan tembakau lokal karena tingginya impor tembakau.

“Lagi pula di masa pandemi Covid-19 seperti ini, aktivitas merokok menjadi sangat rawan dan high risk, karena bisa menjadi triger untuk konsumen terinfeksi Covid-19,” tambahnya.

Oleh karena itu dia menilai pemerintah tak perlu ragu untuk menaikkan cukai rokok pada 2021, sebab juatru sangat positif dari aspek pertumbuhan ekonomi dan atau aspek kesehatan masyarakat, demi melindungi masyarakat secara kuat dan komprehensif.

Tags:

Berita Terkait